
Internasional
Diplomasi Kereta China di Asia Tenggara
Hidayat Setiaji, վ
13 February 2018 12:54

Jakarta, վ - Pemerintah Malaysia dan Singapura akan membangun jalur kereta api cepat yang akan menghubungkan kedua negara. Proyek ini akan menggunakan skema kerja sama pemerintah swasta alias public-private partnership (PPP).
Berbagai negara ingin ikut serta dalam proyek yang diperkirakan bernilai US$17 miliar (Rp 231,2 triliun) ini. Mulai dari Jerman, Italia, Jepang, dan tentu saja China.
Negeri Tirai Bambu memang tengah getol membiayai berbagai proyek infrastruktur di kawasan Asia Tenggara. Keterlibatan China dibalut dalam rencana besar bernama The Belt and Road Initiative, sebuah ambisi menghidupkan kembali jalur sutra modern.
Di Asia Tenggara, China sepertinya ingin menjadi “penguasa” kereta api. Ini dikenal dengan istilah China Railway Diplomacy. China menjadi pendana proyek kereta api di negara-negara Asia Tenggara.
Di Vietnam, China mendanai pembangunan kereta layang pertama di Negeri Paman Ho. Biaya proyek ini diperkirakan mencapai $868 juta (Rp 11,8 triliun) dan China meminjamkan $669 juta (Rp 9,09 triliun) di antaranya.
China pun membangun jalur kereta api dari negaranya ke Laos sepanjang 414 km. Nilai proyek ini dikabarkan mencapai $6 miliar (Rp 81,6 triliun).
Pihak Laos dan China membentuk perusahaan patungan untuk proyek ini, di mana 70% modalnya berasal dari Negeri Tirai Bambu. Namun dari 30% modal yang disetor pihak Laos, sebagian juga berasal dari pinjaman China Exim Bank.
Di Thailand, proyek kereta api made in China juga masuk.
Pada Desember tahun lalu, dilakukan groundbreaking proyek kereta api yang nantinya akan menghubungkan Negeri Gajah Putih dengan China sejauh 873 km. Laos juga dilewati dalam proyek ini.
Untuk tahap pertama, akan dibangun jalur Bangkok ke Nakhon Ratchasima yang ditargetkan rampung 2021. Groundbreaking ini sebenarnya terlambat cukup lama, karena awalnya seharusnya dilakukan 2014.
China juga sudah membiayai proyek kereta api di Malaysia.
Pada Oktober 2017, dilakukan groundbreaking proyek jalur kereta api yang menghubungkan sisi timur dan barat di Semenanjung Malaysia. Proyek senilai $13 miliar (Rp 176,8 triliun) itu dibangun oleh China.
Tidak hanya di China, Indonesia pun sudah kecipratan modal dari China untuk membangun kereta api. China dipercaya untuk ikut serta membangun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung punya panjang 142,3 km dan bernilai $5,9 miliar (Rp 80,24 triliun). Perkiraan penyelesaian proyek adalah tahun 2019.
Namun, pemerintah mengakui bahwa kemajuan kereta cepat Jakarta-Bandung agak terhambat. Masalahnya klasik, pembebasan lahan yang belum tuntas. Sampai saat ini, pembebasan lahan baru mencapai 54%.
Dana dari China juga belum turun. Pencairan pinjaman dari Bank Pembangunan China (China Development Bank) masih memerlukan kelengkapan dokumen.
Namun, meski berhasil menguasai proyek kereta api di berbagai negara, masalah yang dihadapi tetap sama yaitu keterlambatan.
Dalam proyek kereta layang Vietnam, semestinya dana sudah cair pada Maret 2017 tetapi molor karena lagi-lagi urusan dokumen.
Tidak hanya itu, lembaga riset Pham Chi Lan yang berbasis di Vietnam juga menemukan masalah lain dalam proyek kereta yang dikerjakan China. Biasanya China memenangkan persaingan karena penawaran harga yang lebih murah sehingga mengorbankan kualitas material.
Keterlambatan pengerjaan justru berujung pada pembengkakan biaya, yang membuat biaya menjadi lebih mahal dari yang direncanakan. Bahkan terkadang proyek harus dinilai ulang (reappraise) karena berbagai kesalahan perencanaan.
(prm) Next Article Proyek Fantastis Kereta Cepat Kuala Lumpur-Singapura Lanjut?
Berbagai negara ingin ikut serta dalam proyek yang diperkirakan bernilai US$17 miliar (Rp 231,2 triliun) ini. Mulai dari Jerman, Italia, Jepang, dan tentu saja China.
Negeri Tirai Bambu memang tengah getol membiayai berbagai proyek infrastruktur di kawasan Asia Tenggara. Keterlibatan China dibalut dalam rencana besar bernama The Belt and Road Initiative, sebuah ambisi menghidupkan kembali jalur sutra modern.
Di Asia Tenggara, China sepertinya ingin menjadi “penguasa” kereta api. Ini dikenal dengan istilah China Railway Diplomacy. China menjadi pendana proyek kereta api di negara-negara Asia Tenggara.
Di Vietnam, China mendanai pembangunan kereta layang pertama di Negeri Paman Ho. Biaya proyek ini diperkirakan mencapai $868 juta (Rp 11,8 triliun) dan China meminjamkan $669 juta (Rp 9,09 triliun) di antaranya.
China pun membangun jalur kereta api dari negaranya ke Laos sepanjang 414 km. Nilai proyek ini dikabarkan mencapai $6 miliar (Rp 81,6 triliun).
Pihak Laos dan China membentuk perusahaan patungan untuk proyek ini, di mana 70% modalnya berasal dari Negeri Tirai Bambu. Namun dari 30% modal yang disetor pihak Laos, sebagian juga berasal dari pinjaman China Exim Bank.
Di Thailand, proyek kereta api made in China juga masuk.
Untuk tahap pertama, akan dibangun jalur Bangkok ke Nakhon Ratchasima yang ditargetkan rampung 2021. Groundbreaking ini sebenarnya terlambat cukup lama, karena awalnya seharusnya dilakukan 2014.
China juga sudah membiayai proyek kereta api di Malaysia.
Pada Oktober 2017, dilakukan groundbreaking proyek jalur kereta api yang menghubungkan sisi timur dan barat di Semenanjung Malaysia. Proyek senilai $13 miliar (Rp 176,8 triliun) itu dibangun oleh China.
Tidak hanya di China, Indonesia pun sudah kecipratan modal dari China untuk membangun kereta api. China dipercaya untuk ikut serta membangun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung punya panjang 142,3 km dan bernilai $5,9 miliar (Rp 80,24 triliun). Perkiraan penyelesaian proyek adalah tahun 2019.
Namun, pemerintah mengakui bahwa kemajuan kereta cepat Jakarta-Bandung agak terhambat. Masalahnya klasik, pembebasan lahan yang belum tuntas. Sampai saat ini, pembebasan lahan baru mencapai 54%.
Dana dari China juga belum turun. Pencairan pinjaman dari Bank Pembangunan China (China Development Bank) masih memerlukan kelengkapan dokumen.
Namun, meski berhasil menguasai proyek kereta api di berbagai negara, masalah yang dihadapi tetap sama yaitu keterlambatan.
Dalam proyek kereta layang Vietnam, semestinya dana sudah cair pada Maret 2017 tetapi molor karena lagi-lagi urusan dokumen.
Tidak hanya itu, lembaga riset Pham Chi Lan yang berbasis di Vietnam juga menemukan masalah lain dalam proyek kereta yang dikerjakan China. Biasanya China memenangkan persaingan karena penawaran harga yang lebih murah sehingga mengorbankan kualitas material.
Keterlambatan pengerjaan justru berujung pada pembengkakan biaya, yang membuat biaya menjadi lebih mahal dari yang direncanakan. Bahkan terkadang proyek harus dinilai ulang (reappraise) karena berbagai kesalahan perencanaan.
(prm) Next Article Proyek Fantastis Kereta Cepat Kuala Lumpur-Singapura Lanjut?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular