²©²ÊÍøÕ¾

Internasional

Inggris Carut Marut! Dunia & Indonesia Perlu "Siaga Satu"?

Muhammad Maruf, ²©²ÊÍøÕ¾
30 September 2022 08:07
Warga berkumpul di luar Istana Buckingham Saat Ratu Elizabeth II Meninggal
Foto: Orang-orang berkumpul di depan Istana Buckingham, setelah pengumuman meninggalnya Ratu Elizabeth II, di London, Inggris, Kamis (8/9/2022). Ratu Elizabeth II yang merupakan pemimpin terlama yang memerintah Inggris dan tokoh negara selama tujuh dekade meninggal dalam usia 96 tahun. (Photo by DANIEL LEAL/AFP via Getty Images)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Nilai kurs poundsterling jeblok dan yield obligasi naik di saat bersamaan. Itu adalah kejadian lazim di negara berkembang yang kini dialami oleh Kerajaan Inggris yang kini dalam kondisi krisis.

Asal muasal krisis ekonomi Inggris dimulai dari lonjakan harga-harga pangan yang dipicu oleh kelangkaan barang. Ini disebabkan oleh keputusan Inggris keluar dari keanggotaan Uni Eropa yang efektif berlaku sejak 1 Januari 2020.

Mayoritas warga Inggris kini menyesali keputusan tersebut, karena pasca Brexit terjadi keriwehan yang luar biasa pada praktik perdagangan luar negeri mereka, stok barang langka. Inflasi diperparah oleh lonjakan harga energi akibat pasokan tersendat pasca perang Ukraina-Rusia.

Tekanan inflasi direspon oleh bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) dengan menerapkan kebijakan moneter ketat, menaikkan suku bunga untuk menyedot uang beredar. Nyatanya, kebijakan ini gagal mereduksi inflasi dan malah memukul harga obligasi pemerintah Inggris atau gilt, serta tak efektif membendung pelemahan Poundsterling dari keterpurukan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Yang terjadi lantas adalah paradoksal dimana mana. Uang beredar makin sedikit, tetapi barang tetaplah mahal, aktivitas perdagangan drop. Paradok inilah yang kemudian semakin kontras setelah pemerintah Inggris merilis paket stimulus ekonomi via pemotongan pajak.

Hasilnya, terjadi silang sengkarut pandangan di pasar, yang memicu investor beralih ke aset yang aman, berbasis dolar AS. Inilah yang memperburuk Poundsterling.

Warga Menderita Sejak Lama

Sebuah studi tentang kehidupan warga di Inggris memberi gambaran cukup mengejutkan. Jauh sebelum pandemi dan krisis saat sekarang ini, warga di sana telah hidup menderita akibat pendapatan yang nyaris tidak naik selama 15 tahun terakhir.

Survey Resolution Foundation itu menulis dalam kurun waktu itu sampai dengan pandemi 2020, rata-rata pendapatan kelas pekerja hanya naik 0,7% pertahun, jauh dari rekaman dekade sebelumnya sebesar 2,3% (antara 1961-2005).

Sekarang mereka dihadapkan dengan biaya hidup yang melonjak, bertahap sejak awal 2021. Inflasi mencapai 9,9% di Agustus lalu, nyaris tertinggi dalam 40 tahun terakhir, disebabkan oleh lonjakan kebutuhan pokok rumah tangga, khususnya makanan, energi, bahan bakar kendaraan.

Sebagai gambaran, dari Agustus 2021 hingga Agustus 2022, harga gas domestik naik 96% dan harga listrik domestik naik 54%. Sebaliknya, tingkat pendapatan nyaris tak bergerak.

Reuters melaporkan Britain's Financial Conduct Authority (FCA) telah meminta bank-bank dan asuransi asuransi di Inggris untuk membantu nasabahnya yang berjibaku dengan kenaikan biaya hidup. FCA meminta 40 bank menurunkan suku bunganya, mengingat kenaikan suku bunga dan biaya KPR, makanan jauh lebih cepat naik dibandingkan upah.

Sheldon Mills, kepala pengawasan kompetisi dan konsumen FCA mengatakan lebih dari 9 juta warga Inggris memiliki utang jauh di atas kemampuannya. Ini naik 2 juta dari rekaman 2020.


Mirip krisis ekonomi di AS 2008

Ini yang sedang dihadapi bank sentral Inggris. Jika tidak menaikkan suku bunga secara agresif, maka pelemahan Poundsterling akan semakin parah, demikian pula inflasinya. Sebaliknya bila suku bunga dinaikkan terlalu cepat, memperdalam jurang resesi yang sedang dihadapi.

Tampaknya, pilihan pertama yang akan diambil oleh BoE, karena dua masalah itulah yang ada di depan mata dan kentara. Tapi dampaknya serius, resesi mendalam; naiknya angka pengangguran, berkurangnya konsumsi yang menyebabkan perlambatan ekonomi.

Inilah yang terjadi di AS tempo medio 2008, naiknya suku bunga membuat masyarakat tak mampu membayar tagihan kartu kredit hingga KPR yang membengkak karena suku bunga naik.

Tanda tandanya sudah tampak pada malaise sektor properti Inggris. Nyaris tak ada lagi penjualan hunian baru, bunga KPR meroket tiga kali lipat menjadi 6%, dan banyak rumah dan apartemen yang disita bank. J

umlah tuna griya semakin banyak, sementara para pebisnis dan orang-orang kaya justru menikmati diskon pajak dari pemerintah dengan dalih stimulus ekonomi.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Imbas ke Global dan Indonesia 

Imbas ke global seperti apa?

Pergerakan ekonomi sejatinya terjadi akibat aksi dan reaksi. Krisis ekonomi Asia 1997 dipicu oleh kejatuhan bath Thailand, krisis keuangan global 2008 dipicu praktik culas kredit kepemilikan rumah (KPR) di AS, krisis utang eropa dipicu gagal bayar pemerintah Yunani.

Lantas krisis Inggris akan memicu apa?

Indikasi paling mudah adalah dengan melihat fokus BoE saat ini. Kata kuncinya adalah pembelian besar besaran, seberapapun nilai yang dibutuhkan atas obligasi pemerintah Inggris atau gilt guna mencegah sell-off berlanjut.

Mengapa BoE mengambil langkah quantitative easing ini, karena banyak asuransi dan dana pensiun yang terkait denganya. Portofolio mereka rata rata adalah gilt tenor panjang, yang bila nilainya jatuh akan merugikan, setidaknya dalam buku.

Lantas?

Hitung berapa banyak bank investasi asuransi dan dana pensiun asal Inggris yang beroperasi di seluruh dunia. Bayangkan perusahaan perusahaan itu kolaps.

Dari situlah celah transmisi krisis lokal mendunia, mirip seperti jatuhnya Lehmann Brothers September 2008 yang tak hanya merugikan nasabahnya di AS, tetap juga counter part bisnis di seluruh dunia.

Adakah Pengaruh ke Indonesia?

Orang Indonesia itu paling pintar mengambil hikmah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga begitu, terhadap fenomena capital outflow masif di pasar Surat Berharga Negara saat ini.

Padahal kepemilikan asing tinggal tersisa 14% dibandingkan sebelum huru hara global ini di angka 38%. Ini memicu yield SBN 10 tahun nyaris menuju angka 8%.

Kata Menkeu beberapa waktu lalu, capital outflow tidak dapat dihindari, tetapi rendahnya kepemilikan asing di obligasi negara juga bagus karena membuat pasar domestik lebih stabil dari goncangan. Kata ibu Menkeu ada benarnya, mau kabur berapapun juga pasar tetap nyaman karena tinggal sedikit yang bisa kabur, mirip Jepang.

Artinya kalaupun terjadi fenomena higher for longer atas yield yield gilt Inggris, sudah tidak akan banyak menganggu stabilitas pasar SBN. Lagi pula, permintaan atas SBN oleh asing tetaplah ada sebagai bagian dari strategi return tinggi investasi di aset emerging market.

Pengaruh lain yang mungkin terjadi adalah bila pelemahan Poundsterling membuat dolar indeks terus berkuasa. Transmisi ini bersifat tidak langsung, tapi amat menyulitkan korporasi yang berhutang dalam dolar AS, tapi penerimaan dalam rupiah. Inilah yang terjadi pada Indonesia krisis moneter tahun 1997.

Inilah yang menyebabkan Bank Indonesia mati matian di pasar agar pelemahan rupiah masih dalam batas toleransi baik itu neraca perusahaan maupun pemerintah.

Sementara penularan krisis via sektor riil tampak kecil, karena Inggris bukanlah partner dagang utama RI. Apapun yang terjadi di sana, tampaknya tak banyak mempengaruhi rekor surplus neraca pembayaran yang sudah berlangsung sejak 28 bulan.

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular