Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com
Dalam perjalanan menuju Jakarta dari Bandara Beijing, saya beruntung bisa berdiskusi cukup intensif dengan seorang ilmuwan politik tersohor di Asia dan bahkan dunia, Profesor Lam Peng Er dari National University of Singapore (NUS).
Di tengah-tengah diskusi, beliau menyentak saya dengan sebuah sentilan tajam, "Hei bung, ASEAN dan bahkan Asia timur berharap banyak dari Indonesia!".
Sebuah pernyataan singkat namun sarat makna. Awalnya, dahi saya agak berkerut, Indonesia? pikir saya, kami terlalu disibukkan dengan agenda domestik, radikalisme dan juga keterpisahan antar-segmen masyarakat pasca pilpres 2014, dan itu semakin meruncing tajam jelang pilpres 2019. Tetapi kemudian beliau menyadarkan saya bahwa negara-negara lain di ASEAN bahkan Asia timur, jauh lebih terpenjara dengan agenda domestik mereka.
Menurut Professor Lam, setajam-tajamnya konflik di Indonesia, semua diselesaikan di kotak suara. Indonesia bahkan telah membuktikan bisa menjadi penyintas dari balkanisasi pasca krisis ekonomi dan politik di tahun 1998, sebuah hal yang bahkan memutarbalikkan ramalan para ilmuwan politik. Apa jadinya jika Indonesia terpecah-pecah seperti negara Balkan? Membayangkannya saja membuat saya bergidik ngeri. Jika Kroasia punya Luca modric yang menyentak khalayak di piala dunia, Indonesia punya siapa?
Potensi Balkan tentu masih jauh untuk Indonesia, bahkan jika melihat kondisi terkini, sudah selayaknya Indonesia bersyukur karena di tengah tekanan global, perekonomian Indonesia masih terhitung baik. Bahkan Indonesia kini bak gadis menawan yang tinggal menunggu matang untuk dipinang oleh banyak investor kelas kakap. Indonesia diperediksikan akan matang secara ekonomi mulai tahun 2030 nanti seiring dengan semakin ajegnya posisi Indonesia di 7 besar dunia dalam hal pencapaian ekonomi yang di konfirmasi oleh beberapa lembaga terkemuka.
Menengok ASEAN, siapa layak menjadi pemimpin de facto? Coba kita telaah para negeri Jiran, Malaysia mengalami pergantian rezim pertama sejak puluhan tahun UMNO berkuasa, meski Mahatir masih terhitung pemain lama, namun pergantian rezim butuh waktu adaptasi, kelembaman politik mesti menjadi sebuah penghalang tersendiri untuk Malaysia berperan lebih agresif untuk ASEAN. Satu hal yang menjadi poin plus adalah Mahatir memiliki pengalaman dan merupakan pencetus awal adanya Kaukus Asia timur pada awal tahun 90-an. Bagaimana dengan Thailand? Meski secara infrastruktur dan kebijakan industri Thailand lebih unggul dari Indonesia, namun politik dalam negeri mereka tampak jauh dari stabil. Konflik internal di Thailand selatan juga menjadikan mereka disibukkan dengan agenda perpetual terkait etnik minoritas. Hal yang sama terjadi di Myanmar, dan Filipina dimana penanganan konflik etnik minoritas seakan tak berujung dan menciptakan benih-benih separatisme di masa depan.
Lebih lanjut, mengharapkan sesuatu Laos, Kamboja dan bahkan Brunei tampaknya agak kurang rasional mengingat kecilnya pengaruh mereka baik secara politik maupun ekonomi. Bagaimana Vietnam dan Singapura? Well jika dibandingkan dengan Indonesia, pengaruh mereka terhitung tidak terlalu besar.
Indonesia memang telah dilibatkan dalam beberapa forum besar multilateral dan regional semisal G-20 dan APEC, namun peran Indonesia didalam forum-forum tersebut terhitung marginal. ASEAN, adalah intan berkilauan yang selama ini tersimpan dalam di halaman belakang rumah, jika Indonesia membawa ASEAN, tentu posisi tawar Kawasan akan jauh lebih kuat. Terkait proses penguatan Kawasan asia timur, adagium klasik nya adalah mengenai peran sentral ASEAN (ASEAN centrality) yang mana sejauh ini belum mewujud. Meminjam istilah Profesor Lam, ASEAN tampak seperti laut tanpa ikan (ocean without fish).
Lebih lanjut mengenai penguatan Kawasan, hasil penelitian empirik saya (Hastiadi, 2015) dengan metode "game theory" menyiratkan sebuah proses simultan antar waktu dan antar aktor di ASEAN dan juga Cina, Jepang dan Korea (CJK). Proses kerjasama ekonomi antara CJK dan ASEAN dapat menguatkan dampak ekonomi wilayah jika tiga negara ini sama sama menguatkan peran dan jaringan produksi mereka di ASEAN. Menariknya, dampak ekonomi dari Cina untuk Kawasan asia timur akan cenderung negatif jika Jepang dan Korea absen dari ASEAN. Dengan demikian, meskipun Cina terhitung agresif dan bahkan ingin terus mendominasi Kawasan ini, tanpa peran Jepang dan Korea, dominasi Cina terhitung tidak menjanjikan keuntungan, sehingga adalah wajar jika Cina dalam forum pembentukan road map East Asian Economic Community (EAEC) 2030 juga memerlukan peran Jepang dan Korea.
Tetapi sekali lagi, EAEC akan menjadi minim makna tanpa adanya peran agresif dari ASEAN. Meski Cina, Jepang dan Korea merupakan aktor ekonomi paling penting di wilayah ini, namun ikatan institusi antara ketiga negara ini terhitung terbelakang jika dibandingkan dengan ASEAN. Bisa kita lihat forum-forum trilateral antara negara-negara ini yang lebih sering mandeg. Dengan fakta ini, maka sudah selayaknya ASEAN berlaku lebih agresif dengan Indonesia yang secara defacto menjadi pemimpin ASEAN menjadi focal point.
Melihat tantangan kedepan, strategi memperkuat kawasan tampak menjadi solusi yang menjanjikan. Oleh karenanya, Indonesia kemudian bisa berperan lebih dalam membentuk kawasan di timur dunia yang lebih terintegrasi. Kerja sama kawasan ASEAN + 3 akan menjadi salah satu instrumen batu loncatan untuk mencapai integrasi ekonomi yang tingkatnya lebih luas. Dengan kerja sama kawasan, negara-negara yang tergabung dalam anggotanya tersebut terdorong untuk meminimalisasi restriksi ekonomi diantara anggota di kawasan tersebut.
Dengan demikian, adanya kerja sama kawasan yang pada awal implikasinya bersifat hanya dalam kawasan tersebut, dikemudian hari juga dapat dirasakan secara global. Semakin jelasnya posisi Indonesia dalam kerangka hubungan Internasional ditenggarai akan berdampak sistemik ke stabilitas pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, dan lebih lanjut memberikan kontribusi stabilitas perekonomian di Asia dan dunia.
(dru)