²©²ÊÍøÕ¾

Kiamat Taper Tantrum di Depan Mata, Kita Bisa Apa?

Lidya Julita Sembiring, ²©²ÊÍøÕ¾
09 June 2021 09:20
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (²©²ÊÍøÕ¾/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (²©²ÊÍøÕ¾/Muhammad Sabki)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Bank Indonesia (BI) memperkirakan rencana bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed) untuk melakukan tapering off paling cepat diumumkan pada Agustus mendatang atau akhir tahun ini.

"Paling cepat Agustus pada saat Jackson Hole Symposium atau akhir tahun ini," ujar Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Hariyadi Ramelan dalam Squawk Box ²©²ÊÍøÕ¾.

Dalam prosesnya, periode tapering off akan diawali dengan kebijakan bank sentral AS yang mulai mengurangi pembelian surat berharga. Kemungkinan, hal itu bisa dilakukan paling cepat tahun depan.

BI sendiri masih meyakini sinyal tapering akan disampaikan The Fed kepada pelaku pasar secara hati-hati dan terukur. Fed, kata Hariyadi, pasti akan berupaya untuk meminimalisir terjadinya volatilitas di pasar keuangan yang tidak diinginkan.

"Pasar antisipasi bahwa Fed akan announce ke publik very prudent dan risiko terukur dan tidak ingin menimbulkan volatilitas di market apalagi kita pernah mengalami pengalaman tapering di 2013 yang situasinya jauh lebih volatile," katanya.

Hal yang senada juga diungkapkan oleh Chief Economist BRI, Anton Hendranata. Sebagai antisipasi, salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk menghadapi taper tantrum adalah Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan, yang saat ini sudah mencapai level terendah dalam sejarah yaitu 3,5%.

"Gak usah khawatir kalau terpaksa BI harus merespon menaikkan suku bunga acuannya, BI 7 days repo rate. Agar spread Fed fund rate relatif terjaga dengan suku bunga acuan domestik," tuturnya.

"Yang penting pastikan permintaan domestik terjaga dengan baik, khususnya konsumsi rumah tangga," kata Anton melanjutkan.

Selain itu, Anton juga optimistis jika nanti gejolak pasar keuangan dihadapkan dengan taper tantrum, pemerintah dan otoritas bisa memitigasinya.

"Makin mematangkan koordinasi antara pemerintah, BI, OJK, LPS di KSSK untuk bersatu mengatasi situasi terburuk di Indonesia dan ini terbukti, kita mengalami resesi 2020, tidak separah negara-negara lain di dunia. hanya kontraksi 2,1%," jelas Anton.

Menelisik ke belakang, fenomena tapering off pernah terjadi pada sekitar 2013 - 2015. Kala itu, normalisasi kebijakan Fed memukul mata uang sejumlah negara, tak terkecuali Indonesia.

Lantas, apakah dampak tapering off terhadap perekonomian akan seperti sebelumnya?

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Hariyadi Ramelan mengaku cukup optimistis dampak dari tapering off Fed tidak akan sebesar pengaruhnya seperti 2013 - 2015.

Salah satu indikator yang menjadi perhatian bank sentral adalah porsi kepemilikian asing terhadap surat utang negara yang sudah turun. Hal tersebut, memang selama ini membuat perekonomian domestik cukup rentan.

"Faktor non residen yang selama ini jadi aktor di pasar yang juga mengidentifikasi pengaruh SBN offshore sanga besar. Tapi kami yakinkan pangsa pasar non residen sudah turun," kata Hariyadi.

Berdasarkan catatan BI, kepemilikan asing terhadap surat utang negara saat ini sudah berada di angka 23%. Ini berbanding terbalik dengan porsi kepemilikan asing terhadap surat utang pada 2013 yang mencapai 38%.

"Artinya apa? Investor yang residen lebih dominan dari non residen. Tentu kita antisipasi memang waktu pandemi outflow jumlahnya lebih besar Rp 170 triliun dibandingkan waktu taper tantrum hanya Rp 23 triliun," katanya.

Selain itu, BI merasa fundamental perekonomian domestik pun masih kuat tercermin dari defisit transaksi berjalan (Current Account DeficitCAD) yang terjaga, inflasi yang terkendali, serta cadangan devisa yang mumpuni.

"Dan kita tau bahwa BI saat ini sudah memiliki instrumen DNDF sebagai bagian dari triple intervention selain pasar spot dan pembelian SBN. Mudah-mudahan in assure investor domestik atau global kita tetap baik ke depan," katanya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular