
RI Impor Bawang Putih US$125,2 Juta: Dari China, AS Hingga Singapura

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Indonesia memang sangat ketergantungan dengan bawang putih impor, terutama dari China karena 90%-95% kebutuhan dalam negeri dipenuhi dari impor, berdasarkan catatan Badan Pangan Nasional (Bapanas). Ini karena Indonesia bukan negara penghasil bawang putih.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), impor bawang putih di Indonesia pada tahun ini, yakni Januari-April 2024 sebesar 95,95 ribu ton, turun 7,21% dari catatan pada periode yang sama tahun lalu sebesar 103,41 ribu ton. Namun, secara nilai melonjak 33,51% dari US$ 93,78 juta menjadi US$ 125,21 juta.
Mayoritas impor bawang putih berasal dari China sebesar 95,88 ribu ton. Sisanya sangat kecil, seperti dari Amerika Serikat hanya 942 kg, Jerman 180 kg, Malaysia 11 kg, dan Singapura 42 kg. Dari negara lain secara akumulatif hanya sebesar 63,09 ribu kg.
Rendahnya realisasi impor bawang putih inilah yang membuat KSP menganggap harga bawang putih di Indonesia sudah sangat mahal. Deputi III KSP Bidang Perekonomian Edy Priyono mengatakan, bawang putih terus mengalami kenaikan sejak satu tahun yang lalu, yang mana harganya sekarang ini sudah tembus ke level atas Rp 45.000 per kg dari tahun lalu hanya Rp 29.000 per kg.
"Kalau kita bandingkan harga rata-rata tahun 2023 dengan saat ini, harganya lebih tinggi, Tahun 2023 harga rata-ratanya Rp29.350 per kg, sekarang sudah Rp46.450 per kg," katanya dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi yang digelar Kemendagri, Senin (13/5/2024).
"Tak hanya harganya status tidak aman, disparitas harga bawang putih masuk kategori sedang. Di beberapa daerah harganya sangat mahal, di Maluku Utara sampai Rp67.500 per kg, di daerah lain relatif rendah meski masih di atas tahun lalu. Seperti Bali, sekarang rata-ratanya Rp37.400 per kg. Kerja sama antara daerah untuk suplai bawang putih ini perlu dilakukan," tegas Edy.
Edy memaparkan, dari hasil rapat khusus bawang putih tanggal 8 Mei 2024 terkonfirmasi, penyebab harga bawang putih saat ini semakin mahal bukan karena harga di negara asal sedang naik. Melainkan karena realisasi impornya yang lambat.
"Penyebab harga saat ini mahal karena realisasi impor yang masih sangat rendah. Karena kebutuhan kita itu flat, sekitar 50.000 ton per bulan. Jadi, Januari-Mei itu seharusnya sudah masuk 250.000 ton. Tapi ternyata baru 113.477 ton, nggak sampai separuh kebutuhan 5 bulan," ucap Edy.
"Bahkan, jumlah itu hanya 34,7% dari Persetujuan Impor (PI) yang telah diterbitkan. Indikasi penyebab realisasi masih rendah karena sebagian besar importir yang mendapat PI adalah importir baru, sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan impor," ujarnya.
Karena itu, lanjutnya, KSP akan memanggil importir untuk membahas pelaksanaan impor tersebut. Langkah ini dilakukan sebagai tindaklanjut dari rapat khusus yang digelar KSP pada 8 Mei 2024 lalu, membahas harga bawang putih bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kemenko Perekonomian, Badan Pangan Nasional (Bapanas), serta Satgas Pangan Polri.
Importir bawang putih pun telah mengkritik langkah KSP yang akan memanggil mereka terkait realisasi pelaksanaan impor. Menurut importir, KSP tak memiliki wewenang dalam memanggil importir bawang putih dan pertemuan pada 8 Mei juga tidak dihadiri oleh importir resmi.
Hal ini diungkapkan oleh Anggota Perkumpulan Pelaku Usaha Bawang Putih dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo) Jaya Sartika. Menurutnya, pertemuan tersebut merupakan inisiasi dari kelompok yang ternyata bukan pelaku importir bawang putih sebenarnya.
"Pemanggilan seperti itu umumnya diinisiasi dari orang-orang yang dia tidak mendapatkan izin, belum bisa melakukan proses RIPH (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura ) dan SPI (Surat Persetujuan Impor), sehingga dia mengadu ke kiri dan kanan, timbul lah seolah-olah ini inisiasi dari KSP, padahal bukan. Dan mereka bukan the real pemain (importir) bawang putih," kata Jaya kepada ²©²ÊÍøÕ¾, Rabu (15/5/2024).
"Saya bisa tanya satu-satu yang the real importirnya, seluruh pemain bawang putih saya kenal semua," sambungnya.
Jaya mengaku tidak setuju dengan adanya pemanggilan tersebut. Karena, dia menilai itu bukan ranahnya KSP dan tidak efisien. Bagaimanapun juga, katanya, urusan impor bawang putih masuk ke dalam ranahnya Kementerian Perdagangan (Kemendag), atau paling tidak Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, sebagai supervisinya.
"Saya kalau menyikapi itu, sangat tidak setuju, karena untuk apa? Itu kan sebetulnya bukan ranah KSP untuk menyikapi hal itu, tapi ranahnya Kemendag. Kalau menurut saya mah kurang efektif dan kurang efisien, yang ada harusnya mereka ngadu ke Kemendag kalau mereka benar-benar the real importir ya," kata Jaya.
Namun, Jaya mengaku sempat dipanggil Bareskrim Polri terkait harga bawang putih yang terus merangkak naik. Saat ini, harga bawang putih secara nasional sudah menembus Rp43.060 per kg.
"Kemarin sempat ada pemanggilan dari Bareskrim, kita (importir bawang putih) dipanggil semua ke Bareskrim. Saya tanya ulang ke Bareskrim, 'ini dalam rangka apa pak?', katanya 'dalam rangka menindaklanjuti arahan presiden terkait harga bawang yang tinggi'," kata Jaya.
Pada saat itu Jaya mengaku kebingungan, karena pemanggilan para importir itu terkait juga dengan aduan maladministrasi dalam penerbitan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang dilakukan Kementerian Pertanian (Kementan). Ia pun bertanya-tanya, kenapa harga bawang putih naik yang disalahkan Kementan. Padahal menurutnya, harga naik disebabkan stok yang kurang imbas dari realisasi impor yang rendah.
"Loh kok harga bawang menjadi tinggi prosesnya ada di Kementan? Kami juga bingung jawabnya, ya tapi kan kami nggak berani membantah, karena kalau dari pihak aparat penegak hukum sudah menanyakan seperti itu case-nya mana penyebabnya apa, kan bikin bingung," ucapnya.
Jaya menilai, tingginya harga bawang putih di pasaran itu tidak ada hubungannya dengan Kementan, kecuali Kementan terlambat dalam menerbitkan RIPH. Sementara menurutnya, yang masih terkendala saat ini ialah penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI) oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag).
"Harga tinggi itu tidak ada hubungan dengan Kementan, kecuali Kementan itu terlambat dalam menerbitkan RIPH. Itu baru masalah. Lah ini RIPH nya sebagian besar sudah diterbitkan. Tapi SPI tidak kunjung diterbitkan," ungkap dia.
"Kalau SPI kami diterbitkan, kami bisa mengimbangi harga market kan, tidak perlu mengambil untung yang terlalu besar," sambungnya.
(arm/mij) Next Article Aneh! RI Impor Cabai-Bawang Putih dari Singapura, Nilainya Segini