
Miris! Industri Susu RI Impor 80% Bahan Baku, Ini 3 Biang Kerok Utama

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Ardika mengakui, industri pengolahan susu di dalam negeri masih mengandalkan pasokan bahan baku impor sampai 80%.
Di sisi lain, ungkapnya, industri ini tengah mengalami pertumbuhan dan salah satu sektor yang berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
Menurut Putu, sampai tahun 2023 realisasi investasi di industri pengolahan susu dalam negeri tercatat sebesar Rp23,4 triliun dan telah menyerap tenaga kerja sebanyak 37 ribu orang. Tercatat, ada 88 pabrik pengolahan susu dan turunannya, dengan total kapasitas produksi mencapai 4,64 juta ton per tahun.
Hanya saja, baru sekitar 20% kebutuhan bahan baku industri pengolahan susu terpenuhi dari dalam negeri.
"Adanya investasi baru di sektor industri pengolahan susu, khususnya produsen susu cair, menyebabkan peningkatan kebutuhan bahan baku susu segar dari dalam negeri. Kemenperin terus berupaya menjaga ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan susu agar produktivitasnya berjalan baik dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar domestik hingga ekspor," katanya dalam keterangan resmi, Senin (27/5/2024).
"Diperlukan langkah untuk menjaga ketersediaan bahan baku. Kondisi saat ini, hanya sekitar 20 persen bahan baku susu yang dipasok dari dalam negeri," tambah Putu.
Dia pun membeberkan penyebab masih rendahnya penyediaan bahan baku lokal bagi industri pengolahan susu di dalam negeri.
"Masalah ini disebabkan laju pertumbuhan produksi susu segar di dalam negeri, yaitu sebesar rata-rata 1 persen dalam enam tahun terakhir. Sehingga tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan kebutuhan bahan baku industri pengolahan susu yang tumbuh rata-rata 5,3 persen," sebut Putu.
"Kendala utama dalam pengembangan produksi susu segar dalam negeri (SSDN) adalah masih sedikitnya populasi sapi perah di Indonesia, sekitar 592 ribu ekor. Juga, rendahnya produktivitas sapi perah rakyat, yaitu 8-12 liter per ekor per hari. Serta tingginya rasio biaya pakan dengan hasil produksi susu, mencapai 0,5-0,6," paparnya.
Belum lagi, tuturnya, pengembangan produksi susu segar di dalam negeri dihadapkan pada terbatasnya lahan untuk kandang dan pakan hijauan.
"Selain itu, kepemilikan sapi perah peternak rakyat masih minim, 2-3 ekor per peternak, biaya pembesaran (rearing) anakan sapi perah yang cukup mahal, kurangnya pemahaman peternak rakyat akan Good Dairy Farming Practices (GDFP), serta masih minimnya minat anak muda untuk menjadi peternak," terangnya.
Karena itu, lanjut Putu, untuk mengatasi berbagai persoalan dalam pengembangan SSDN, diperlukan dukungan dan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada penanganan di sektor hulu baik koperasi susu dan peternak sapi perah. Dia mencontohkan, program yang telah dilakukan Kemenperin, yaitu memberikan bantuan sebanyak 84 cooling unit kepada 68 koperasi susu di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
"Pada tahun 2021, kami telah membantu mendirikan Milk Collection Point (MCP) di koperasi susu di Pengalengan, Jawa Barat, dan pada tahun 2022 kami melakukan digitalisasi di 40 tempat penerimaan susu (TPS) di Jawa Timur sebagai implementasi program industri 4.0 untuk memantau kualitas susu secara real time," sebutnya.
"Pola kemitraan sangat penting, antara pelaku industri dengan peternak, untuk peningkatan populasi peternak dan sapi perah serta memfasilitasi bantuan sarana prasarana penunjang produksi. Juga perlu adanya pelaksanaan program pelatihan SDM peternak terkait Good Agricultural Practices untuk peningkatan produktivitas peternak," ucapnya.
Pergeseran Konsumsi
Putu mengatakan, tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia sebesar 16,9 kg per kapita per tahun setara susu segar.
"Saat ini terjadi perubahan demand di pasar, dari susu bubuk dan susu kental manis, menjadi susu cair (UHT dan pasteurisasi) dalam beberapa tahun terakhir," ujarnya.
"Karena itu, produksi terbesar di industri pengolahan susu saat ini didominasi susu cair dan krim (49%), sisanya adalah susu kental manis (17%) dan susu bubuk (17,5%). Seiring hal ini, industri pengolahan susu sudah mampu ekspor dengan beragam produk seperti susu formula, makanan bayi, es krim, keju, yogurt, susu bubuk, susu kental manis, serta susu cair dan krim," lanjutnya.
Sementara itu, Putu memaparkan, industri pengolahan susu merupakan salah satu sektor yang berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
"Pada tahun 2022, meski masih terjadi pandemi Covid-19, industri pengolahan susu mampu berkembang yang ditandai dengan munculnya beberapa investasi baru seperti PT Frisian Flag Indonesia di Kabupaten Bekasi, PT Nestle Indonesia di Kabupaten Batang, PT Kian Mulia di Kabupaten Bekasi, dan rencana investasi Baladna (perusahaan asal Qatar) di Kabupaten Indramayu," paparnya.
"Ini menunjukkan, bisnis di sektor industri pengolahan susu masih cukup prospektif sekaligus mencerminkan Indonesia sebagai negara tujuan utama investasi karena terciptanya iklim usaha yang kondusif dengan berbagai kebijakan yang probisnis," katanya.
Putu menyatakan, industri pengolahan susu turut memberikan andil besar terhadap pertumbuhan industri agro. Pada tahun 2023, industri agro mampu tumbuh 4,15%, yang menjadi penopang utamanya adalah industri makanan dan minuman dengan pertumbuhannya mencapai 4,47%.
"Kinerja industri pengolahan susu akan semakin gemilang seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat dan bertumbuhnya kelas menengah. Selain itu bertransformasinya gaya hidup masyarakat menjadi lebih sehat, diyakini konsumsi produk susu olahan akan terus tumbuh tinggi ke depannya," pungkas Putu.
(dce) Next Article BPS Ungkap Barang Paling Diimpor RI Sepanjang 2023, Apa Itu?
