Luka Ekonomi Menjelang Hari yang Fitri

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi telah menutup Pos Komando Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2022, Selasa (10/5/2022) lalu. Namun, penutupan itu bukan penanda telah berakhirnya musim mudik tahun ini. Masih ada puluhan ribu pemudik yang belum kembali dari kampung halamannya. Karenanya mereka akan tetap akan dipantau kelancaran kedatangannya di berbagai simpul transportasi di Jakarta seperti terminal bus, stasiun, pelabuhan penyeberangan, bandar udara dan sebagainya. Demikian kata BKS, sapaan akrab sang menteri, dalam sambutan penutupan posko.
Setelah penutupan posko, lanjut BKS, instansinya juga nanti akan melakukan evaluasi atas penyelenggaraan mudik 2022. Saya dan pembaca, kita sekalian sudah dapat menduga apa hasil evaluasi itu. Seperti disampaikan sendiri oleh BKS, dia puas mudik tahun ini berjalan dengan baik. Apanya yang baik? Baik dari sudut apa? Ada banyak pertanyaan yang muncul di benak penulis. Tentu pemerintah punya jawabannya. Bisa jadi klaim BKS benar. Tetapi, kemacetan arus mudik dan arus balik juga benar adanya. Dan, kemacetan itu sudah menjadi soul mate-nya mudik kapan pun. Kalau mudik tidak ada kemacetan itu baru baik. Mudik tahun ini juga ditandai dengan prank tol gratis jika terjadi kemacetan. Faktanya: zonk.
Kita cukupkan sekelumit catatan seputar mudik melalui jalan. Selanjutnya mari melihat mudik menggunakan moda kapal laut. Menurut PT Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI), operator utama kapal penumpang dalam negeri, selama mudik 2022 armada perusahaan sudah mengangkut 325.713 penumpang. Sebelumnya perusahaan pelat merah itu memprediksi penumpang kapal pada musim mudik Lebaran tahun ini bisa menembus 417.676 orang selama periode H-15 hingga H+15 Lebaran. Angka prediksi itu melonjak 133% dibandingkan jumlah realisasi penumpang pada periode yang sama tahun 2021.
Meski demikian, prediksi jumlah penumpang kapal pada musim lebaran tahun ini belum mencapai level seperti sebelum masa pandemi Covid-19, di mana pada periode sama tahun 2019 jumlah penumpang mencapai 762.760 orang. Dari data yang ada dapat disimpulkan perjalanan mudik menggunakan moda kapal laut sudah meredup sinarnya. Saya sendiri sempat menjadi pelakunya pada era 90-an dengan rute Tanjung Priok-Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Hanya saja, seiring dengan tumbuhnya penerbangan murah (low cost carrier/LCC) di Tanah Air, pelaku mudik laut mengalami penurunan yang drastis.
Memutar balik kenangan, pada saat mudik menggunakan kapal laut merupakan salah satu gaya pada masanya, untuk mendapatkan tiket kapal PELNI, boleh dibilang relatif sulit karena animo masyarakat begitu tingginya. Bagi pelajar atau mahasiswa asal kepulauan yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang hingga Surabaya yang hendak mudik harus hadir pagi sekali di pusat penjualan tiket pelayaran pelat merah itu yang terletak di Jalan Angkasa, Kemayoran, Jakarta Pusat. Sebelum di sini, penjualan tiket dilakukan di Pintu Air. Mereka berebut mendapatkan tiket, sepanjang ingatan saya, KM Lawit dan KM Kambuna, dua kapal PELNI yang melayari rute Tanjung Priok-Kijang.
Pas hari keberangkatan, terminal penumpang Nusantara di pelabuhan Tanjung Priok disesaki oleh ribuan pemudik yang akan berlayar ke kampung halamannya menggunakan salah satu dari kedua kapal itu. Begitu sampai di atas kapal, suasananya terasa ramai karena penumpang, khususnya kelas ekonomi yang tidak kebagian tempat tidur (non-seat passenger), menempati setiap jengkal ruang kosong yang ada di bawah tangga, koridor kelas 1 dan kelas 2, bahkan mereka juga menggelar alas duduk/tidur di dek luar. Diperlukan kelincahan tersendiri agar mereka tidak terinjak.
Tahun ini, terminal pelabuhan Tanjung Priok "hanya" dipadati oleh pemudik motor yang berhasil dirayu oleh Kementerian Perhubungan agar beralih ke moda kapal sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ke kampung dengan motor yang diangkut kapal yang mereka tumpangi. Media melaporkan jumlahnya sekitar 1.400-1.500 orang. Mereka diangkut menuju Semarang dan Surabaya. Kapal yang mereka tumpangi itu sejatinya berkapasitas 2.000 penumpang. Ketika mudik laut masih menjadi tren hingga tahun 2000, kapal-kapal ini pernah mengangkut ratusan ribu hingga jutaan pemudik di seluruh Indonesia.
Jujur saja, saya tidak mampu menyajikan data seberapa besar pemudik yang menggunakan kapal laut sebelum era 2000-an. Ketika itu, pencatatan penjualan tiket tidak semaju sekarang. Praktik calo tiket juga marak. Proses naik-turun (boarding/check-in) penumpang masih tradisional sehingga penumpang yang berada di atas kapal tidak terdata dengan saksama. Yang jelas penumpang mudik kapal PELNI membludak di atas semua kapal yang dioperasikan.
Jika penumpang kapal penyeberangan atau feri dapat dikategorikan sebagai pemudik dengan kapal dalam mudik 2022, potret moda kapal laut sebagai pilihan mereka yang akan berlebaran di kampung halamannya masing-masing sedikit agak terangkat. Sebab, feri mengalami kenaikan pengguna yang fantastis. Saking ramainya, sempat terjadi antrean panjang kendaraan hingga belasan kilometer di jalan tol menuju pelabuhan Merak. Untuk mengantisipasi arus deras pemudik ini saat arus balik, pemerintah menyiapkan pelabuhan Panjang di Lampung untuk menampung sebagian penumpang yang akan menyeberang melalui pelabuhan Bakauheni.
Langkah itu sebuah terobosan karena selama ini manakala kemacetan mengharu-biru, khususnya saat arus mudik dan arus balik lebaran, pemerintah tidak pernah memanfaatkan pelabuhan Panjang. Sampai tulisan ini diselesaikan, tidak diketahui apakah pelabuhan Panjang jadi digunakan sebagai alternatif pelabuhan Bakauheni jika terjadi penumpukan. Pelabuhan Panjang merupakan fasilitas yang diperuntukkan untuk bongkar-muat berbagai komoditas, dari general cargo hingga peti kemas. Tidak ada supporting system untuk kendaraan pemudik (mobil, motor dan truk) seperti ramp yang dengannya naik-turun kendaraan dapat lebih cepat dan aman. Fasilitas embarkasi bagi penumpang juga tidak tersedia sehingga bila hujan turun misalnya, mereka jelas akan basah kehujanan.
Pelayaran penyeberangan berada dalam Direktorat Jenderal Perhubungan Darat sebagai regulatornya. Sementara dari sisi bisnis, armada feri dan terminalnya dikelola oleh PT ASDP Indonesia Ferry. Akar masalah kemacetan di pelabuhan penyeberangan setiap arus mudik muncul dari praktik monopoli yang dilakukan oleh operator penyeberangan pelat merah tersebut. Mereka menguasai armada penyeberangan dan terminal sekaligus. Di sisi lain, ada berbagai operator feri swasta yang sayangnya tidak dapat prioritas dalam penggunaan dermaga. Entahlah.