²©²ÊÍøÕ¾

Review

Deretan Skandal Lapkeu di Pasar Saham RI, Indofarma-Hanson!

Ferry Sandria, ²©²ÊÍøÕ¾
27 July 2021 13:30
Benny Tjokosaputro atau akrab disapa Bentjok, salah satu dari 6 terdakwa di kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang menjalani persidangan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (²©²ÊÍøÕ¾/ Tri Susilo)
Foto: Benny Tjokosaputro atau akrab disapa Bentjok, salah satu dari 6 terdakwa di kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang menjalani persidangan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (²©²ÊÍøÕ¾/ Tri Susilo)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Laporan keuangan (lapkeu) merupakan parameter utama yang digunakan untuk menggambarkan kinerja perusahaan. Karena pengaruhnya yang signifikan, beberapa perusahaan diketahui melakukan tindakan 'memanipulasi' laporan keuangan perusahaan.

Aksi akrobat ini biasanya dilakukan untuk memperindah kinerja agar tetap menarik di mata pemegang saham dan pemangku kepentingan, termasuk investor, apalagi berstatus perusahaan terbuka yang laporan keuangan tahunan (LKT) bisa dilihat secara transparan oleh publik.

Skandal laporan keuangan bukanlah hal baru.

Salah satu skandal terbesar yang banyak diingat masyarakat dunia adalah praktik penipuan akuntansi yang dilakukan oleh perusahaan energi asal Amerika Serikat (AS), Enron.

Enron Corporation adalah perusahaan energi AS yang berbasis di Houston, Texas. Perusahaan ini berdiri tahun 1985 dan berhenti operasi pada 2007.

Praktik-praktik tidak etis yang dilakukan perusahaan ini antara lain menampilkan data penghasilan yang tidak benar serta modifikasi neraca keuangan demi mendapatkan penilaian kinerja keuangan yang positif.

Buntutnya dari skandal tersebut Enron resmi dinyatakan bangkrut setelah harga sahamnya yang sempat mencapai US$ 90,56 karena praktik tersebut hingga terjun bebas di bawah US$ 1 setelah skandal terbongkar.

Skandal ini menyebabkan kerugian hingga US$ 11 miliar atau setara Rp 159,5 triliun (kurs Rp 14.500/US$) yang diderita para pemegang saham dan merupakan kebangkrutan terbesar saat itu.

Selain itu, skandal ini juga menyebabkan pembubaran kantor akuntan yang bertanggung jawab atas laporan keuangan Enron.

Arthur Anderson LLP yang saat itu masuk dalam 'Big Five' kantor akuntan bersama PwC, Deloitte, EY dan KPMG mengaku bersalah atas tindakan kriminal yang dilakukan dan secara sukarela mengembalikan lisensi praktik mereka.

Bagaimana di dalam negeri, khususnya di pasar modal Indonesia?

Isu manipulasi lapkeu emiten kembali ramai setelah Bursa Efek Indonesia (BEI) dikejutkan dengan adanya dugaan manipulasi LKT tahun 2019 yang menerpa salah satu emiten di bidang jasa dan perdagangan di bidang teknologi informasi, PT Envy Technologies Indonesia Tbk (ENVY)

Nah, sebab itu, Tim Riset ²©²ÊÍøÕ¾ mencoba merangkum beberapa kasus terkait dugaan dan manipulasi lapkeu emiten di pasar modal RI, termasuk emiten obligasi.

1. PT KAI (Persero)

KAI memang bukan perusahaan publik, tetapi BUMN kereta api ini masuk menjadi perusahaan yang kerap menerbitkan obligasi di pasar saham RI.

Kejadiannya jauh, 16 tahun lalu. Peristiwa ini terjadi pada tahun 2006 atas laporan keuangan tahun sebelumnya, yang mana pada laporan keuangan perusahaan meraup laba Rp 6,9 miliar padahal seharusnya perusahaan merugi Rp 63 miliar.

Hal ini mengemuka setelah salah satu komisaris KAI Hekinus Manao menolak untuk menandatangani laporan keuangan sehingga RUPST KAI harus ditunda.

Dalam penjelasannya kepada Ikatan Akuntan Indonesia, Hekinus Manao menyatakan ada tiga kesalahan laporan keuangan KAI.

Pertama, kewajiban perseroan membayar Surat Ketetapan Pajak pajak pertambahan nilai Rp 95,2 miliar disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang/tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak tersebut.

Kedua, adanya penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sekitar Rp 24 miliar yang diketahui pada saat dilakukannya inventarisasi pada tahun 2002, pengakuannya sebagai kerugian oleh manajemen Kereta Api dilakukan secara bertahap (diamortisasi) selama 5 tahun.

Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sekitar Rp 6 miliar.

Kesalahan ketiga adalah bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya senilai Rp 674,5 miliar dan penyertaan modal negara Rp 70 miliar oleh manajemen disajikan dalam Neraca 31 Desember 2005 yang konsisten dengan tahun-tahun sebelumnya sebagai bagian dari utang.

Laporan keuangan tahun 2005 milik KAI diaudit Kantor Akuntan Publik S. Mannan. Sebelumnya pada 2004 laporan keuangan diaudit bersama oleh KAP S. Mannan dan BPK, dan tahun-tahun sebelumnya dilaksanakan oleh BPK.

Pemberitaan soal ini banyak diramaikan media-media, termasuk kantor berita resmi pemerintah, Antara. "Saya tahu laporan yang diperiksa oleh akuntan publik itu tidak benar karena saya sedikit banyak mengerti akuntansi, yang mestinya rugi dibuat laba," kata Hekinus Manao, dilansir kantor berita Antara, 26 Juli 2006.

2. PT Kimia Farma Tbk (KAEF)

Kimia Farma yang kini menjadi anak usaha PT Bio Farma (Persero), mencatatkan saham perdana untuk publik (IPO) pada 4 Juli 2001, atau 20 tahun silam.

Namun pada laporan keuangan audit 31 Desember 2001, manajemen emiten farmasi pelat merah ini melaporkan perolehan laba bersih sebesar Rp 132 miliar yang diaudit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM).

Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam, kini OJK) menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa.

Alhasil diputuskan untuk melaksanakan audit ulang pada 3 Oktober 2002 terhadap laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar.

Dalam laporan keuangan yang baru, ternyata laba perusahaan hanya Rp 99,56 miliar, lebih rendah Rp 32,6 miliar atau berkurang 24,7% dari laba awal yang dilaporkan.

Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.

Saat itu, tak banyak media online yang menyorot kasus ini lantaran belum banyak berkembang media massa online di era itu. Salah satu media yang mengulas ini yakni Grup Tempo, ketika itu (4/1/2003) grup media ini melaporkan berdasarkan pernyataan Robinson Simbolon, Kepala Biro Hukum Bapepam, bahwa kasus kesalahan pencatatan laporan keuangan KAEF tahun 2001 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana karena merupakan rekayasa keuangan dan menimbulkan menyesatkan publik.

NEXT: Dari Garuda hingga Jiwasraya

3. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA)

Polemik laporan keuangan Garuda Indonesia ini bermula pada 24 April 2019 atau saat RUPS. Salah satu agendanya mengesahkan laporan keuangan tahunan 2018. Namun dalam RUPS tersebut terjadi kisruh karena dua komisaris menyatakan tak mau menandatangani laporan keuangan tersebut.

Diketahui dalam laporan keuangan 2018, Garuda mencatat laba bersih yang salah satunya ditopang oleh kerja sama antara Garuda dan PT Mahata Aero Terknologi. Kerja sama itu nilainya mencapai US$ 239,94 juta atau sekitar Rp 3,48 triliun.

Dana tersebut sejatinya masih bersifat piutang dengan kontrak berlaku untuk 15 tahun ke depan, namun sudah dibukukan di tahun pertama dan diakui sebagai pendapatan dan masuk ke dalam pendapatan lain-lain. Alhasil, perusahaan yang sebelumnya merugi kemudian mencetak laba.

Kejanggalan ini terendus oleh dua komisaris Garuda Indonesia,yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria yang enggan menandatangani laporan keuangan 2018.

Kisruh berlanjut hingga Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) Kementerian Keuangan ikut mengaudit permasalahan tersebut. Bursa Efek Indonesia (BEI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga BPK juga ikut melakukan audit.

PPPK dan OJK pun akhirnya memutuskan bahwa ada yang salah dalam sajian laporan keuangan GIAA 2018. Perusahaan diminta untuk menyajikan ulang laporan keuangannya dan perusahaan kena denda Rp 100 juta berikut dengan direksi dan komisaris yang menandatangani laporan keuangan tersebut.

Setelah dilakukan penyesuaian pencatatan maskapai penerbangan nasional ini akhirnya mencatatkan kerugian US$ 175 juta atau setara Rp 2,53 triliun.

Ada selisih US$ 180 juta dari yang disampaikan dalam laporan keuangan perseroan tahun buku 2018. Pada 2018 perseroan melaporkan untung US$ 5 juta atau setara Rp 72,5 miliar.

"Untuk itu, OJK berikan keputusan Garuda diberikan perintah tertulis untuk memperbaiki dan menyajikan kembali laporan keuangan tahunan per 31 Desember 2018 dan lakukan public expose. Perbaikan dan public expose wajib dilakukan 14 hari setelah ditetapkan oleh OJK," kata Fakhri Hilmi, Deputi Komisioner Pasar Modal II OJK kala itu, di gedung Kementerian Keuangan, Jumat (28/6/2019).

4. PT Asuransi Jiwasraya (Persero)

Salah satu kasus yang sempat menyedot perhatian publik dan masih bergulir adalah kasus megakorupsi pada Jiwasraya. Permasalahan Jiwasraya dimulai dari manipulasi laporan keuangan, seperti yang disampaikan oleh mantan Direktur Keuangan Jiwasraya (JS) Hary Prasetyo dalam nota pembelaan (pledoi).

Proses rekayasa laporan keuangan JS telah dilakukan lebih dari satu dekade lalu, pada 2006 laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban.

Oleh karenanya, BPK memberikan opini disclaimer untuk laporan keuangan 2006 dan 2007 karena penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya. Pada 2015, OJK melakukan pemeriksaan langsung terhadap JS dengan aspek pemeriksaan investasi dan pertanggungan.

Audit BPK di 2015 menunjukkan terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang JS dan laporan aset investasi keuangan yang overstated dan kewajiban yang understated.

Pada Mei 2018 terjadi pergantian direksi. Setelah itu, direksi baru melaporkan terdapat kejanggalan laporan keuangan kepada Kementerian BUMN. Hasil audit KAP atas laporan keuangan JS 2017 antara lain mengoreksi laporan keuangan interim yang semula mencatatkan laba Rp 2,4 triliun menjadi Rp 428 miliar.

"Ini kompleks masalahnya. Tidak seperti yang teman-teman duga, ini jauh lebih kompleks dari teman-teman yang bisa bayangkan. Kita tunggu tanggal 8 nanti," kata Ketua BPK RI, Agung Firman Sampurna, di Gedung BPK, Senin (6/1/2020).

NEXT: Ada Hanson hingga Dugaan Manipulasi ENVY

5. PT Indofarma Tbk (INAF)

Pada 2004, Bapepam atau kini bernama OJK, memutuskan memberi sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 500 juta kepada direksi Indofarma yang menjabat pada periode terbitnya laporan keuangan tahun 2001.

Selain itu kepada direksi Indofarma juga diperintahkan tiga hal, sebagaimana Pertama, segera membenahi dan menyusun sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi perusahaan yang memadai untuk menghindari timbulnya permasalahan yang sama di kemudian hari.

Kedua, menyampaikan laporan perkembangan atas pembenahan dan penyusunan sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi perseroan secara berkala setiap akhir bulan kepada Bapepam.

Ketiga, menunjukkan akuntan publik yang terdaftar di Bapepam untuk melakukan audit khusus untuk melakukan penilaian atas sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi bila perseroan telah selesai melakukan pembenahan dan penyusunan sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi perusahaan.

Bapepam menjelaskan, kasus ini bermula dari adanya penelaahan Bapepam mengenai dugaan adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal terutama berkaitan dengan penyajian laporan keuangan yang dilakukan Indofarma.

Dari hasil penelitian, Bapepam menemukan bukti-bukti di antaranya, nilai Barang Dalam Proses dinilai lebih tinggi dai nilai yang seharusnya (overstated) dalam penyajian nilai persediaan barang dalam proses pada tahun buku 2001 sebesar Rp 28,87 miliar.

Akibatnya harga Pokok Penjualan mengalami understated dan laba bersih mengalami overstated dengan nilai yang sama.

6. PT Hanson International Tbk (MYRX)

OJK menjatuhkan sanksi kepada Benny Tjokrosaputro alias Bentjok, Direktur utama Hanson International, denda sebesar Rp 5 miliar karena terbukti melanggar undang-undang pasar modal karena mengakui pendapatan di awal dan tak menyajikan perjanjian jual beli dalam laporan keuangan MYRX tahun 2016.

Terdapat beberapa poin yang menjadi perhatian OJK dan dinilai bertentangan dengan undang-undang pasar modal, antara lain pengakuan pendapatan dengan metode akrual penuh (full acrual method) atas penjualan kavling siap bangun (KASIBA) senilai gross Rp 732 miliar di laporan keuangan periode tersebut.

Pengakuan pendapatan ini menyebabkan terjadinya overstated laporan keuangan Desember 2016 dengan nilai mencapai Rp 613 miliar.

Sementara, Hanson kena sanksi denda Rp 500 juta dan diperintahkan OJK untuk menyajikan kembali (restatement) laporan keuangan akhir 2016 tersebut. Direktur Hanson International lainnya Adnan Tabrani juga dinilai bertanggungjawab atas pelaporan ini sehingga dia juga dijatuhi sanksi sebesar Rp 100 juta.

Tidak hanya itu, Akuntan Publik (AP) yang mengaudit laporan keuangan ini, Sherly Jokom selaku rekan dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Purwantono, Sungkoro dan Surja yang merupakan member dari Ernst and Young Global Limited (EY) juga tak lepas dari jerat OJK.

KAP ini dinilai telah melanggar standar profesi akuntansi karena tak cermat dalam melakukan audit atas laporan keuangan tahunan ini. Akibatnya KAP ini disanksi dengan pembekuan Surat Tanda Terdaftar (STTD) selama satu tahun.

Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II OJK yang kala itu dijabat Fakhri Hilmi (belakangan jadi tersangka Jiwasraya), mengatakan Bentjok dan perusahaannya Hanson sudah membayar denda administratif tersebut, tinggal penyajian kembali (restatement) laporan keuangan 2016

Sementara itu, OJK Memberikan kesempatan kepada Hanson untuk menyajikan ulang laporan keuangan 2016 hingga akhir bulan ini.

"Paling lambat 31 Agustus, kita sudah menerima laporan keuangan yang baru," kata Fakhri di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (9/8/2019).

7. PT Envy Technologies Indonesia Tbk (ENVY)

Baru-baru ini Bursa Efek Indonesia (BEI) dikejutkan dengan adanya dugaan manipulasi laporan keuangan tahunan (LKT) tahun 2019 yang menerpa salah satu emiten di bidangjasa dan perdagangan di bidang teknologi informasi, PT Envy Technologies Indonesia Tbk (ENVY) dan anak usahanya.

Dalam surat keterangan yang terbit di keterbukaan informasi, ENVY menjelaskan duduk perkara terkait dengan dugaan adanya manipulasi atas laporan keuangan (lapkeu) anak usahanya, PT Ritel Global Solusi (RGS) tahun 2019.

Laporan keuangan 2019 RGS itu kemudian dikonsolidasikan ke laporan keuangan tahunan ENVY tahun 2019. RGS adalah anak usaha ENVY dengan porsi kepemilikan 70% yang bergerak bidang jasa perdagangan dengan berbasis online melalui aplikasi "KO-IN".

ENVY juga menyebutkan bahwa pihak manajemen saat ini tidak mengetahui secara pasti proses yang dilakukan saat itu sehingga munculnya laporan konsolidasi tersebut.

Menanggapi hal tersebut, manajemen ENVY mengatakan saat ini sedang meminta klarifikasi ke pihak auditor atas beberapa keraguan termasuk laporan keuangan RGS.

Perseroan akan mengklarifikasi permasalahan LK ini dengan KAP Kosasih, Nurdiyaman, Mulyadi, Tjahjo & Rekan selaku akuntan publik pada saat itu. BEI hingga kini belum memberikan pernyataan resmi ketika dihubungi mengenai perkara ini, termasuk OJK.

Adapun di sisi lain, di emiten perbankan, di tahun 2018, juga pernah ada pelanggaran laporan keuangan yang menimpa PT Bank KB Bukopin Tbk (BBK), ketika masih bernama Bank Bukopin dan belum masuknya investor Korea Selatan, KB Kookmin.

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular