Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Minyak mentah dunia beberapa waktu ini kembali terkoreksi hingga diperdagangkan di bawah level US$100/barel. Namun, isu kenaikan Bahan Bakar Motor (BBM) bersubsidi dalam negeri kian santer. Lalu, apa urgensi pemerintah untuk menaikkan BBM bersubsidi?
Pada Kamis (01/9/2022), pukul 09:25 WIB, harga minyak jenis brent di banderol US$ 96,49/barel, tergelincir 2,84% ketimbang posisi penutupan di hari sebelumnya. Sedangkan, jenis light sweet anjlok 2,28% ke US$ 89,55/barel.
Di sepanjang pekan ini, harga brent dan light sweet ambles yang masing-masing sebesar 3,06% dan 3,01%. Tidak hanya itu, sepanjang bulan kebelakang, harga brent dan light sweet juga jatuh yang masing-masing sebesar 3,79% dan 3,19%.
Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022, harga minyak mentah dunia sempat melonjak dan stabil berada di atas level US$100/barel.
Namun, pada awal Agustus 2022 untuk jenis minyak brent mulai menunjukkan tren penurunan dan diperdagangkan hingga di bawah level US$ 100/barel. Sementara untuk jenis light sweet, harga sudah mulai turun pada 04 Juli 2022 dan berada di bawah level US$100/barel.
Ambruknya harga minyak mentah dipicu oleh kekhawatiran bahwa permintaan akan turun, setelah China mengalami perlambatan pada pertumbuhan ekonominya karena masih menerapkan kebijakan zero Covid. Artinya, ketika ada penambahan kasus penyakit akibat virus corona ini, maka pembatasan sosial kembali diketatkan, bahkan tidak segan melakukanlockdown.
Akhirnya, kebijakan tersebut membatasi aktivitas bisnis dan membuat pertumbuhan ekonominya mengalami perlambatan yang signifikan.
Biro Statistik China melaporkan pada Jumat (15/7/2022) bahwa PDB China pada kuartal II-2022 berada di 0,4% dan berada jauh dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal sebelumnya yang mencapai 4,8%. Angka tersebut juga berada jauh dari konsensus pasar di 1%.
Padahal, China merupakan salah satu konsumen terbesar minyak mentah. Melansir laporan dari BP Statistical review of World Energy, pada 2021, China berkontribusi sebanyak 16% dari total importir minyak mentah dunia. Sehingga ketika ekonomi China mengalami perlambatan, maka kekhawatiran akan penurunan permintaan terhadap minyak mentah dunia meningkat.
Selain itu, tekanan inflasi menyebabkan bank sentral di berbagai negara menaikkan suku bunga acuan, yang akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, permintaan energi dikhawatirkan berkurang.
Di Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve/The Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuan 75 basis poin (bps) pada rapat 21 September. Mengutip CME FedWatch, peluangnya mencapai 72%.
Di Eropa pun demikian. Madis Muller, Pejabat European Central Bank/ECB, mengungkapkan kenaikan suku bung acuan 75 bps adalah salah satu opsi dalam rapat September.
"Saya rasa kenaikan suku bunga acuan 75 bps dalam rapat September mendatang akan menjadi opsi jika inflasi tidak kunjung membaik. Saya akan mengikuti rapat dengan pikiran terbuka. Namun kita semestinya tidak terlalu terkekang dalam mengambil kebijakan karena inflasi sudah terlalu tinggi untuk terlalu lama," papar Muller, seperti dikutip dari Reuters.
Namun, ketika harga minyak mentah mulai turun, justru di dalam negeri kian gencar wacana kenaikan harga BBM yang disebut-sebut akan naik dalam waktu dekat.
Pemerintah Indonesia telah melonggarkan sejumlah pembatasan aktivitas dalam negeri setelah diterpa badai Covid-19 selama hampir dua tahun sejak Maret 2020. Sehingga, aktivitas perekonomian dalam negeri berangsur normal.
Sejalan dengan hal tersebut, permintaan akan minyak mentah pun naik. Seperti diketahui, minyak mentah merupakan bahan baku BBM yang digunakan masyarakat untuk beraktivitas.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Impor hasil minyak sepanjang Januari-Juli 2022 menembus US$ 14,38 miliar atau naik 97,71%. Sementara itu, impor minyak mentah mencapai US$ 6,42 miliar atau melesat 62,38%.
Volume impor BBM termasuk untuk bahan bakar pesawat dan diesel menyentuh 14,31 juta ton pada Januari-Juli 2022 atau naik 17,63% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Volume impor LPG menyentuh 3,9 juta ton atau naik 40,92%.
Impor hasil minyak melonjak tajam sejak Maret tahun ini atau pasca perang Rusia-Ukraina meletus pada akhir Februari lalu. Pada periode Maret-Juli, rata-rata nilai impor hasil minyak mentah mencapai US$ 2,24 miliar per bulan. Padahal, pada empat bulan sebelum perang (November 2021-Februari 2022), nilai rata-rata impornya hanya US$ 1,73.
Nilai impor juga terus merangkak naik dari US$ 2,15 miliar pada Mei menjadi US$ 2,27 miliar pada Juni, dan US$ 2,36 miliar pada Juli.
Untuk minyak mentah, impor nya sangat fluktuatif. Impor sempat melonjak tajam pada April karena persiapan Lebaran Idul Fitri. Namun, angkanya tidak setinggi hasil minyak.
Kenaikan impor minyak mentah dan hasil minyak ini tentu saja akan membebani anggaran pemerintah mengingat sebagian besar komoditas tersebut akan diolah menjadi Pertalite yang harganya masih disubsidi.
Bahkan, lonjakan nilai impor BBM menjadi salah satu faktor yang membuat neraca perdagangan RI kian tipis surplusnya.
Neraca Perdagangan pada Juli 2022 hanya membukukan surplus senilai US$ 4,23 miliar, makin tergerus jika dibandingkan pada bulan sebelumnya di US$ 5,15 miliar. Hal tersebut disebabkan oleh kenaikan impor yang semakin tinggi dan dibarengi oleh penurunan ekspor karena melandainya harga komoditas di pasar international.
Terkoreksinya harga minyak mentah dunia memang telah berlangsung hampir dua bulan, tapi angka tersebut masih jauh dari target subsidi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022, di mana asumsi rata-rata harga minyak Indonesia/ICP sebesar sebesar US$ 63/barel dan nilai tukar rupiah Rp 14.350/US$.
Namun, jika melihat data dari Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), rata-rata ICP Juli 2022 sebesar US$ 106,73/barel. Artinya, ada kesenjangan harga yang harus dibayar oleh pemerintah guna mempertahankan harga BBM dalam negeri.
Selain itu, rupiah juga mengalami pelemahan dan berada stabil di level Rp 14.800/US$ pada pekan ini. Seperti diketahui, minyak mentah diperdagangkan menggunakan dolar AS. Sehingga ketika dolar AS menguat, maka harga minyak mentah pun akan lebih mahal untuk pembeli dengan mata uang lain.
Tahun ini, pemerintah telah menganggarkan subsidi energi sebesar Rp502,4 triliun. Namun, jumlah subsidi dan kompensasi ini diperkirakan akan habis pada Oktober ini dan bisa tembus di atas Rp698 triliun pada akhir tahun. Alhasil, ini akan menjadi beban dalam APBN 2023
"Jadi tahun ini subsidi dan kompensasi Rp 502,4 triliun bahkan kemungkinan akan melonjak di atas Rp 690 triliun. Ini adalah kenaikan yang sungguh dramatis," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Selasa (30/8/2022).
Bengkaknya subsidi BBM, membuat pemerintah Indonesia tidak memiliki opsi lain, selain menaikkan harga BBM subsidi termasuk Petralite dan Solar. Jika tidak dilakukan segera, anggaran subsidi dan kompensasi energi akan bertambah sehingga pada akhirnya menekan APBN.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA