
Fakta-Fakta Ekonomi China Dekati Jurang Resesi

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Ekonomi China menunjukkan kemerosotan pada tahun ini. Beijing sendiri selama ini menghadapi masalah berbeda dengan negara-negara lainnya.
Contohnya ketika inflasi tinggi membawa bank sentral di banyak negara menaikkan suku bunga dengan agresif, China justru menurunkan suku bunga guna memacu perekonomian yang merosot akibat kebijakan nol Covid-19.
Namun perekonomian negara yang dipimpin Xi Jinping tak kunjung pulih hingga kini. Berikut fakta-fakta mengapa ekonomi China mulai dekati jurang resesi, mengutip berbagai sumber.
Manufaktur Terjun Bebas
Sektor konstruksi China mengalami kontraksi dalam beberapa bulan terakhir, dan hal ini terjadi menjelang Hari Raya Imlek yang biasanya menjadi puncak konsumsi warganya.
Data dari pemerintah China menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur pada Desember 2022 sebesar 47, turun dari bulan sebelumnya 48. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya artinya kontraksi, dan di atasnya adalah ekspansi.
PMI manufaktur sudah mengalami kontraksi dalam 3 bulan beruntun, menurut versi pemerintah China.
Sementara laporan dari Caixin menyebut kontraksi di China sudah dimulai sejak Agustus 2022. Data terbaru dari Caixin yang dirilis awal pekan ini menunjukkan angka 49 pada Desember, turun dari sebelumnya 49,4.
"Baik supply dan demand terus menunjukkan penurunan pada bulan lalu. Kejatuhan saat pandemi terus menyeret produksi dan penjualan, dengan sub indeks output dan pesanan barang masih di bawah 50 dalam empat dan lima bulan beruntun" kata Wang Zhe, ekonom senior di Caixin Insight Group, dalam sebuah catatan, sebagaimana dikutip Investing.
Properti Jeblok
Setahun lebih setelah krisis likuiditas yang dialami oleh pengembang properti China Evergrande Group terjadi, kondisi pasar properti Negeri Tirai Bambu semakin menyedihkan.
Mengutip laporan Fitch Ratings yang merujuk pada sebuah survei terhadap 20.000 masyarakat perkotaan di 50 kota di China, rencana untuk membeli rumah di kalangan masyarakatnya terus menurun.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, survei berkala tersebut menunjukkan rata-rata lebih dari 20% responden mengatakan punya rencana membeli rumah satu kuartal ke depan.
Namun sejak kuartal III-2021, atau tepatnya saat kasus Evergrande mencuat, proporsi masyarakat yang berencana membeli properti turun menjadi 19,2% saja. Hingga kuartal III-2022, proporsinya turun lagi menjadi 17,1% saja.
Menyedihkannya lagi, harga dan volume penjualan properti juga mengalami penurunan secara konsisten. China Index Academy (CIA) melaporkan harga rumah di 100 kota di China drop 4 bulan berturut-turut hingga Oktober 2022.
Sementara itu penjualan properti di 100 kota di China juga dilaporkan turun 20% year-on-year (yoy) pada Oktober 2022 oleh CIA. Penurunan kinerja sektor properti tersebut membuat ekonomi China dibayangi oleh perlambatan yang nyata.
Pandemi Covid-19
Setelah bertahun-tahun menggunakan kebijakan ketat nol-Covid, pemerintah China tiba-tiba membatalkan hal tersebut pada 7 Desember dan mengadopsi strategi hidup berdampingan dengan Covid-19. Namun setelahnya gelombang infeksi sejak itu meletus secara nasional.
Dalam beberapa waktu terakhir, media pemerintah berupaya meyakinkan publik bahwa wabah Covid-19 telah terkendali dan mendekati puncaknya.
Angka kematian resmi China 5.250 sejak pandemi dimulai dibandingkan dengan lebih dari 1 juta di Amerika Serikat (AS). Hong Kong yang dikuasai China, sebuah kota berpenduduk 7,4 juta, telah melaporkan lebih dari 11.000 kematian.
Namun, data dari otoritas China tak sepenuhnya transparan. Perusahaan data kesehatan Airfinity, yang berbasis di Inggris, pekan lalu menyebut sekitar 9.000 orang di China mungkin meninggal setiap hari akibat Covid.
Tak hanya itu, mereka juga menyebut kematian kumulatif di China sejak 1 Desember 2022 mungkin mencapai 100.000, dengan infeksi mencapai 18,6 juta. Airfinity memperkirakan infeksi Covid di China mencapai puncak pertamanya pada 13 Januari, dengan 3,7 juta infeksi setiap hari.
Akibat kurangnya transparansi data dari otoritas Negeri Tirai Bambu, sebanyak 16 negara di dunia telah memperketat perjalanan penumpang yang datang dari China sejak akhir 2022.
Amerika Serikat (AS), Kanada, Jepang, dan Prancis termasuk di antara negara-negara yang memberlakukan aturan bahwa semua pelancong dari China harus memberikan tes Covid negatif sebelum kedatangan. Sementara Maroko resmi melarang masuknya pelancong dari China.
Sinyal Bahaya IMF
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan untuk sebagian besar ekonomi global, 2023 akan menjadi tahun yang sulit karena mesin utama pertumbuhan global - Amerika Serikat, Eropa, dan China - semuanya mengalami aktivitas yang melemah.
"Tahun baru akan menjadi lebih sulit daripada tahun yang kita tinggalkan. Mengapa? Karena tiga ekonomi besar - AS, UE, dan China - semuanya melambat secara bersamaan," tuturnya kepada CBS, dikutip Reuters.
Adapun pada Oktober, IMF memangkas prospeknya untuk pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023, yang mencerminkan hambatan yang terus berlanjut dari perang di Ukraina serta tekanan inflasi dan suku bunga tinggi.
"Untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, pertumbuhan China pada 2022 kemungkinan berada di bawah atau di bawah pertumbuhan global," kata Georgieva.
Selain itu, lonjakan baru kasus Covid yang diperkirakan terjadi di Negeri Tirai Bambu dalam beberapa bulan ke depan kemungkinan akan makin memukul ekonominya tahun ini dan menyeret pertumbuhan regional dan global.
"Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan China akan negatif, dampaknya terhadap kawasan akan negatif, dampak terhadap pertumbuhan global akan negatif," katanya.
Dalam perkiraan Oktober, IMF mematok pertumbuhan PDB China tahun lalu sebesar 3,2% atau setara dengan prospek global IMF untuk 2022.
(luc/luc) Next Article 'Kegelapan' China Menjadi-jadi, Akankah RI Terseret?