
Ekonom Bongkar Kesalahan Besar RI Sebelum Jadi 'Negara Kaya'

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Kalangan ekonom menyebut Indonesia salah strategi terburu-buru meninggalkan industri padat karya, sebelum mampu keluar dari negara berpendapatan menengah.
Terbengkalainya industri padat karya itu salah satunya tercermin dari gulung tikarnya sejumlah sektor tekstil dan barang dari tekstil, menyebabkan maraknya pemutusan hubungan kerja di sektor itu.
"Karena kalau sampai terjadi PHK, itu ada yang tidak beres pada saat manufaktur itu bekerja. Jadi industri tekstil, contohnya, kita harusnya bisa melindungi tekstil kita supaya tidak kalah bersaing," kata Ekonomi dari Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati dalam Program Closing Bell ²©²ÊÍøÕ¾, Kamis (8/8/2024).
Terkait masalah di industri tekstil yang padat karya, Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat PHK di sektor itu masih akan terus berlanjut. Kali ini, 4 pabrik tekstil di Jawa Tengah, dan 1 lagi pabrik di Bandung dengan total 1.200 pekerja akan terdampak PHK.
Sejak awal 2024, sebetulnya sudah ada 6 perusahaan tekstil yang terpaksa tutup sehingga menyebabkan 11.000 orang karyawan kehilangan pekerjaannya. Lalu ada 4 pabrik yang melakukan PHK dengan total 2.800 pekerja.
Badan Pusat Statistik (BPS) pun telah mencatat pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional termasuk pakaian jadi mengalami kontraksi pada kuartal kedua tahun 2024. Baik secara tahunan maupun secara kuartalan.
"Jadi kalau kita lihat, katakanlah tadi kenapa PHK-nya di tekstil, itu kan berarti daya saing kita terhadap barang impor tidak baik-baik saja, karena keran impornya ini ada dua, ilegal dan legal, dan dua-duanya tidak ditangani dengan baik selama lima tahun terakhir ini," tutur Ninasapti.
Ninasapti melihat persoalan pada industri padat karya ini pun yang membuat deindustrialisasi cepat terjadi. Sebab, sebelum pendapatan masyarakatnya bisa naik cepat sudah keburu tergerus oleh maraknya industri padat modal yang tak signifikan menyerap tenaga kerja. Salah satunya seperti industri hilirisasi nikel yang kini tengah marak mendapat perhatian pemerintah.
"Itu memang kalau kita lihat yang diangkat pemerintah tadi itu ada mobil listrik, ada katakan nikel, itu kan padat modal. Jadi saya ingin hati-hati sekali untuk padat modal. Prioritas ini tampaknya harus hati-hati sekali karena betul dia diberi kelonggaran, tetapi jangan sampai kelonggaran itu at the cost dari yang padat karya," tegasnya.
"Jadi padat karya yang harusnya diprioritaskan untuk dibangun kembali, dipertahankan, dan negara-negara berkembang, pada umumnya itu memang padat karyanya yang diselamatkan. Termasuk di dalamnya industri berbasis pertanian," ungkap Ninasapti.
Permasalahan PHK yang marak pada akhirnya menjadi pertanda bahwa deindustrialisasi nyata di Indonesia, padahal belum lepas dari middle income trap atau jebakan negara berpendapatan menengah.
"Kita deindustrialisasi ini sudah sangat nyata di Indonesia, dan Indonesia berada dalam data terakhir Bank Dunia itu termasuk kelompok middle income trap. Jadi kita sudah terlalu lama berada di kelas menengah ini, dari pendapatan menengah, tapi kelas menengah yang di Indonesia itu yang hari-hari ini terhimpit," kata Ninasapti.
Kendati begitu, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Edy Priyono menegaskan bahwa pemerintah saat ini sudah mulai kembali menaruh perhatian serius terhadap industri-industri padat karya. Bahkan, Presiden Joko Widodo kata dia telah menggelar rapat terbatas dengan jajaran menterinya untuk kembali menggeliatkan industri padat karya.
"Dan sudah ada arahan dari Pak Presiden untuk kita memperhatikan industri, khususnya industri padat karya, khususnya tekstil dan produk tekstil. Dan sudah ada kesepakatan sebenarnya waktu itu, sesuai arahan Pak Presiden, untuk yang dari sisi legal, tapi yang unfair. Kan ada dugaan dumping. Sehingga sedang digodok terus di Kementerian Keuangan," ucap Edy.
(arm/haa) Next Article PHK Masih Mengancam Industri Sepatu Hingga Tekstil, Butuh Solusi Ini