²©²ÊÍøÕ¾

Kotak Pandora Kembalinya AJB Bumiputera

Irvan Rahardjo, ²©²ÊÍøÕ¾
13 February 2018 07:05
Irvan Rahardjo
Irvan Rahardjo
Analis senior bidang Perasuransian. Memiliki 38 tahun pengalaman di bidang industri asuransi. Arbiter Badan Mediasi & Arbitrase Asuransi Indonesia (2015 - sekarang), Direktur Asuransi Jasindo ( 2001) Komisaris Independen AJB Bumiputera (2012 -2013). Lulusa.. Selengkapnya
AJBB yang setahun dalam kondisi run off bakal kembali beroperasi normal.
Foto: ²©²ÊÍøÕ¾/Gita Rossiana

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com

Skema restrukturisasi Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJBB) akhirnya dibatalkan. Kerja sama dengan PT Bumiputera Investasi Indonesia Tbk alias PT Evergreen Invesco Tbk sudah diakhiri. Selanjutnya, AJBB yang  setahun dalam kondisi run off (berhenti menerima pemegang polis baru, hanya menerima premi lanjutan  dan membayar penebusan polis lama), bakal kembali beroperasi normal.

AJBB telah menandatangani akta pembatalan perjanjian dengan Evergreen pada 10 Januari 2018. Kabar pembatalan tersebut disambut positif oleh banyak pihak yang selama ini menyangsikan skema yang ada.

Dengan pembatalan tersebut, maka AJBB akan mengembalikan uang yang sudah diterima dari investor terkait pengambilalihan perusahaan asuransi baru PT Asuransi Jiwa Bumiputera yang berada di bawah payung Evergreen.

Total uang yang sudah diterima yaitu Rp 537 miliar, dengan sebagian aset Bumiputera menjadi agunan bank, Rp 100 miliar digunakan untuk  pembentukan PT Bumiputera, Rp 297 miliar untuk membayar pesangon karyawan yang dipindahkan ke PT Bumiputera

Di sisi lain, Evergreen akan mengembalikan hak-hak yang sebelumnya diberikan AJBB, di antaranya penggunaan infrastruktur dan sumber daya Bumiputera. Saat ini, PT Asuransi Jiwa Bumiputera telah bersalin nama menjadi PT Asuransi Jiwa Bhinneka.

Kerusakan akibat skema restrukturisasi a la Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah terjadi. Butuh waktu lama lagi untuk memulihkannya.

Hari-hari ini eskalasi konflik horizontal terjadi di bawah satu atap banyak kantor cabang antara karyawan yang semula migrasi ke PT Asuransi Jiwa Bumiputera dengan yang memilih bertahan memperebutkan warisan sejarah Bumiputera. Pihak PT Asuransi Jiwa Bumiputera mencoba menghalangi para agen kembali ke AJBB.

Para agen diperingatkan untuk tidak pindah dengan ancaman kehilangan hak-hak normatif keagenan yang selama ini diperoleh. Agen-agen yang ingin hengkang dari PT Asuransi Jiwa Bumiputera kembali ke AJBB diancam dengan sejumlah aturan terkait ketenagakerjaan dan kode etik keagenan.   

Restrukturisasi menyebabkan berakhirnya keberadaan badan usaha mutual. Padahal, bentuk badan usaha terbukti telah bertahan lebih dari seratus  tahun. Studi Sigma SwissRe 2016 menunjukkan bahwa bentuk usaha mutual terbukti lebih tahan menghadapi krisis.

Bongkar pasang restrukturisasi AJBB yang tak berkesudahan tanpa prospek jelas membuka kotak pandora sejumlah masalah dasar.

Pertama, rezim baru OJK nampak gamang. Semula ingin mengidentifikasi masalah namun tak kunjung datang dengan solusi.  OJK nampak  mengambil jarak dengan dalih Pengelola Statuter (PS) diangkat oleh OJK rezim sebelumnya dan membiarkan bola panas di tangan PS.

Terlebih kini OJK tengah menuai gugatan yang dilayangkan PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya (dalam pailit) atas tindakan pencabutan izin usaha dan dipailitkan senilai Rp 5,4 triliun. Gugatan terdaftar dengan No.6 43/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kuasa hukum PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya mengatakan OJK telah bertindak sewenang-wenang. Penggugat tidak dapat menerima tindakan OJK mencabut izin usaha dan mempailitkan penggugat.

Menyusul pekan lalu ancaman gugatan oleh sekelompok masyarakat atas langkah restrukturisasi terhadap AJBB yang mengabaikan hak hak pemegang polis dan mengabaikan hukum.

OJK  tidak mengambil pilihan memberhentikan PS yang terbukti tidak menunjukkan perbaikan kinerja sejak ditugaskan mengambil alih pengelolaan AJBB 21 Oktober 2016 berdasarkan Pasal 9 Undang Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, Pasal 62 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, dan Peraturan OJK Nomor 41/POJK.05/2015 tentang Tata Cara Penetapan Pengelola Statuter Pada Lembaga Jasa Keuangan.

PS telah melaksanakan beberapa inisiatif di antaranya rencana penerbitan saham baru (rights issue) senilai Rp 40 triliun melalui PT Evergreen Invesco Tbk. Prospektus lengkapnya  diterbitkan dan dipublikasikan pada 31 Oktober 2016 untuk dilaksanakan sebelum akhir 2016 namun tidak berwujud.

Jumlah dana yang ditargetkan dari rights issue terus berubah dari semula Rp 40 triliun turun menjadi Rp 30 triliun, lalu Rp 10 triliun, dan terakhir Rp 4 triliun sebelum akhirnya dinyatakan batal. Setelah melalui proses trial and error, PS mengambil langkah berupa private placement yang dilakukan oleh investor lokal yang kemudian hanya isapan jempol.

Kompetensi dan integritas beberapa anggota PS tidak sesuai dengan POJK nomor: 4/POJK.05/2013 tentang penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama  perusahaan perasuransian.

Selain gagal mendatangkan investor, PS juga gagal membangkitkan bisnis Bumiputera, tercermin dari pendapatan premi sepanjang di bawah kendali PS.

Pendapatan premi Bumiputera setelah diambil alih oleh OJK dengan membentuk PS sepanjang 2017 ternyata hanya Rp 269 miliar, atau rata-rata per bulan hanya Rp 22,42 miliar. Sama sekali jauh dari target minimal pendapatan premi yang ditetapkan manajemen baru Rp 3 triliun.

Apalagi jika dibandingkan dengan pendapatan premi rata-rata Bumiputera sebelum restrukturisasi ala OJK yang mencapai Rp 6 triliun per tahun atau Rp 500 miliar per bulan.

Pengalaman demutualisasi MetLife USA yang menuai gugatan class action para pemegang polis senilai US$50 juta (Rp 682,5 miliar) pada 2009 patut menjadi pelajaran bagi OJK agar ekstra hati hati dalam menangani restrukturisasi. Penggugat menyatakan telah terjadi kecurangan pada saat melakukan pengalihan dari mutual ke bentuk perseroan dengan pernyataan menyesatkan kepada pemegang polis agar menyetujui pengalihan bentuk usaha.

Kedua, terdapat komplikasi hukum di mana restrukturisasi dijalankan tanpa payung hukum memadai. Tindakan hukum pada badan usaha yang belum diatur oleh UU bukan dengan membuat penetapan pengambilalihan melalui PS. Pembentukan PS yang berlandaskan peraturan OJK dan tindakan yang dilakukannya tersebut tidak sesuai dengan UU yang secara hierarki berada di atasnya. Pengalihan aset terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari BPA sebagai wakil pemegang polis sesuai ketentuan anggaran dasar. Perlu diingat, sesuai Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), jika belum terdapat payung hukum untuk usaha bersama, Anggaran Dasar AJBB 1912 tetap berkedudukan sebagai UU.

Ketiga, regulator mengabaikan watak paling dasar dari bentuk mutual bahwa pemilik perusahaan adalah pemegang polis. Untuk itu, jalan keluar dari bentuk mutual adalah menyelenggarakan referendum terhadap seluruh anggota usaha bersama mengacu pada ketentuan anggaran dasar untuk menentukan kelanjutan dari usaha bersama dengan mengingat kondisi perusahaan saat ini dan tantangan ke depan.

Referendum harus dilakukan dengan sangat hati-hati didahului dengan sosialisasi dan edukasi kepada semua pemegang polis agar menyadari kedudukan mereka sebagai pemilik perusahaan dan konsekuensinya.

Sebagai perbandingan, MetLife USA menyelenggarakan pemungutan suara demutualisasi kepada 11 juta pemegang polis pada tahun 2000 menghasilkan 2,76 juta menggunakan hak pilih, 2,57 juta di antaranya menyetujui demutualisasi.

Keempat, pembiaran yang berlarut-larut sepanjang napas republik berdiri usaha bersama berjalan tanpa payung hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi RI perkara Nomor 32/PUU-XI/2013 perihal uji materi Pasal 7 Ayat 3 UU Nomor 2/1992 tentang Perasuransian 3 April 2014  memerintahkan agar mutual diatur dalam bentuk UU tersendiri yang hingga kini belum kunjung terwujud.

Menurut UU 40/2014 tentang perasuransian, pengaturan mutual adalah domain pemerintah, bukan domain OJK. Pada tahun 2012 pemerintah menyusun rancangan PP  tentang usaha bersama asuransi namun dibatalkan karena mutual dianggap tidak cukup diatur dengan PP. Bumiputera dilahirkan dengan dasar hukum Staatsblaad 1870 pemerintah Hindia Belanda.

Di antaranya perlu diatur keanggotaan BPA agar lebih representatif dan akuntabel dengan jumlah pemegang polis. Salah satu penyebab mismanajemen AJB Bumiputera adalah tidak berjalannya checks and balances, terjadi praktek incest di mana BPA diangkat oleh direksi dan sebaliknya direksi diangkat juga oleh BPA.

Kelima, pemerintah agar tidak mengulangi kesalahan yang sama: abai dengan program penjaminan polis amanat UU 40/2014 perasuransian yang belum terbentuk setelah lewat batas waktu 3 tahun yang ditentukan.

Untuk mempercepat pembentukannya, program penjaminan polis dapat  dilakukan dengan amandemen UU 24/ 2004 tentang LPS sebagai aturan untuk penjaminan simpanan nasabah bank sekaligus perlindungan pemegang polis asuransi.
(prm)

Tags

Related Opinion
Recommendation