²©²ÊÍøÕ¾

Cela di Balik Pertumbuhan Ekonomi 5% Jokowi

Rosseno Aji Nugroho, ²©²ÊÍøÕ¾
13 August 2024 07:25
Presiden Joko Widodo (Jokowi) usai acara Penyerahan SK TORA dan Peninjauan EXPO Festival LIKE 2, di Jakarta Convention Center, Jumat (9/8/2024). (²©²ÊÍøÕ¾/Emir Yanwardhana)
Foto: Presiden Joko Widodo (Jokowi) usai acara Penyerahan SK TORA dan Peninjauan EXPO Festival LIKE 2, di Jakarta Convention Center, Jumat (9/8/2024). (²©²ÊÍøÕ¾/Emir Yanwardhana)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo jauh panggang dari api. Capaian yang diperoleh selalu meleset dari target awal Jokowi yang menginginkan pertumbuhan ekonomi mencapai 7% per tahun.

Selama 10 tahun, rata-rata pertumbuhan ekonomi yang berhasil dicapai Jokowi hanya berkutat di angka 5%.Target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan 5,2% pada 2024 pun terancam tidak tercapai. Sebab, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,08% sepanjang semester I 2024.

Capaian pertumbuhan ekonomi yang konsisten 5% mungkin terlihat cukup baik mengingat kondisi global yang penuh ketidakpastian oleh pandemi dan konflik geopolitik. Namun, di balik laporan pertumbuhan yang lumayan itu masih banyak menyimpan masalah.

Tingkat kemiskinan selama satu dekade terakhir hanya turun dari 28,2 juta orang pada 2014 menjadi 25,2 juta orang pada 2024. Artinya dalam waktu 10 tahun kepemimpinan Jokowi hanya ada sekitar 3 juta orang yang berhasil diangkat derajat ekonominya.

Tingkat pengangguran terbuka pun masih cukup tinggi. Per Februari 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) masih 4,82% dengan jumlah pengangguran 7,2 juta orang. Jumlah itu tak berubah dibandingkan masa awal pemerintahan Jokowi dengan persentase TPT sebesar 5,7% dan jumlah pengangguran 7,2 juta.

Data pekerja itu belum melihat jumlah pekerja informal yang mendominasi lapangan kerja di Indonesia, serta banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pada Februari 2024, angka pekerja informal melonjak menjadi 59,17% dari sebelumnya 56,64% pada 2020. Sementara, angka PHK pada Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 atau naik 21,4% dari periode yang sama tahun 2023 sebanyak 26.400 orang.

Ekonom senior Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Jokowi terlalu bertumpu pada utang. Tercatat selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, utang melonjak dari yang sebelumnya Rp 2.608 triliun pada 2014 menjadi Rp 8.338,43 pada April 2024.

"Indonesia ini seperti keluarga yang output-nya besar, tapi sumber input-nya itu utang," kata Wijayanto dikutip Senin, (12/8/2024).

Wijayanto mengatakan pemerintah menggunakan utang untuk menopang konsumsi masyarakat melalui bantuan sosial dan juga subsidi. Tercatat, jumlah anggaran untuk perlindungan sosial selalu naik dari tahun ke tahun. Pada 2024, jumlah anggaran yang disediakan pemerintah untuk perlinsos mencapai Rp 496 triliun yang bahkan lebih besar dari masa pandemi Covid-19.

Selain untuk bansos, Wijayanto mengatakan anggaran pemerintah terbesar juga diberikan untuk belanja ASN. Maka itu, pengeluaran pemerintah untuk menggaji karyawannya terus naik. Pada 2020, anggaran yang digunakan untuk pengeluaran rutin ini sudah mencapai Rp 380,6 triliun. Angka itu semakin tinggi pada 2024 dengan total anggaran belanja pegawai mencapai Rp 484,4 triliun.

Wijayanto menuturkan pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai dan bansos memang mampu menopang daya beli masyarakat. Namun, konsumsi bukanlah sumber pertumbuhan yang produktif. "Kita lihat dari konsumsi ini inputnya adalah utang," kata dia.

Wijayanto menuturkan pengeluaran pemerintah lainnya yang cukup besar adalah untuk infrastruktur. Namun, sayangnya dia menilai infrastruktur yang dibangun pemerintah kurang perencanaan. Akibatnya, keberadaan infrastruktur itu belum mampu menekan ongkos logistik di Indonesia.

"Dikatakan utang untuk infrastruktur, betul dibangun tapi apakah logistic cost itu makin turun? Apakah ekonomi kita semakin efisien? Jawabannya tidak, logistic cost makin tinggi," kata dia.

Masih bergantungnya ekonomi Indonesia pada sektor konsumsi yang ditopang bansos dan subsidi dapat terlihat dari kontribusi sektor ini pada pertumbuhan ekonomi. Sektor konsumsi hampir selalu menyumbang setengah dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam laporan terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) tentang realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal-II 2024, sektor konsumsi berkontribusi 54,53% dalam perekonomian.

Selain itu, model perlindungan sosial yang bertumpu pada bansos hanya mampu menolong mereka yang tergolong kelompok paling bawah. Sementara itu, kelompok mayoritas kelas menengah justru terabaikan. Terabaikannya kelompok ini tergambar dari merosotnya porsi kelas menengah di Indonesia selama periode kedua pemerintahan Joko Widodo.

Sejumlah ekonom termasuk ekonom senior Chatib Basri memperkirakan jumlah kelas menengah di Indonesia pada 2018-2019 masih mencapai sekitar 21% dari populasi. Namun, pada 2023 jumlahnya merosot menjadi sekitar 17-18%. Di saat bersamaan, porsi calon kelas menengah dan kelompok rentan justru naik di Indonesia. Artinya, banyak kelas menengah yang terjun bebas ke kelas ekonomi yang lebih rendah.

Banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selama pandemi Covid-19 ditengarai hanya menjadi salah satu penyebab banyak kelas menengah yang terjun ke kelas yang lebih rendah. Faktor utama yang diduga menjadi penyebab banyak warga jatuh miskin adalah kegagalan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja yang layak dengan gaji yang tahan menghadapi inflasi.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mencatat kondisi kerja kelas menengah maupun calon kelas menengah di Indonesia tak banyak berubah dari 2014-2023. LPEM menyebut selama satu dekade mayoritas kelompok menengah masih bekerja di sektor jasa bernilai tambah rendah.

"Ini mengindikasikan tidak adanya perbaikan signifikan dari mobilitas tenaga kerja menuju sektor yang lebih produktif," kata peneliti LPEM UI Teuku Riefky.

Dia mengatakan situasi ini menyiratkan kurangnya penciptaan lapangan kerja atau adanya hambatan struktural yang menghalangi kelas menengah dan calon kelas menengah untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

"Jika tidak segera diatasi, calon kelas menengah dan kelas menengah mengalami risiko tinggi mendapatkan penghasilan yang rendah dan buruknya kualitas pekerjaan di masa mendatang," ujar Riefky.

Deindustrialisasi Dini

Faktor lain yang menyebabkan ekonomi Indonesia stagnan adalah terjadinya deindustrialisasi dini di Indonesia. Kontribusi sektor manufaktur di Indonesia makin lama makin turun. Dalam laporan pertumbuhan ekonomi kuartal-II 2024, BPS melaporkan industri pengolahan menyumbang pertumbuhan sebesar 0,79% pada pertumbuhan. Kontribusi itu turun dibandingkan pada triwulan-I 2024 yang mencapai 0,86% dan triwulan-II 2023 yang mencapai 0,98%.

Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang melihat kontribusi industri yang menyusut itu sebagai tanda terjadinya perlambatan ekonomi. Banyak faktor yang menyebabkan melambatnya kontribusi sektor manufaktur pada perekonomian itu salah satunya suku bunga tinggi.

"Suku bunga tinggi menekan konsumsi dan daya beli, jadinya bisnis atau industri dan manufaktur tidak berminat untuk ekspansi," kata Hosanna.

Dia mengatakan lesunya ekonomi ini juga membuat industri di Indonesia memilih untuk melakukan efisiensi biaya. Hal tersebut yang kemudian memicu banyaknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Tanah Air. "Makanya ada badai PHK," ujar dia.

Ekonom LPEM UI Teuku Riefky mengatakan walaupun pertumbuhan ekonomi di Indonesia tetap positif, namun pertumbuhan itu menunjukan permasalahan struktural. Dia mengatakan 45% aktivitas ekonomi di Indonesia hanya ditopang oleh 3 sektor, yakni pertanian, pengolahan dan perdagangan. Sayangnya, ketiga sektor tersebut termasuk industri pengolahan selalu menunjukan tran pertumbuhan di bawah rata-rata nasional.

"Stagnansi yang persisten terjadi di sektor pengolahan menguatkan indikasi terjadinya deindustrialisasi prematur," ujar dia.


(rsa/haa) Next Article Katanya Ekonomi RI Bagus: Pabrik Tutup, PHK di Mana-Mana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular