
Tidur Jokowi Tak Tenang, Ada Ancaman Lebih Ngeri Dari Resesi

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Tekanan yang tengah dihadapi sejumlah negara maju menjadikan tanda-tanda badai resesi dunia semakin jelas. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan berkali-kali mengungkap kekhawatirannya terhadap ancaman resesi.
Jokowi telah menyadari tingginya ketidakpastian perekonomian global saat ini. Semua negara kini dalam posisi sulit seiring dengan ancaman resesi yang akan melanda dunia pada tahun depan.
Dalam posisi ini, menurutnya, kepercayaan investor asing terhadap perekonomian sebuah negara menjadi sangat penting. Dari hal tersebut investor masuk menempatkan modalnya, baik secara langsung maupun lewat portofolio.
"Tidak mudah mendapatkan kepercayaan dari sebuah investasi," kata Jokowi
"Begitu negara sudah dicap tidak baik untuk investasi, gak akan ada yang mau datang ke negara kita. dan kalau sudah tak ada yang mau datang, barang-barang harus diimpor dari luar," jelasnya.
Semua negara, menurut Jokowi, kini memperebutkan investasi. Komponen tersebut dianggap mampu mendorong perekonomian negara, di tengah tertekannya konsumsi masyarakat imbas lonjakan inflasi dan lesunya ekspor.
"Yang kini menjadi rebutan adalah investasi," tegas Jokowi.
"Kenapa investasi? Karena dengan investasi itu lah nilai tambah akan diciptakan, lapangan kerja akan diciptakan, penerimaan negara akan muncul, cadangan devisa akan muncul."
Presiden Bank Dunia sebelumnya telah membeberkan bahwa pertumbuhan global melambat tajam sehingga lebih banyak negara jatuh ke dalam resesi.
Negara-negara di dunia pun diimbau mendorong kebijakan yang bisa menghasilkan investasi tambahan, meningkatkan produktivitas, dan alokasi modal.
Pasalnya membawa dampak cukup besar. Pada pasar finansial, resesi menyebabkan Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia ambrol. Begitu juga dengan mata uang selain dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir data Refinitiv, indeks S&P 500 sepanjang tahun ini sudah jeblok lebih dari 25%, dan berada di level terendah sejak akhir 2020. Sementara itu indeks dolar AS melesat sekitar 17% dan berada di level tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Meroketnya indeks dolar AS tersebut menjadi indikasi mata uang lainnya rontok.
Kemudian, resesi akan berdampak pada tingkat pengangguran yang semakin tinggi tetapi tingkat inflasi rendah. Sebab, ketika banyak warga yang menganggur, konsumsi rumah tangga akan menurun dan demand pull inflation pun rendah.
Memang, sejauh ini pasar tenaga kerja masih terlihat kuat. Bahkan di beberapa negara seperti Australia justru mengalami kelangkaan tenaga kerja.
Stagflasi lebih sulit "disembuhkan" ketimbang resesi. Sebab, para pembuat kebijakan harus bisa menyeimbangkan antara inflasi dan pasar tenaga kerja.
Ketika inflasi tinggi, maka suku bunga akan dikerek naik. Namun hal ini membawa risiko yakni pasar tenaga akan melemah dan tingkat pengangguran meningkat.
Sebaliknya, saat tingkat pengangguran tinggi, yang dibutuhkan adalah suku bunga rendah. Tetapi risikonya inflasi akan meningkat.
"Yang menarik, obat stagflasi paling mujarab adalah resesi. Satu-satunya obat untuk stagflasi adalah resesi," kata Ekonom Senior di Perterson Institute for International Economics, David Wilcox, awal Juni lalu, sebagaimana dilansir The Washington Post, Sabtu (8/10/2022).
Ketika resesi terjadi, permintaan pun akan melambat dan perlahan-lahan menurunkan inflasi. Negara-negara Barat kini menjadi yang paling berisiko mengalami stagflasi. Inflasi di Amerika Serikat (AS) dan Inggris berada di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Sedangkan di Zona Euro, yang terdiri dari 19 negara, inflasi bahkan mencatat rekor tertinggi sepanjang masa. Inflasi yang tinggi juga melanda belahan bumi lainnya. Australia misalnya, kemudian Singapura.
Di Indonesia sejauh ini inflasi mulai merangkak naik meski bisa dikatakan masih terkendali. Namun, patut menjadi perhatian bagaimana perkembangan inflasi ke depannya, apalagi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi.
Selain itu, bank sentral AS (The Fed) dan beberapa bank sentral lainnya pada akhir tahun lalu melihat inflasi tinggi hanya bersifat sementara, sehingga menunda pengetatan moneter guna meredam inflasi. Alhasil, inflasi malah terus meroket.
(cha/cha) Next Article Ini Lebih Ngeri dari Resesi, Pengganti Jokowi Bakal Pusing!