Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali memberikan kritik keras. Kepala Negara menyatakan Indonesia seakan 'membakar uang' puluhan triliun rupiah per tahun demi impor Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Itu baru impor. Jokowi juga menyebut negara mengeluarkan subsidi untuk LPG.
"Pertanyaan saya, apakah ini mau kita lakukan terus-terusan? impor terus? Yang untung negara lain, yang terbuka lapangan kerja juga di negara lain," tegas Jokowi saat peresmian pembangunan proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) di Sumatera Selatan, akhir pekan lalu.
Jokowi benar. Impor migas (termasuk LPG) menciptakan beban bagi anggaran negara dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Di sisi anggaran, pemerintah mengeluarkan dana Rp 32,81 triliun untuk subsidi LPG (Elpiji) tabung 3 kg pada 2020. Selama 2011-2020, belanja subsidi Elpiji rata-rata naik 15,83% setiap tahunnya.
Tingginya kebutuhan anggaran subsidi Elpiji menyumbang defisit bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran yang dijalankan dengan defisit membuat pemerintah terpaksa menarik utang.
Halaman Selanjutnya -->ÌýNeraca Migas Defisit Terus
Itu dari sisi APBN. Impor LPG juga membawa dampak negatif bagi neraca lain, yaitu Neraca Pembayaran Indonesia (NPI).
NPI mencakup aliran devisa yang datang dan pergi dari Ibu Pertiwi. Satu pos di NPI yang mendapat sorotan adalah transaksi berjalan alias current account.
Transaksi berjalan menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa. Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi fundamental penting bagi stabilitas nilai tukar. Sebab devisa dari ekspor-impor lebih berjangka panjang ketimbang investasi portofolio di sektor keuangan alias hot money.
Di dalam transaksi berjalan, ada komponen neraca migas (yang tentunya mencakup LPG). Nah, neraca ini hampir selalu defisit. Indonesia tekor saat berdagang migas, lebih banyak impor ketimbang ekspor.
Terakhir, posisi neraca migas defisit US$ 2,89 miliar pada kuartal III-2021. Kali terakhir neraca migas membukukan surplus adalah pada kuartal III-2011.
"Ekspor gas (termasuk LPG) pada triwulan III-2021 tumbuh 15,1% (qtq) menjadi US$ 1,8 miliar, sedikit melambat dari pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 16,1%. Secara tahunan, ekspor gas terakselerasi dengan tumbuhh sebesar 70,3% (yoy), lebih tinggi dari capaian triwulan sebelumnya sebesar 30,9% (yoy).Ìý
"Sementara itu impor gas pada triwulan III-2021 tercatat sebesar US$ 1,2 miliar atau terakselerasi 112,4% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan capaian triwulan sebelumnya sebesar 52,9% (yoy). Secara triwulanan, impor gas juga mencatat pertumbuhan positif dari sebelumnya terkontraksi 1,1% (qtq) menjadi tumbuh 28% (qtq) pada triwulan III-2021. Peningkatan impor gas pada triwulan III-2021 tersebut sejalan dengan lebih tingginya konsumsi gas domestik dan penurunan lifting," papar laporan Bank Indonesia (BI).
 Sumber: BI |
Defisit di neraca migas membuat transaksi berjalan lebih sering minus ketimbang surplus. Sejak 2012, transaksi berjalan cuma tiga kali membukukan surplus.
Halaman Selanjutnya -->ÌýIndonesia Diserang Defisit Kembar
Saat APBN dan transaksi berjalan sama-sama defisit, maka Indonesia mengalami apa yang disebut twin deficit, defisit kembar. Defisit APBN dan defisit transaksi berjalan, maka Indonesia harus mencari sumber pembiayan untuk menutup 'lubang' itu.
Dalam kondisi twin deficit, APBN danÌýpelaku ekonomiÌýsama-sama mencari sumber dari luar negeri. APBN dalam bentuk utang, pelaku ekonomi dalam bentuk impor barang dan jasa. Seakan utang dibayar dengan impor.
Hasilnya, risiko tekanan terhadap nilai tukar rupiah menjadi sangat nyata. Sebab, pemerintah dan pelaku ekonomi sama-sama mencari valas. Kebutuhan valas yang tinggi tentu membuat rupiah sulit unjuk gigi.
Jadi selama perekonomian Indonesia dijalankan dengan twin deficit, maka rupiah akan sulit menguat. Dalam setahun terakhir, mata uang Nusantara melemah 2,43% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA