Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com
"Jadi memang yang paling penting itu ada satu, penyederhanaan sistem, penting sekali. Kunci. Ini yang harus kita perbaiki. Yang kedua menyederhanakan izin-izin yang membuat kita ruwet. Dua hal ini kalau kita selesaikan akan mempercepat inklusi keuangan kita, cepat sekali." Kalimat tersebut keluar dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri, sang Presiden Republik Indonesia setelah bertemu dengan Ratu Maxima dari Belanda yang membahas keuangan inklusif. Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus kompak mendorong akses ke industri jasa keuangan.
Keuangan inklusif, mengutip penjelasan Bank Indonesia, Jumat (8/3/2018), pada dasarnya adalah suatu bentuk pendalaman layanan keuangan (financial service deepening) yang ditujukan kepada masyarakat in the bottom of the pyramid untuk memanfaatkan produk dan jasa keuangan formal seperti sarana menyimpan uang yang aman (keeping), transfer, menabung maupun pinjaman dan asuransi.
Hal ini dilakukan tidak saja menyediakan produk dengan cara yang sesuai tapi dikombinasikan dengan berbagai aspek.
Masih mengutip kajian Bank Indonesia, di Indonesia sudah terdapat studi dan berbagai alasan yang menyebabkan masyarakat dimaksud menjadi unbanked, baik dari sisi supply (penyedia jasa) maupun demand (masyarakat), yaitu karena price barrier (mahal), information barrier (tidak mengetahui), design produk barrier (produk yang cocok) dan channel barrier (sarana yang sesuai).
Keuangan inklusif mampu menjawab alasan tersebut dengan memberikan banyak manfaat yang dapat dinikmati oleh masyarakat, regulator, pemerintah dan pihak swasta, antara lain sebagai berikut:
- Meningkatkan efisiensi ekonomi, mendukung stabilitas sistem keuangan, mengurangi shadow banking atau irresponsible finance, mendukung pendalaman pasar keuangan dan memberikan potensi pasar baru bagi perbankan.

- Mendukung peningkatan Human Development Index (HDI) Indonesia, berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional yang sustain dan berkelanjutan.
- Mengurangi kesenjangan (inequality) dan rigiditas low income trap, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya berujung pada penurunan tingkat kemiskinan. 

Pemerintah telah melakukan berbagai cara melalui kampanye Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Dari sejak lahirnya TabunganKu, Laku Pandai, sampai Bantuan Sosial, dan Jamkesmas. OJK, melalui Ketua Dewan Komisionernya, Wimboh Santoso menargetkan tingkat keuangan inklusif masyarakat Indonesia bisa mencapai 50% di akhir 2017. Dan Jokowi sendiri menginginkan bisa 75% di 2019.
"Kita harus mendekati 50 persen di akhir tahun ini agar pada tahun 2019 tercapai target keuangan inklusif yang 75 persen," kata Wimboh.

Di tengah upaya pemerintah dan strategi meningkatkan inklusi keuangan, fenomena keberadaan perusahaan Financial Technology alias Fintech ikut-ikutan membawa misi inklusi keuangan. Dengan kekuatan teknologi, Fintech penyedia jasa peer to peer (P2P) ini mengklaim mampu membuka akses yang sebelumnya tidak 'terjamah' oleh masyarakat.
Bunga Fintech SelangitPara Fintech lending ini menawarkan kemudahan dalam transaksi dan mendapatkan pinjaman. Berbeda dengan perbankan, para Fintech lending tidak membebankan peminjam (borrower) dengan berbagai surat dan administrasi yang bertumpuk. Formulir yang harus diisi sangat sederhana hanya data diri.
Fintech lending juga tidak mensyaratkan adanya kolateral pinjaman. Biasanya mereka hanya mensyaratkan gaji bulanan atau laporan keuangan usaha. Belum lagi waktu yang dibutuhkan dalam pemprosesan sangat cepat. Bila bank butuh tujuh hari, Fintech lending bisa memproses pinjaman kurang dari satu hari.
Dengan berbagai kemudahan syarat ini, wajar jika banyak masyarakat yang merasa dimudahkan untuk mendapatkan pinjaman. Pinjaman yang disalurkan Fintech lending pun melonjak tinggi.
Berdasarkan data Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) pada Desember 2016 total pinjaman yang disalurkan Rp 300 miliar. Pada Januari 2018 penyalurannya sudah Rp 3 triliun. Artinya dalam setahun pembiayaan telah tumbuh 10 kali lipat.
Meski mempermudah akses bagi unbanked, ada sebuah anomali dalam layanan yang diberikan Fintech lending. Bunga pinjaman. Fintech lending membebankan nasabahnya dengan bunga yang sangat tinggi. Hal ini memunculkan isu miring Fintech sebagai rentenir atau lintah darah digital.
Dalam penelusuran ²©²ÊÍøÕ¾ beberapa Fintech lending di Indonesia bisa memberikan bunga diatas 35%. Bahkan Uangteman memberikan bunga 35% per tahun dan Danakita 56% per tahun. Beban ini belum termasuk admin fee.
Bunga yang tinggi ini pun dianggap wajar oleh pelaku industri. Bagi mereka bunga yang tinggi dikarenakan resiko besar yang harus mereka tanggung. Bisnis Fintech lending tak mensyaratkan jaminan dan pemberi dana (lender) mengharapkan bunga yang tinggi.
Namun, tingginya bunga ini harus dikritisi. Operasional Fintech lending lebih efisien dari perbankan. Mereka tidak membangun cabang dalam jumlah banyak. Fintech lending juga tidak merekrut karyawan dalam jumlah besar.
Bahkan mereka tidak bekerja hingga daerah terpencil (remote area). Kebanyakan mereka masih beroperasi di kota-kota besar. Teknologi yang mereka kembangkan membuat mereka bisa menjangkau konsumennya tanpa perlu membangun cabang dalam jumlah banyak dan perlu karyawan banyak pula. Efisiensi ini tak tercermin dari bunga yang mereka bebankan pada peminjam.
Terkait tuntutan imbal hasil tinggi dari para lender, ini sepenuhnya bukan kesalahan para pemberi pinjaman. Para Fintech lending memang menawarkan imbal hasil investasi yang tinggi. Fintech lending mengkampanyekan imbal hasil yang lebih besar dari deposito.
Bahkan Modalku mengkampanyekan return menarik hingga 35% per tahun. KoinWork menawarkan bunga efektif 18% per tahun. Hal inilah yang mendorong para lender meminta imbal hasil yang tinggi.
Dengan bunga tinggi yang diberikan mempercepat inklusi keuangan, yang selama ini dikampanyekan Fintech lending, menjadi hal yang dipertanyakan. Apakah pantas menggantikan kemudahan akses keuangan dengan bunga tinggi?
Menurut pengamat Ekonomi dari Institute Development for Economics and Finance (Indef), Eko Listianto mengatakan bunga atau imbal hasil yang mahal akan membuat penyelenggara Fintech bisa terjebak pada kualitas peminjam yang rendah yang akan membuat mereka mau membayar bunga berapa saja asal mendapat pinjaman. "Akibatnya risiko kredit macet dapat meningkat," ujarnya beberapa waktu lalu.
Bunga tinggi juga tidak mendorong keberlanjutan dari inklusi keuangan. Bunga tinggi akan membuat masyarakat yang unbanked menjadi lebih terbebani dan membuat pinjaman macet. Akibatnya, akses ke layanan keuangan semakin sempit.
Bunga tinggi juga tidak sesuai dengan semangat pemerintah dalam mendorong inklusi keuangan. Pemerintah selalu mendorong bank menurunkan bunga kredit agar semakin banyak masyarakat yang mau meminjam uang pada lembaga keuangan.
(dru/roy)