
S&P Masih Saja Tetapkan Outlook RI Negatif, Kenapa?

Ketika ekonomi pulih, maka permintaan akan tumbuh. Saat permintaan tumbuh, laju inflasi bakal terakselerasi.
Oleh karena itu, pelaku pasar mulai berani bertaruh bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan lebih cepat untuk meredam inflasi. Mengutip CME FedWatch, peluang kenaikan Federal Funds Rate pada akhir tahun ini sudah berada di kisaran dua digit. Artinya, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan pada akhir 2021 semakin tinggi, tidak perlu menunggu sampai 2023.
![]() |
Saat suku bunga acuan naik, maka yield akan ikut terungkit. Jadi, kenaikan suku bunga acuan di AS akan ikut mengerek imbal hasil US Treasury Bonds.
Aset tersebut akan semakin menarik sehingga menjadi buruan investor. Ketika itu terjadi, niscaya keperkasaan dolar AS akan sulit dibendung.
Untuk menstabilkan rupiah, sulit berharap akan datangnya pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa. Sebab, impor Indonesia sudah merangkak naik seiring pemulihan ekonomi domestik. Transaksi berjalan yang sempat surplus pada dua kuartal terakhir 2020 sepertinya akan kembali defisit tahun ini.
Nasib rupiah sepertinya akan sangat tergantung kepada arus modal di pasar keuangan. Sulit berharap pasokan valas bisa stabil dari pos ini, karena sifat alami hot money adalah datang dan pergi sesuka hati.
Oleh karena itu, rasanya fluktuasi rupiah masih akan terjadi. Seperti yang disebut Rao dari DBS, ini akan membuat investor kurang nyaman. Jadi keputusan S&P untuk menurunkan outlook Indonesia karena risiko nilai tukar memang ada justifikasinya.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA
(aji/aji)