²©²ÊÍøÕ¾

Analisis

Tapering Fed Batal, Tapi Awas...Masih Ada Ancaman di Pasar RI

Putu Agus Pransuamitra, ²©²ÊÍøÕ¾
18 March 2021 12:15
Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)
Foto: Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾Â Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed mengumumkan hasil rapat kebijakan moneter Kamis (18/3/2021) dini hari tadi. Isu tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE) akhirnya terjawab.

The Fed sekali lagi menegaskan belum akan mengubah kebijakannya dalam waktu dekat, artinya QE senilai US$ 120 miliar atau setara dengan Rp 1.680 triliun (kurs Rp 14.000/US$) masih dipertahankan, dan suku bunga tidak akan dinaikkan hingga tahun 2023.

Dalam konferensi pers, ketua The Fed, Jerome Powell, mengakui perekonomian Amerika Serikat sudah membaik, bahkan proyeksi produk domestik bruto (PDB) dinaikkan cukup signifikan.

Di tahun ini, PDB Paman Saham diperkirakan tumbuh 6,5%, jauh lebih tinggi ketimbang proyeksi yang diberikan bulan Desember lalu 4,2%. Sementara di tahun 2022, diprediksi tumbuh 3,3% naik dari sebelumnya 3,2%.

Sementara di tahun 2023 proyeksi PDB malah direvisi turun menjadi 2,2% dari sebelumnya 2,4%. Penurunan tersebut bisa jadi merupakan efek suku bunga yang akan dinaikkan di tahun tersebut.

Powell juga mengungkapkan pasar tenaga kerja akan terus membaik, dan inflasi juga akan naik.

"Kami memang berharap bahwa akan ada kemajuan lebih cepat di pasar tenaga kerja dan inflasi setelah sekian tahun, berkat kemajuan vaksin, dan karena dukungan fiskal yang kita dapatkan," tutur Ketua The Fed Jerome Powell sebagaimana dikutip ²©²ÊÍøÕ¾ International.

Tingkat pengangguran di tahun ini diperkirakan turun menjadi 4,5% dari level saat ini 6,2%. Kemudian dalam 2 tahun ke depan turun menjadi 4,3% dan 3,7%.

Kemudian inflasi yang menjadi acuan The Fed, personal consumption expenditure (PCE) tahun ini diprediksi tumbuh 2,2%. Namun, di tahun depan akan turun menjadi 2%, dan baru naik lagi 2,1% di 2023. Sementara dalam jangka panjang inflasi PCE diprediksi di 2%.

Meski perekonomian AS membaik, tetapi menurut The Fed masih belum cukup untuk merubah kebijakan moneternya. Inflasi yang tinggi lebih dari 2% di tahun ini menurut Powell terjadi akibat low base affect, dimana tahun lalu inflasi merosot akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang membuat perekonomian AS mengalami resesi.

Oleh karena itu, kenaikan inflasi tersebut belum akan cukup untuk membuat The Fed menaikkan suku bunga. The Fed menetapkan target rata-rata inflasi 2%, artinya inflasi akan dibiarkan lebih dari 2% dalam waktu yang lebih lama, sebelum mulai menaikkan suku bunga.

"Saya menegaskan, kenaikan inflasi di atas 2% di tahun ini hanya sementara, dan tidak akan cukup memenuhi target kami," kata Powell.

Secara umum, hasil rapat kebijakan moneter The Fed kali ini menegaskan kebijakan moneter masih tetap longgar meski perekonomian AS sudah membaik. Pasar finansial global menyambut baik keputusan tersebut. Tetapi bukan berarti pasar keuangan Indonesia begitu saja lepas dari tekanan, sebab ada satu pernyataan The Fed yang bisa membebani, yakni masalah yield obligasi (Treasury).

HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Biarkan Yield Treasury Naik, Apa Kabar SBN dan Rupiah?

Yield Treasury AS tenor 10 tahun terus menanjak beberapa pekan terakhir, hingga menyentuh level tertinggi sejak Januari 2020, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan The Fed belum membabat habis suku bunganya menjadi 0,25% serta mengaktifkan QE di bulan Maret 2020.

Kenaikan yield tersebut sebagai respon pasar akan ekspektasi pertubuhan inflasi, sehingga melepas kepemilikan Treasury.

The Fed sebelumnya diperkirakan akan menjalankan Operation Twist guna meredam kenaikan yield tersebut. Nyatanya, The Fed malah tidak mempermasalahkan kenaikan yield Treasury tersebut.

The Fed masih cukup nyaman dengan kenaikan yield Treasury, selama itu merupakan respon dari membaiknya perekonomian.

Pada perdagangan Rabu, yield Treasury tenor 10 tahun naik 1,8 basis poin, kemudian pagi ini naik lagi 3,5 basis poin ke 1,6763%.

The Fed boleh jadi masih nyaman dengan kenaikan yield Treasury, tetapi tidak dengan pasar keuangan dalam negeri. Sebab selisih yield Treasury dengan Surat Berharga Negara (SBN) akan menyempit, dan berisiko memicu capital outflow.

Melansir data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) pada periode 1 sampai 15 Maret, investor asing melepas kepemilikan SBN nyaris Rp 20 triliun. Capital outflow tersebut lebih besar ketimbang sepanjang bulan Februari Rp 15 triliun.

Capital outflow juga kemungkinan terjadi kemarin dan hari ini, melihat yield SBN tenor 10 tahun yang naik 1,4 basis poin kemarin dan 1,8 basis poin siang ini ke 6,775%.

Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Saat harga turun maka yield akan naik, dan sebaliknya. Saat harga turun, artinya sedang ada aksi jual.

Selain itu, lelang obligasi yang dilakukan pemerintah juga tidak mencapai target belakangan ini, menjadi indikasi kurang menariknya yield yang diberikan.

Terbaru, Selasa lalu pemerintah melakukan lelang Surat Utang Negara (SUN) dengan target indikatif Rp 30 triliun, tetapi yang dimenangkan hanya Rp 19 triliun.
Selain itu, penawaran yang masuk juga terbilang rendah, hanya Rp 40,1 triliun, turun dari lelang sebelumnya Rp 49,7 triliun.

Jika capital outflow terus terjadi di pasar obligasi, maka nilai tukar rupiah sulit untuk menguat melawan dolar AS.

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular