²©²ÊÍøÕ¾

Jelang #MUNLIV, Apakah Liverpool adalah MU yang Dulu?

Hidayat Setiaji, ²©²ÊÍøÕ¾
20 October 2019 14:04
Jelang #MUNLIV, Apakah Liverpool adalah MU yang Dulu?
Liverpool (liverpoolfc.com)
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Malam ini waktu Indonesia, laga panas akan terjadi di tanah Inggris. Liga Primer Inggris dijadwalkan menggelar pertandingan Manchester United vs LIverpool, dua klub tersukses di Negeri John Bull.

Laga penuh gengsi ini sering disebut sebagai Derby of England. Pertandingan yang sangat dinanti.

Musim ini, posisi United dan Liverpool di klasemen sementara Liga Primer memang jomplang. Liverpool berada di posisi teratas dengan delapan kemenangan dari delapan pertandingan, 100%. Sementara United tercecer di peringkat 14, hanya selisih satu poin dari Newcastle United yang menghuni zona degradasi.


Setelah dominan pada dekade 1990-an hingga 2000-an, kejayaan United mulai runtuh. Sepeninggal manajer karismatik Sir Alex Ferguson, United belum lagi menjadi juara Inggris. Prestasi terbaik mereka adalah runner-up pada musim 2017/2018.

Bahkan dalam dua musim terakhir kemunduran United terpampang nyata. Musim lalu, Setan Merah yang sempat bangkit pada awal-awal kepemimpinan Manajer Ole Gunnar Solskjaer mengendur dan hanya mampu finis di peringkat enam.

Performa inkonsisten United berlanjut musim ini. Meski sudah mendatangkan pemain-pemain mahal macam Harry Maguire atau Aaron Wan Bissaka, ternyata United belum bisa kompetitif. United hanya mampu dua kali menang dalam delapan laga awal Liga Primer.


Berkebalikan dengan United, penampilan Liverpool dalam dua musim terakhir justru ciamik. Si Merah menjadi satu-satunya klub Inggris yang bisa menandingi keperkasaan Manchester City.

Musim lalu, Liverpool menjadi runner-up Liga Primer dengan perolehan 97 angka, hanya selisih sebiji dari City. Kejar-kejaran poin antara kedua tim berlangsung hingga pekan terakhir.

Meski hanya menjadi juara dua di liga domestik, tetapi anak asuh Manajer Juergen Klopp mampu menjadi juara Liga Champions Eropa. Kemudian disusul dengan gelar Piala Super Eropa.


Penampilan Liverpool yang ngotot, cepat, dan mematikan menjadi momok bagi lawan-lawannya. Sampai-sampai ada anekdot, saat Liverpool bermain bagus mereka menang dan saat bermain jelek mereka pun bisa menang.

Roda nasib memang berputar. Pada dekade 1990-an dan 2000-an, Liverpool adalah bahan tertawaan di Inggris kala United bergelimang kejayaan. Namun kini situasinya seakan berbalik. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Liverpool yang sekarang adalah United yang dulu, sementara United yang sekarang adalah Liverpool yang dulu...

Mengutip riset Anita Elberse berjudul Ferguson's Formula yang diterbitkan oleh Harvard Business Review, ada delapan poin utama dalam kepemimpinan Sir Alex Ferguson yang sepertinya sekarang justru diterapkan di Liverpool. Apa saja itu?

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)



1. Membangun Fondasi.

Kala datang ke United pada 1986, Ferguson menekankan bahwa fokusnya adalah membangun masa depan. Pemain-pemain dari akademi digembleng dan diberi kepercayaan, hingga terciptalah mereka yang akrab dengan sebutan Class of 1992.

Sedikit banyak Klopp mencoba menerapkan ini. Trent Alexnder-Arnold, bek kanan yang baru berusia 21 tahun, kini menjelma menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Bahkan Alexander-Arnold sudah masuk ke Guiness Book of World's Record sebagai bek dengan assist terbanyak yaitu 12 pada musim lalu.

Perlahan, Klopp juga memberikan jam terbang kepada pemain-pemain muda. Rhian Brewster, Curtis Jones, Ki-Jana Hoever, sampai Harvey Elliott adalah talenta-talenta yang prospektif. Dengan polesan yang tepat, bukan tidak mungkin mereka bisa menjadi fondasi kesuksesan Liverpool pada masa mendatang.


2. Berani untuk Membongkar Ulang Tim

"Kami mengidentifikasi pemain-pemain dalam tiga level yaitu berusia 30 tahun ke atas, 23-30 tahun, dan anak-anak muda. Idenya adalah pemain-pemain muda akan berkembang dan mencapai standar para pemain senior. Hasilnya adalah sebuah tim yang punya siklus," demikian kata Ferguson.

Well, membongkar tim yang sudah ada juga dilakukan oleh Klopp. Hanya Adam Lallana, James Milner, dan Divock Origi yang masih bertahan di tim yang disusun Klopp pada laga perdananya menghadapi Tottenham HotspurÌýempat tahun lalu.

Klopp boleh dibilang sudah membangun tim sesuai dengan visinya. Kini, Liverpool sudah menjadi sebuah unit gegenpressing yang utuh. Kala kehilangan bola, seluruh pemain langsung mengubah mode dengan menerapkan pressing tinggi, dan kala bola berhasil direbut kembali pola permainan berubah menjadi serangan cepat.

"Untuk saat ini, saya tidak ingin pemain Barcelona, Bayern, atau Dortmund. Saya bahagia dengan tim saya. Ini adalah tim yang membuat saya bahagia," tegas Klopp, seperti diberitakan Reuters.


3. Menetapkan Standar Tinggi

Roy Keane, eks kapten United era Ferguson, pernah mengungkapkan sesuatu yang mencerminkan betapa tingginya standar di Old Trafford kala itu. "Anda bermain di United untuk menang. Demi Tuhan, di ruang ganti zaman saya kalau ada yang bilang finis di posisi empat adalah sebuah pencapaian, maka dia akan dibantai," tegasnya kala menjadi pandit, seperti dikutip dari Sky Sports.

Standar serupa juga diterapkan oleh Klopp, terutama setelah melihat kontestasi musim lalu. Penampilan Liverpool yang nyaris sempurna pun tidak bisa membuahkan trofi Liga Primer. Oleh karena itu, Klopp ingin agar Liverpool semakin dekat dengan kesempurnaan.

"Musim lalu kami tampil sangat luar biasa. Namun selama masih ada City, dengan segala kualitas dan kekuatan finansialnya, maka tidak ada tim yang bisa dengan mudah melampaui mereka. Jadi, kami harus sangat-sangat dekat dengan kesempurnaan agar bisa menjuarai Liga Primer.

"Kami harus membuat langkah besar, dan saya berharap pemain-pemain mengeluarkan lebih banyak lagi. Walau hasilnya entah bagaimana, lakukan saja," papar Klopp, seperti dikutip dari ESPN.

Well, sejauh ini catatan Liverpool masih sempurna di Liga Primer. Mungkin kah ini adalah kesempurnaan yang dicari oleh Klopp?


4. Tidak Pernah Kehilangan Kontrol

Ferguson adalah sosok yang tegas, tidak pernah kehilangan wibawa di depan para pemainnya. Salah satu bentuknya adalah mengomeli anak asuhnya habis-habisan ketika ada yang berbuat kesalahan. Sesuatu yang oleh pemainnya disebut hairdyer treatment.

Pemain-pemain besar macam Wayne Rooney dan Cristiano Ronaldo saja pernah disemprot. Bahkan yang disebut terakhir sampai menangis.

"Kau pikir siapa dirimu? Mau bermain sendiri? Kau tidak akan bisa menjadi pemain hebat kalau seperti ini terus!" tegas Ferguson kepada CR7 di ruang ganti kala jeda babak I pertandingan United vs Charlton Athletic pada musim 2005/2006. Ronaldo pun tidak kuasa membendung air mata.

Klopp, walau dikenal periang, juga punya ketegasan yang tidak bisa ditawar. Salah satu korbannya adalah Mamadou Sakho.

Klopp sebenarnya menyukai bek tengah Prancis ini. Terbukti Sakho menjadi pilar kala Liverpool menembus babak final Liga Europa musim 2015/2016.

Namun Sakho melakukan beberapa tindakan indisipliner. Dia melakukan diet obat tanpa berkonsultasi dengan dokter klub, sehingga kala Federasi Sepakbola Eropa (UEFA) menggelar tes doping acak, Sakho dianggap positif. Obat diet yang dikonsumsinya ternyata tidak 'halal' bagi olahragawan.

Sakho juga terlambat datang ke bandara kala tim akan berangkat ke Amerika Serikat (AS) untuk tur pra-musim. Ada lagi, Sakho terlambat datang saat makan bersama.

Jengah, Klopp pun tidak lagi memasukkan Sakho dalam rencananya. Kini, yang bersangkutan bermain di Crystal Palace.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)



5. Menyampaikan Pesan dengan Tepat

Dalam berkomunikasi dengan pemain, Ferguson sangat berhati-hati dalam memilih kalimat. Termasuk ketika Ferguson menyampaikan kepada seorang pemain bahwa dia tidak akan bermain.

"Ini tidak mudah, dan saya mungkin membuat kesalahan. Namun saya pikir ini adalah yang terbaik bagi tim," begitu cara Ferguson.

Klopp juga demikian. Kala semifinal leg II melawan Barcelona di Anfield, Klopp memutuskan untuk tidak memasang Giorginio Wijnaldum di starting XI. Wijnladum sempat bertanya-tanya, tetapi Klopp menegaskan tim membutuhkan Wijnaldum pada saat yang tepat.

Benar saja. Wijnaldum yang baru masuk pada babak II menggantikan Andrew Robertson yang cedera berhasil mencetak dua gol dan menjadi pemain penting yang meloloskan Liverpool ke final. Andai Wijnaldum bermain sejak awal pertandingan, apakah hasilnya akan sama?


6. Bersiap untuk Menang

Ferguson tidak pernah menyiapkan tim untuk sekadar seri, apalagi kalah. Menang adalah tujuan, tidak bisa ditawar.

Oleh karena itu, United era Ferguson dikenal tidak kenal lelah sehingga kerap mencetak gol pada menit-menit akhir pertandingan. Fergie Time...

Kini, Liverpool di bawah asuhan Klopp seakan melakukan hal serupa. Seperti yang sudah disebutkan, walau bermain jelek tetapi Liverpool masih bisa menang.

Liverpool yang punya determinasi tinggi juga sering mencetak gol pada Fergie Time. Musim lalu, Liverpool mencetak 18 gol pada menit 80 ke atas. Terbanyak di antara tim Liga Primer lainnya.




7. Mengandalkan Kekuatan Observasi

"Untuk memahami aspek teknis sepakbola, seorang pelatih harus bisa membuat keputusan yang tepat. Inilah sebabnya observasi adalah kunci dalam struktur manajemen," kata Ferguson.

Kekuatan observasi ini yang membuat Klopp begitu efisien di bursa transfer. Hampir tidak pemain yang direkrutnya terbuang sia-sia. Mungkin hanya Naby Keita yang belum kunjung menunjukkan permainan terbaik, tetapi itu lebih karena faktor cedera. Selebihnya, rekrutan Klopp berhasil membuat Liverpool menjadi kekuatan yang mengerikan.

Klopp punya Ian Graham, Direktur Riset, untuk memberinya masukan soal pemain-pemain potensial yang perlu dipantau. Nama-nama seperti Mohamed Salah sampai Alisson Becker datang dari kantor Graham.

"Analisis data, karena sekarang seperti inilah sepakbola. Seorang manajer punya ratusan hal yang perlu diperhatikan, tetapi Juergen benar-benar menyimak penjelasan saya," kata Graham, seperti dikutip dari Liverpool Echo.

Ìý

8. Tidak Pernah Berhenti Beradaptasi

Ferguson menukangi United selama lebih dari 20 tahun, dan selama itu mayoritas diisi oleh kejayaan. Padahal sepakbola era 1980-an tentu berbeda dengan 2000-an, tetapi Ferguson tetap konsisten membawa United ke jalur kemenangan.

"Saya harus terus berubah, menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kami harus terus sukses, sehingga saya tidak punya pilihan selain menjadi lebih baik," kata Ferguson.

Sikap seperti ini diterapkan oleh Klopp. Kala dipecundangi Barcelona 0-3 di leg I semifinal Liga Champions musim lalu, Klopp mengubah pola permainan pada leg II.

Wijnaldum dipasang pada babak II di posisi nomor 10, bukan posisi naturalnya. Meski tidak dibekali skill layaknya Ronaldinho atau Philippe Coutinho, Wijnaldum berhasil memainkan peran itu dengan muncul dari belakang sebagai finisher.


TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ÌýINDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular