²©²ÊÍøÕ¾

Jeblok Terus! Rupiah Tembus Rp 16.000/US$ di Kuartal IV?

Putu Agus Pransuamitra, ²©²ÊÍøÕ¾
03 October 2022 16:50
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (²©²ÊÍøÕ¾/ Muhammad Sabki)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾Â Indonesia - Nilai tukar rupiah masih terus merosot melawan dolar Amerika Serikat (AS), semakin mendekati Rp 15.300/US$. Tekanan besar datang dari eksternal, kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed) serta isu resesi dunia di 2023 membuat rupiah berisiko melemah hingga akhir kuartal akhir tahun nanti.

Pada pembukaan perdagangan kuartal IV-2022, Senin (3/10/2022) rupiah melemah 0,36% ke Rp 15.280/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Pada Kamis (22/9/2022) lalu, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3% - 3,25%, serta menegaskan sikap agresifnya. Hal ini membuat indeks dolar AS melesat sekaligus juga menekan emas.

Suku bunga The Fed kini berada di level tertinggi sejak awal 2008.

"FOMC (Federal Open Market Committee) sangat bertekad untuk menurunkan inflasi menjadi 2%, dan kami akan terus melakukannya sampai pekerjaan selesai," kata ketua The Fed, Jerome Powell, sebagaimana dilansir ²©²ÊÍøÕ¾ International.

The Fed kini melihat suku bunga akan mencapai 4,6% (kisaran 4,5% - 4,75%) di tahun depan. Artinya, masih akan ada kenaikan 150 basis poin dari level saat ini.
Bahkan, beberapa pejabat The Fed melihat suku bunga berada di kisaran 4,75 - 5% di 2023, sebelum mulai turun di 2024.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) sekali lagi mengejutkan pasar dengan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin.

Padahal, konsensus yang dihimpun ²©²ÊÍøÕ¾ mayoritas memperkirakan kenaikan sebesar 25 basis poin.

"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 21-22 September 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps menjadi 4,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,5%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (22/9/2022).

Meksi demikian, kenaikan suku bunga acuan secara agresif seperti yang terjadi di banyak negara, tidak akan dilakukan. Hal ini melihat situasi Indonesia yang berbeda.
"Kenaikan suku bunga agresif tidak diperlukan di Indonesia," ungkap Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur, Kamis (22/9/2022).

Proyeksi kebijakan tersebut membuat rupiah sulit menguat, sebab selisih imbal hasil obligasi AS dan Indonesia akan semakin menyempit, sehingga berisiko memicu capital outflow yang menekan rupiah.

Selain itu, inflasi di Indonesia yang mulai menanjak juga bisa memberikan tekanan ke Mata Uang Garuda. Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini juga mengumumkan jika inflasi secara tahunan (year on year/yoy) pada September menembus 5,95%.

"Inflasi ini tertinggi sejak Desember 2014," kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, Senin (3/10/2022).

Inflasi tinggi pada September juga sesuai dengan perkembangan inflasi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) Sejak menjabat presiden pada Oktober 2014 hingga Agustus 2022, inflasi Indonesia hanya dua kali melewati 1% yakni pada 1,50% (mtm) pada November 2014 dan 2,46% (mtm) pada Desember 2014.

Inflasi periode tersebut melonjak setelah Jokowi menaikkan harga BBM pada 18 November 2014.Setelah periode inflasi tinggi November dan Desember 2014, Indonesia tidak pernah mengalami inflasi di atas 1% hingga Agustus tahun ini.

Inflasi tinggi merupakan masalah utama di dunia saat ini. Presiden Jokowi berulangkali mengungkapkan bahwa inflasi adalah momok terbesar saat ini oleh semua negara di dunia. Pasalnya, banyak negara di dunia yang tersandung akan inflasi tinggi.

Inflasi ini dipicu oleh kenaikan harga pangan hingga energi, dan perang Rusia-Ukraina yang tak pasti kapan berakhir.

"Pertama yang ingin saya sampaikan momok pertama semua negara saat ini inflasi, inflasi semua negara biasanya hanya 1% sekarang 8%, lebih dari 10% dan bahkan ada lebih dari 80 persen, ada 5 negara," kata Jokowi saat Pengarahan Presiden kepada seluruh Menteri/Kepala Lembaga, Kepala Daerah, Pangdam dan Kapolda di JCC, Jakarta, Kamis (29/9/2022).

Inflasi yang tinggi memang bisa menimbulkan masalah besar. Daya beli masyarakat bisa tergerus yang pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi. Jika berlangsung lama, maka risiko stagflasi pun menghantui.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cash is The King Kembali Lagi

Isu resesi dunia di 2023 membuat dolar AS menjadi primadona, istilah cash is the king kembali muncul.

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah cash is the king muncul beberapa kali. Yang terdekat, saat awal pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Kali ini, istilah cash is the king dilontarkan langsung oleh Deputi Gubernur BI Aida S Budiman.

"Kita kenal istilah higher for longer (untuk suku bunga di berbagai negara) yang menimbulkan ketidakpastian global dan pasar keuangan, diikuti Eropa. Sehingga mata uang dolar AS mengalami peningkatan tertinggi dalam sejarahnya dan mengalami tekanan cash is the king," jelas Aida dalam Diskusi Publik Memperkuat Sinergi untuk Menjaga Stabilitas Perekonomian, Rabu (28/9/2022).

Istilah cash is the king merujuk pada fenomena di mana para pelaku pasar lebih memilih memegang cash. Tetapi bukan sembarangan cash, hanya dolar AS.

Dolar AS pun diprediksi belum mencapai puncaknya.

"Dolar AS yang menyandang status safe haven akan terus menarik minat pelaku pasar, akibat ketakutan resesi global yang samakin besar dalam beberapa bulan ke depan. Dalam pandangan kami, indeks dolar AS akan mencapai puncaknya di 115 pada semester pertama 2023," kata ekonom ANZ Bank, sebagaimana dilansir FX Street, Rabu (28/9/2022).

Artinya, rupiah berisiko tertekan. Meski demikian, dengan fundamental dalam negeri yang membaik, rupiah tentunya bisa menahan tekanan tersebut.

Bank Indonesia (BI) memiliki cadangan devisa yang cukup besar untuk melakukan triple intervention guna menstabilkan nilai tukar rupiah.

Pada 1998, cadangan devisa Indonesia 'hanya' belasan miliar dolar AS. Per akhir Agustus 2022, cadangan devisa mencapai US$ 132,2 miliar.

Harga komoditas yang melambung tinggi membuat neraca perdagangan mencatat surplus hingga 28 bulan beruntun. Surplus tersebut membantu transaksi berjalan (current account) juga surplus. Sehingga pasokan valuta asing mengalir ke dalam negeri, yang membuat rupiah lebih stabil.

Selain itu, sejak pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), investor asing ramai-ramai menarik dananya dari pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), sepanjang tahun ini hingga 26 September terjadi capital outflow di pasar SBB hingga Rp 150 triliun.

Alhasil, kepemilikan SBN oleh investor asing kini kurang dari 15%. Bagi rupiah, hal ini bisa menguntungkan sebab risiko terjadi capital outflow kemungkinan tidak akan besar lagi, dan stabilitas rupiah lebih terjaga.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Analisis Teknikal



Secara teknikal, rupiah yang disimbolkan USD/IDR terus tertekan sejak menembus ke atas rerata pergerakan 50 hari (moving average 50/MA50) yang kini berada kisaran Rp 14.900/US$ - Rp 14.920/US$.

MA 50 merupakan resisten kuat, sehingga tekanan pelemahan akan lebih besar ketika rupiah menembusnya. Apalagi rupiah juga sudah menembus dan tertahan di atas Rp 15.090/US$ - Rp 15.100/US$ yang merupakan Fibonacci Retracement 50%.

Fibonacci Retracement tersebut ditarik dari titik terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.

Selama tertahan di atas Fibonacci Retracement 50% tersebut ditembus dan tertahan di atasnya, rupiah berisiko terpuruk semakin jauh. Target pelemahan ke Rp 15.450/US$, yang merupakan Fibonacci Retracement 38,2%.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv

Rupiah berisiko semakin terpuruk jika menembus level tersebut. Ada kemungkinan mendekati Rp 16.000/US$ atau di kisaran Rp 15.900/US$ yang merupakan FIb. Retracement 23,6%.

Sementara itu indikator Stochastic pada grafik harian sudah cukup lama berada di wilayah jenuh beli (overbought).

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.

Support kuat berada di kisaran Rp 15.100/US$, jika ditembus rupiah berpeluang menguat level psikologis Rp 15.000/US$, sebelum menuju MA 50 di kisaran Rp 14.900/US$ dekat MA 50.

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular