²©²ÊÍøÕ¾

Tabuhan Genderang Perang Dagang Trump

Fithra Hastiadi, ²©²ÊÍøÕ¾
08 March 2018 16:44
Fithra Hastiadi
Fithra Hastiadi
Fithra Faisal Hastiadi memperoleh gelar sarjana ekonomi di bidang Ekonomi dari Universitas Indonesia sebelum melanjutkan studinya ke Universitas Keio, Jepang. Dia kemudian meraih gelar PhD dari Universitas Waseda di jepang dalam bidang ekonomi perdagangan .. Selengkapnya
Meski dahi masih berkerut, saya dan beberapa kolega ekonom masih percaya bahwa kebijakan-kebijakan Trump yang terasa diluar nalar akan reda
Foto: Reuters

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com

Tahun 2016 yang lalu publik dikejutkan dengan terpilihnya Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Setidaknya sampai bulan Oktober tahun 2016, tanda-tanda Trump terpilih masih sangat sumir. Saya pun ketika diundang dalam sebuah dialog dalam sebuah stasiun televisi swasta menyampaikan keyakinan saya bahwa Trump akan tersingkir dari persaingan. Namun prediksi saya dan juga kebanyakan orang meleset, Trump terpilih dan membuat guncang dunia.

Meski dahi masih berkerut, saya dan beberapa kolega ekonom masih percaya bahwa kebijakan-kebijakan Trump yang terasa diluar nalar akan reda seiring dengan meredanya euforia konstituennya. Siapa sebenarnya konstituen Trump? Wisconsin, Michigan, Pennsylvania, Tennesse, dan Arizona adalah beberapa basis militan yang secara kebetulan terdampak cukup keras dari fenomena "hollowing out" Fenomena ini dipicu oleh fleksibilitas lokasi industri yang mengalir menuju tempat yang menawarkan ongkos produksi lebih rendah sebagai konsekuensi logis dari skema jaringan produksi (production network) dan rantai nilai global (global value chain). industri kemudian pindah ke negara-negara berkembang seperti Meksiko, Cina, Brazil, dan negara-negara lain yang serupa.

Memasuki tahun 2018, saya melihat kebijakan Trump alih-alih berbalik menuju keseimbangan awal, sebagai dampak natural dari birokrasi di negeri Paman Sam, malah menunjukkan gejala yang semakin irasional. Contoh teranyar adalah di awal bulan Maret ini Trump mengambil jalan pintas untuk mengatasi defisit perdagangan yang membengkak dengan menaikkan Tarif.

Menengok data dari Global Trade Alert, sebenarnya AS sudah melakukan tindakan pengamanan perdagangan yang dirangkum dari 1281 aturan, dimana sejak Januari 2008 hingga saat ini, AS terhitung sudah menerapkan aturan lebih banyak dari yang diberlakukan oleh India, Rusia, Argentina dan Inggris. Namun tindakan Trump dengan menaikkan tarif merupakan strategi yang terlalu eksplisit dan memercik kegaduhan massal. Memang kenaikan tarif ini masih terbatas di sektor alumunium dan baja, tetapi mengingat motifnya, bisa jadi kenaikan tarif akan meluas ke sektor lain.

Di Amerika Serikat sendiri setidaknya akan ada 6,5 juta tenaga kerja yang akan terdampak baik secara langsung maupun tidak langsung dari pengenaan tarif alumunium dan baja ini. Mereka rentan untuk kehilangan pekerjaannya sebagai akibat dari naiknya ongkos produksi industri terkait (infrastruktur dan manufaktur). Jadi alih-alih meningkatkan kesejahteraan dengan naiknya Terms of Trade, Trump justru menggali kuburnya sendiri.

Lebih lanjut, ulah Trump tentu akan diganjar retaliasi (perang dagang) oleh partner dagangnya dimana ini adalah konsekuensi logis dari strategi tit for tat yang akan memicu efek domino secara global. Korban paling signifikan tentunya adalah negara-negara di Asia terutama emerging markets yang sangat mengandalkan perdagangan internasional. Selama beberapa tahun terakhir, tidak dapat dipungkiri bahwa Asia merupakan mesin pendorong pertumbuhan ekonomi dunia yang jelas akan tertahan dengan adanya perang tarif ini.

Perhitungan saya berdasarkan data runtun waktu, setidaknya akan ada koreksi sebesar 0.5 hingga 0.8 persen dari pertumbuhan ekonomi dunia sebagai akibat dari perang tarif.
Apabila melihat struktur perdagangan Amerika Serikat, negara-negara penyumbang defisit terbesar adalah Cina sebesar 21,8% dan diikuti oleh Uni Eropa (18,9%), Kanada (13,0%), Meksiko (12,9%). Terkhusus Cina, belum-belum negeri asal Jack Ma ini sudah mengancam akan melakukan retaliasi tidak hanya di produk impor AS tetapi juga dipasar obligasi.

Jamak kita tahu bahwa Cina merupakan pemegang surat utang AS yang terbesar, sebagai pembalasan atas kebijakan oxymoronic AS, Cina mengancam akan mengkaji dan bahkan menghambat kepemilikan mereka terhadap surat utang AS. Konsekuensinya, kegaduhan dalam pasar obligasi, memicu pecahnya bubble dan meroketnya sukubunga, katastropik!

Untuk indonesia, AS merupakan partner dagang tradisional bersama china. Dengan adanya perang dagang, indonesia jelas akan terdampak juga. Tetapi mengingat perdagangan internasional sumbangannya tidak terlalu besar bagi pertumbuhan ekonomi indonesia, efek kontraksi pertumbuhan ekonomi sepertinya juga akan minimal, 0.1 sampai 0.2 persen, namun Indonesia masih tetap harus waspada. Yang menjadi masalah adalah kecenderungan naiknya suku bunga internasional yang dipicu oleh retaliasi china dan pernyataan jerome powell yang hawkish.

Hal ini tentu akan berujung pada semakin tertekannya nilai Rupiah yang tentu dampaknya buruk untuk perkekonomian Indonesia kedepan.

Indonesia jelas perlu mempercepat 3 strategi perdagangan internasional yang saat ini perkembangannya cukup tertahan, yang pertama adalah mencari dan mengkonkritkan negara-negara non tradisional sebagai partner dagang kita, yang kedua adalah meningkatkan utilisasi perjanjian dagang (ijepa, acfta) yg saat ini tingkat utilisasinya masih rendah (30 an persen), yang ketiga adalah berperan aktif dalam forum regional untuk mempercepat integrasi regional dalam bentuk rcep.

Sementara itu terkait strategi moneter, bank indonesia perlu semakin waspada dan mengambil langkah bauran kebijakan yang tepat untuk meredam ekspektasi liar sembari memperkuat fondasi makro bersama pemerintah.

Saya termasuk yang percaya bahwa perdagangan internasional dengan segala turunannya akan membawa kemakmuran terhadap negara-negara yang melakukannya, apalagi sekarang kita hidup di era perjanjian kerja sama skala besar. Negara-negara yang menentang arus hanya akan mendapatkan konsekuensi buruk di jangka panjang, meskipun dijangka pendek mereka bisa saja menuai keuntungan.

Dengan demikian saya melihat secara domestik, AS akan mengalami fenomena Stagflasi, sebuah fenomena yang terjadi ketika inflasi dan pelambatan ekonomi terjadi secara bersamaan. Ini tentu buruk, sangat buruk baik untuk AS maupun untuk ekonomi global. Melihat dampak yang demikian, apakah ada kemungkinan Trump merevisi kebijakan ultra proteksinya? saya belum berani menduga lebih jauh karena mungkin saja kita akan menghadapi kejutan-kejutan lainnya dari Trump, sebagaimana dia telah mengejutkan kita tanggal 9 November tahun 2016 yang lalu ketika dia terpilih menjadi Presiden AS. Bagaimana dengan Indonesia? Fundamental perekonomian yang masih cukup rapuh (jika tidak bisa dibilang jelek) tentu bukan bekal yang bagus untuk menghadapi terjangan badai kedepan. Sebagaimana Profesor Iwan Jaya Azis pernah beranalogi, dunia sekarang tengah hamil tua.
(dru)

Tags

Related Opinion
Recommendation