
Tapering Fed Batal, Tapi Awas...Masih Ada Ancaman di Pasar RI

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾Â Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed mengumumkan hasil rapat kebijakan moneter Kamis (18/3/2021) dini hari tadi. Isu tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE) akhirnya terjawab.
The Fed sekali lagi menegaskan belum akan mengubah kebijakannya dalam waktu dekat, artinya QE senilai US$ 120 miliar atau setara dengan Rp 1.680 triliun (kurs Rp 14.000/US$) masih dipertahankan, dan suku bunga tidak akan dinaikkan hingga tahun 2023.
Dalam konferensi pers, ketua The Fed, Jerome Powell, mengakui perekonomian Amerika Serikat sudah membaik, bahkan proyeksi produk domestik bruto (PDB) dinaikkan cukup signifikan.
Di tahun ini, PDB Paman Saham diperkirakan tumbuh 6,5%, jauh lebih tinggi ketimbang proyeksi yang diberikan bulan Desember lalu 4,2%. Sementara di tahun 2022, diprediksi tumbuh 3,3% naik dari sebelumnya 3,2%.
Sementara di tahun 2023 proyeksi PDB malah direvisi turun menjadi 2,2% dari sebelumnya 2,4%. Penurunan tersebut bisa jadi merupakan efek suku bunga yang akan dinaikkan di tahun tersebut.
Powell juga mengungkapkan pasar tenaga kerja akan terus membaik, dan inflasi juga akan naik.
"Kami memang berharap bahwa akan ada kemajuan lebih cepat di pasar tenaga kerja dan inflasi setelah sekian tahun, berkat kemajuan vaksin, dan karena dukungan fiskal yang kita dapatkan," tutur Ketua The Fed Jerome Powell sebagaimana dikutip ²©²ÊÍøÕ¾ International.
Tingkat pengangguran di tahun ini diperkirakan turun menjadi 4,5% dari level saat ini 6,2%. Kemudian dalam 2 tahun ke depan turun menjadi 4,3% dan 3,7%.
Kemudian inflasi yang menjadi acuan The Fed, personal consumption expenditure (PCE) tahun ini diprediksi tumbuh 2,2%. Namun, di tahun depan akan turun menjadi 2%, dan baru naik lagi 2,1% di 2023. Sementara dalam jangka panjang inflasi PCE diprediksi di 2%.
Meski perekonomian AS membaik, tetapi menurut The Fed masih belum cukup untuk merubah kebijakan moneternya. Inflasi yang tinggi lebih dari 2% di tahun ini menurut Powell terjadi akibat low base affect, dimana tahun lalu inflasi merosot akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang membuat perekonomian AS mengalami resesi.
Oleh karena itu, kenaikan inflasi tersebut belum akan cukup untuk membuat The Fed menaikkan suku bunga. The Fed menetapkan target rata-rata inflasi 2%, artinya inflasi akan dibiarkan lebih dari 2% dalam waktu yang lebih lama, sebelum mulai menaikkan suku bunga.
"Saya menegaskan, kenaikan inflasi di atas 2% di tahun ini hanya sementara, dan tidak akan cukup memenuhi target kami," kata Powell.
Secara umum, hasil rapat kebijakan moneter The Fed kali ini menegaskan kebijakan moneter masih tetap longgar meski perekonomian AS sudah membaik. Pasar finansial global menyambut baik keputusan tersebut. Tetapi bukan berarti pasar keuangan Indonesia begitu saja lepas dari tekanan, sebab ada satu pernyataan The Fed yang bisa membebani, yakni masalah yield obligasi (Treasury).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Biarkan Yield Treasury Naik, Apa Kabar SBN dan Rupiah?
