²©²ÊÍøÕ¾

Awan Kelabu di Eropa: Ancaman Krisis yang tidak Berkesudahan

Farhan Abdul Majiid, ²©²ÊÍøÕ¾
24 October 2022 16:55
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid merupakan mahasiswa pascasarjana di School of Transnational Governance, European University Institute, Italia. Ia menekuni berbagai isu nasional dan global dari perspektif ekonomi politik. Sebelumnya pada tahun 2019, Farhan mendapat gel.. Selengkapnya
CARDIFF, WALES - OCTOBER 19: A woman shops in a greengrocers in Cardiff Market on October 19, 2022 in Cardiff, United Kingdom. The Office for National Statistics (ONS) said the consumer prices index (CPI) measure rose from an annual rate of 9.9% in August to match the recent 40-year high of 10.1% seen in July. The largest contributing factor being the rise in food costs. (Photo by Matthew Horwood/Getty Images)
Foto: Getty Images/Matthew Horwood

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com

Sudah beberapa hari terakhir, Kota Florence, Italia, diselimuti awan kelabu. Memang, curah hujan biasanya meninggi di akhir Oktober hingga awal Desember. Akan tetapi, pada saat yang sama, masih lekat dalam memori penduduk Kota Florence, bagaimana musim panas kemarin begitu menyengat. Hari-hari dilalui dengan suhu udara di atas 40°C dan udara kering dengan kelembapan di bawah 40%. Hujan rintik-rintik yang turun belum mampu menghilangkan memori atas musim panas terkering sepanjang sejarah Eropa.

Kondisi cuaca ini kurang lebih dapat menggambarkan kondisi geopolitik dan geoekonomi Eropa hari ini. Paceklik ekonomi akibat pandemi Covid-19 belum sepenuhnya berakhir. Peningkatan arus barang, jasa, dan manusia pun belum kembali layaknya pertumbuhan semula. Di tengah kondisi seperti ini, serangan Rusia terhadap Ukraina memperparah keadaan dengan ancaman krisis energi di depan mata.

Sementara itu, pemerintahan Liz Truss di Inggris yang harus jatuh walau baru seumur jagung juga menunjukkan ada masalah mendasar dalam perekonomiannya. Berbagai pakar sudah mengingatkan tahun depan ekonomi Eropa berpotensi krisis, atau setidaknya, diam di tempat.

Melihat adanya rentetan peristiwa yang mengindikasikan adanya krisis di Eropa ini, ada beberapa pertanyaan yang menarik untuk ditinjau lebih jauh. Bagaimana Eropa bisa terjebak dalam situasi krisis seperti ini? Sejauh mana dampaknya akan mencapai Indonesia?



Kerapuhan Internal, Guncangan Eksternal
Jika dideskripsikan dengan singkat, kondisi ekonomi Eropa hari ini adalah akibat dari dua hal: kerapuhan secara internal dan guncangan dari eksternal. Secara internal, rapuhnya ekonomi Eropa merupakan konsekuensi dari belum tuntasnya pemulihan pasca krisis ekonomi 2008. Secara eksternal, guncangan terjadi dari dua arah: serangan Rusia atas Ukraina di timur dan perubahan kebijakan moneter Amerika Serikat dari barat.

Pascakrisis 2008, terdapat disparitas dalam pemulihan ekonomi di negara-negara Eropa, khususnya yang berada di dalam Zona Euro. Jika kita gunakan indikator pertumbuhan PDB per kapita riil misalnya, sebagian besar negara sudah menunjukkan adanya pemulihan, dengan Irlandia memiliki akselerasi tertinggi meninggalkan negara-negara Eropa lainnya. Sementara itu, beberapa negara seperti Italia dan Yunani berada dalam kondisi sebaliknya. Mereka memiliki pendapatan per kapita riil yang lebih rendah di tahun 2019 jika dibandingkan dengan tahun 2000.

Dari segi industri, terlebih industri digital, Eropa masih cukup tertinggal jika dibandingkan dengan negara maju lainnya, khususnya AS. Dalam laporan Bank Investasi Eropa tahun 2022, disebutkan negara-negara Eropa, termasuk yang berada dalam Uni Eropa, mengalami ketertinggalan dalam adopsi teknologi digital dalam industrinya. Pandemi Covid-19 juga tidak mengakselerasi adopsi tersebut selayaknya di negara maju yang lain. Ketertinggalan Eropa dalam mengadopsi teknologi digital dapat membuat industri relatif kurang kompetitif dan adaptif. Ini menjadi salah satu pekerjaan besar bagi industri di Eropa untuk dapat memanfaatkan peluang untuk mengatasi krisis melalui dunia digital.

Bagi Inggris, keputusannya untuk berpisah dari Uni Eropa melalui referendum 2016 silam berdampak nyata bagi perlambatan ekonominya. Sebenarnya, Inggris memiliki performa yang cukup baik dalam pemulihan pascaskrisis 2008 dibandingkan negara-negara Eropa lainnya. Akan tetapi, mereka cukup kesulitan untuk mempertahankannya setelah finalisasi proses keluarnya dari Uni Eropa di tahun 2020. Memang, dalam janjinya, para penyokong pilihan meninggalkan Uni Eropa mengklaim bahwa keikutsertaan Inggris dalam Pasar Bersama Eropa dan berbagai perjanjian internasional di bawah Uni Eropa lainnya menghambat potensi Inggris untuk dapat tumbuh.

Akan tetapi, kenyataan yang terlihat justru menunjukkan hal sebaliknya. Sebagai konsekuensi dari keluarnya Inggris dari Uni Eropa, Inggris mengalami hambatan dalam perdagangan internasionalnya. Ia harus mengurus kembali dari awal berbagai perjanjian dagang dengan berbagai negara yang sebelumnya dapat dikerjakan di bawah skema bersama Uni Eropa.

Konsekuensinya dapat terlihat, neraca perdagangan Inggris selepas perpisahan resmi dengan Uni Eropa di tahun 2020, mengalami peningkatan defisit yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan data 10 tahun terakhir. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Liz Truss dalam enam pekan pemerintahannya malah memperparah keadaan. Beberapa hari lalu, nilai poundsterling juga jatuh hingga mencapai titik terendah sejak Krisis Minyak periode 1970-an. Akhirnya, politik dalam negeri Inggris pun ikut tidak stabil dan dilaporkan banyak warga yang jatuh miskin.

Kondisi itu diperparah dengan serangan Rusia atas Ukraina sejak Februari 2022 lalu. Selain memberi dampak keamanan, invasi tersebut juga memberi konsekuensi ekonomi, wabilkhusus pada naiknya harga energi. Negara-negara Eropa bersepakat untuk menghukum Rusia melalui blokade ekonomi, termasuk penjualan minyak dan gas.

Ketika kini pandemi sudah mereda dan industri diharapkan untuk kembali bergeliat, kenaikan harga energi kembali memukul mundur. Keterbatasan pasokan energi tidak terbatas pada naiknya ongkos produksi, tetapi pemerintah juga melakukan rasionalisasi ulang suplai energi bagi industri yang menggunakan energi berskala besar. Di Belanda misalnya, pemerintahnya telah mengurangi pasokan energi untuk pabrik-pabrik sebagai antisipasi memasuki musim dingin. Akibatnya, produksi menurun dan keluaran dalam perekonomian ikut turun.

Selain harga energi, harga pangan juga terdampak cukup parah akibat invasi ini. Selama ini, Ukraina merupakan salah satu pemasok pangan utama bagi Eropa, seperti gandum dan minyak nabati. Akibat perang, produksi menjadi terganggu dan akibatnya harga pangan pun naik. Minyak nabati di Florence, misalnya, di masa sebelum perang harganya berkisar 1 euro hingga 1,5 euro untuk 1 liter, kini sudah menyentuh 3,5 euro hingga 4 euro per Liter. Kenaikan harga pangan bersamaan dengan energi, yang mana keduanya merupakan kebutuhan pokok, sangat menekan masyarakat.

Sementara itu, dari seberang Atlantik, kebijakan Bank Sentral AS (The Federal Reserve Bank/The Fed) yang meningkatkan suku bunga sebagai bentuk antisipasi terhadap inflasi yang tinggi di dalam negerinya juga berkontribusi terhadap melemahnya nilai euro dan poundsterling.

Relasi ekonomi AS dengan Inggris dan negara-negara di dalam zona Euro memang sangat intensif, khususnya di sektor keuangan. Peningkatan suku bunga bank sentral secara signifikan dalam waktu singkat di AS berakibat pada keluarnya dana dalam jumlah besar dari Inggris dan Zona Euro. Hasilnya, permintaan terhadap euro dan poundsterling menurun sehingga nilainya ikut menurun. Memang, Bank Sentral Eropa dan juga Inggris sudah ikut meningkatkan suku bunganya, tetapi hal itu masih belum cukup atraktif.

Kombinasi dari berbagai faktor ini telah memberi tekanan pada masyarakat di Eropa, khususnya mereka yang penghasilannya terbatas. Masyarakat di Eropa pun sudah mulai bergejolak menghadapi tekanan inflasi. Demonstrasi terjadi di berbagai tempat, mulai dari Belanda hingga Prancis dan Italia. Memang, sebagian besar dari negara-negara di Eropa memiliki jaring pengaman sosial yang cukup kuat.

Di masa pandemi Covid-19 kemarin, misalnya, tingkat pengangguran tidak melonjak drastis karena pemerintah memberikan kelonggaran bagi para industri untuk tetap mempertahankan para pekerjanya. Ketika krisis energi saat ini mulai menerpa pun, beberapa negara di Eropa memperbesar subsidi energi kepada warganya.

Meski demikian, kebijakan seperti ini tidak bisa dikatakan berkelanjutan. Dalam jangka waktu lama, jika tidak ada perubahan, kebijakan itu akan memberi tekanan yang lebih dalam bagi ruang fiskal pemerintah. Dan, sebagaimana sejarah sudah memberi pelajaran, ketika gejolak harga tidak dapat dikendalikan, ketidakstabilan politik dan sosial akan menyusul kemudian. Kondisi ini sudah terjadi di Inggris hari ini. Pemerintahan Liz Truss yang masih seumur jagung harus undur diri setelah sebelumnya satu per satu menteri juga dipecat dari kabinet.



Dampak Bagi Indonesia
Melihat badai ekonomi di Eropa yang ada di depan mata, banyak pihak mengkhawatirkan akan dampak negatif bagi Indonesia. Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah memberikan peringatan akan potensi sulitnya kondisi ekonomi di tahun mendatang. Masyarakat diminta untuk bersiap-siap akan adanya badai yang menerpa perekonomian tahun depan.

Kesadaran pemerintah akan potensi bahaya ini patut diapresiasi. Akan tetapi, kita tidak boleh berhenti pada apresiasi tanpa pengawasan lebih lanjut atas kebijakan untuk menghadapinya. Kita harus lebih keras mengkritik pemborosan keuangan negara untuk proyek-proyek yang dibangun dengan alasan politik ketimbang ekonomi. Di saat yang sama, pemerintah juga harus menjaga momentum pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 dengan memastikan program-program yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar tidak dikorupsi.

Setidaknya ada tiga hal yang membuat kita dapat lebih optimis menatap tahun depan sembari tetap menjaga kewaspadaan. Pertama, kondisi ekonomi Indonesia berbeda dengan Eropa. Inflasi di negara berkembang seperti Indonesia, meski persentasenya juga cukup tinggi, tidak dapat disamakan dengan inflasi di Eropa dan AS. Sebab, pertumbuhan ekonomi di Indonesia juga masih berjalan cukup tinggi.

IMF misalnya, dalam laporan terbarunya yang terbit awal Oktober ini, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun depan akan tumbuh sekira 5%. Sementara, proyeksi mereka untuk negara maju hanya 1,1% dan negara di dalam Zona Euro sebesar 0,5%.

Untuk memaksimalkan potensi ini, pemerintah perlu menjamin agar industri tetap berjalan, atau bahkan, mengalami ekspansi. Berkaca pada komposisi ekspor dalam perekonomian dan kontribusi industri manufaktur dalam pendapatan per kapita, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk mengakselerasi industrinya.

Kedua, industri digital di Indonesia masih tumbuh menggeliat. Memang, dalam beberapa waktu terakhir, terjadi perlambatan dalam pertumbuhan industri digital di tanah air. Akan tetapi, jika dilihat pola yang ada, perlambatan ini merupakan konsekuensi dari pergeseran fokus dari industri digital dari ekspansi pasar menjadi keuntungan.

Keluarnya dana investor dari luar negeri juga diantisipasi dengan penyerapan dana dari publik melalui IPO beberapa perusahaan start-up. Pemerintah juga berulang kali menyatakan komitmennya untuk mendukung industri digital maupun mempercepat digitalisasi di berbagai sektor ekonomi. Kita perlu mengawal agar komitmen ini benar-benar diturunkan menjadi kebijakan yang berdampak positif.

Ketiga, tahun depan Indonesia akan memasuki tahun politik menuju pemilu akbar 2024. Berbagai studi terhadap pemilu-pemilu sebelumnya menyebut, bahwa hajatan pemilu berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ragam kegiatan kampanye, khususnya yang melibatkan banyak orang, dapat menggerakkan perekonomian masyarakat.

Meski memang dalam dua pemilu terakhir kontribusi pemilu terhadap pertumbuhan ekonomi ini cukup menurun, penyelenggaraan pemilu 2024 yang akan serentak untuk pemilihan eksekutif maupun legislatif, sekaligus nasional maupun daerah, bisa memberi harapan baru.

Berkaca dari tiga hal di atas, masyarakat juga tidak perlu menghadapinya dengan kepanikan berlebihan. Panik berlebih hanya akan menghilangkan rasionalitas dan kejernihan berpikir. Dan dalam kondisi seperti ini, kejernihan berpikir amat diperlukan agar tidak mudah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation