²©²ÊÍøÕ¾

'Angin Segar' Inpres Jokowi Soal Keanekaragaman Hayati

Fathi Royyani, ²©²ÊÍøÕ¾
23 March 2023 12:05
Fathi Royyani
Fathi Royyani
Mohammad Fathi Royyani merupakan lulusan dari Fakultas Adab jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2000. Tahun 2002-2004, Fathi menempuh kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indone.. Selengkapnya
Taman Nasional Lorentz, Papua (Ist/tamannasionallorentz.menlhk.go.id)
Foto: Taman Nasional Lorentz, Papua (Ist/tamannasionallorentz.menlhk.go.id)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com

Pada tanggal 16 Januari 2023, Presiden Joko Widodo menandatangani Inpres Nomor 1 tahun 2023 mengenai pengarusutamaan keanekaragaman hayati dalam pembangunan berkelanjutan. Hal ini menarik untuk dibahas lebih lanjut, karena tidak saja terkait dengan perubahan iklim dan Indonesia adalah paru-paru dunia, melainkan juga isu kerusakan hutan Indonesia yang terus menyusut dan dikonversi menjadi tanaman monukultur.

Inpres memang tidak masuk dalam hierarki perundangan, tetapi sebagaimana sifat inpres yang dapat diartikan sebagai perintah dari kepala negara atau presiden terhadap para pembantunya atau para menteri untuk membuat peraturan. Sehingga ada produk hukum yang menjadi pijakan/dasar hukum para menteri atau pemerintah melakukan kegiatan.

Selain itu, Jokowi tampaknya mengerti bahwa keanekaragaman hayati memiliki potensi yang tinggi untuk meningkatkan pendapatan negara, melalui perdagangan, pengembangan dan peningkatan produk dan lain sebagainya. Penjualan rempah-rempah Nusantara menyumbang devisa yang tidak sedikit. Bahkan pada masa pandemi, rempah-rempah justru meningkat penjualannya.

Londa Schiebinger dalam "Plants Empire: Colonial Bioprospecting in the Atlantic World" yang diterbitkan Harvard University tahun 2004 menunjukkan bahwa tumbuhan sangat berperan dalam praktek kolonial dan menghasilkan devisa yang banyak. Praktik kolonialisme dengan tumbuhan sebagai penggerak ekonomi juga dipraktekkan di Indonesia. Ada kina, tebu, kopi, teh rempah-rempah dan lain sebagainya. Pada masa lalu, semua kekayaan keanekaragaman hayati dinikmati oleh kolonial.

Dalam kaitan pengembangan keanekaragaman hayati sebagai sumberdaya pengembangan obat-obatan dan potensi ekonomi yang dapat diraih, Cheryl D Hardy memberikan catatan menarik terkait dengan usaha Amerika Serikat dalam meningkatkan penggunaan bioteknologi bagi kemajuan bangsanya.

Dalam komentar sebagai usulan kebijakan, yang diberi judul "Patent Protection and Raw Materials: The Convention on Biological Diversity and Its Implications for US Policy on the Development and Commercialization of Biotechnology", Cheryl D Hardy menunjukkan data menarik terkait dengan meningkatnya paten dari penggunaan teknologi untuk rekayasa genetika di AS pada tahun 1985 dan 1990 yang meningkat 15% tiap tahunnya dan pada tahun 2000 yang lalu, industri obat-obatan AS telah menjual US$ 100 miliar.

Data terkait sensus atau jumlah pasti dari keanekaragaman hayati kita masih belum solid. Tiap lembaga memiliki perhitungannya sendiri. Umum diketahui dan biasanya kita bangga dengan jumlah keanekaragaman hayati tinggi yang dimiliki bangsa ini, walaupun belum optimal sebagai jalan peningkatan ekonomi bangsa.

Sebagai gambaran bahwa untuk obat-obatan saja, di Indonesia terdapat 7.500 jenis atau 10% tumbuhan obat yang ada di dunia, belum untuk keperluan kosmetik, pangan, dan lain sebagainya.

Data tahun 2017, Indonesia memiliki 31.750 jenis tumbuhan. Jumlah tersebut 1,75% tumbuhan yang telah dipertelakan di dunia 25.000 fauna Asia. Sebanyak 12% mamalia yang ada di dunia atau sekitar 515 spesies, 16 % reptil dunia atau 781 spesies, 17% burung dunia atau 1.592 spesies, terdapat 270 spesies ampibi. Tahun 2019, mamalia yang tercatat kurang lebih 776 jenis.

Dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia juga memiliki tingkat endemisitas (hanya terdapat di satu lokasi/wilayah) yang tinggi. Data dari IUCN (International Union for Conservation of Nature) menunjukkan terdapat 259 mamalia endemik, ada 382 burung endemik, 172 ampibi endemik.

Data yang berbeda diberikan oleh KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang mencatat terdapat 270 mamalia endemik, ada 386 spesies burung endemik, 326 reptil endemik, 204 ampibi, dan 280 spesies ikan.

Perlu upaya yang lebih serius untuk membuat sensus jumlah jenis yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Jumlah tersebut penting untuk melangkah pada proses selanjutnya, yakni menggali potensi ekonomi dari jenis-jenis yang ada. Kepentingan ekonomi bisa berjalan dengan kepentingan konservasi, misalnya dengan menjadikan wisata, perbanyakan jenis dan upaya-upaya lainnya.

Keanekaragaman Hayati dan Tantangan Ke Depan
Jumlah populasi penduduk dunia yang terus meningkat, lahan yang kian sempit dan kebutuhan terus meningkat tentu adalah ancaman nyata yang perlu dicarikan solusi. Sumber pangan yang ada, seperti pertanian dan juga peternakan ke depan sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan manusia.

Seperti dalam gerak sejarah, domestikasi adalah upaya manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, dengan menjinakkan yang liar. Namun masalahnya sekarang bukan lagi dengan menjinakkan yang liar, tetapi mengembangkan produk pertanian dan peternakan baru yang lebih sehat dan tahan lama.

Peternakan merupakan penyumbang tersebar dari pemanasan global, selain tentu karena hasil rekayasa genetik bermasalah bagi kesehatan manusia. Perlu ada sumber genetik baru untuk meningkatkan kualitas ternak.

Dengan ancaman populasi tentu lahan yang selama ini tersedia tidak akan cukup lagi, menambahkan lahan baru berbenturan dengan kebutuhan yang lain manusia. Alternatifnya adalah mencari sumber-sumber baru untuk protein yang dibutuhkan manusia.

Salah satu yang ditawarkan oleh beberapa ilmuwan adalah serangga. Secara tradisi banyak masyarakat dunia yang memanfaatkan serangga, artinya sehat. Nilai protein tinggi, dan tidak membutuhkan lahan yang banyak seperti ternak lain.

Demikian juga dengan kesehatan. Eropa sedang krisis antibiotik karena produk antibiotik yang ada merupakan temuan tahun 1970an. Sekian lama digunakan tentu membuat penyakit sudah resisten sehingga antibiotik tidak lagi mujarab.

Jika persoalan tersebut tidak segera diatasi, maka Eropa akan mengalami krisis kesehatan yang parah. Untuk mengantisipasi hal tersebut, ilmuwan dipacu untuk terus mencari keanekaragaman hayati yang potensial untuk dijadikan produk antibiotik baru yang mampu mengatasi problem kesehatan.

Nilai Ekonomi dari Keanakeragaman Hayati
Pada tahun lalu, saat Pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia, bangsa ini masih bertahan. Salah satu pertahanan yang digunakan adalah dengan memanfaatkan pengetahuan tradisional terkait pengobatan.

Banyak kajian yang menunjukkan pengetahuan tradisional selaras dengan ilmu pengetahuan. Bahkan, sejak tahun 1895, Harsberger menulis Ethnobotany yang kemudian berkembang menjadi disiplin ilmu sendiri.

Ilmu ini mengkaji pengetahuan tradisional yang ada di masyarakat terkait pemanfaatan tumbuhan. Data etnobotani menjadi pijakan awal dari industri untuk mengembangkannya menjadi produk-produk yang bernilai ekonomi tinggi. Sampai dengan sekarang, orang-orang masih mencari berbagai jenis-jenis yang layak untuk dikembangkan menjadi produk komersial.

Karya Georg Eberhard Rumpf atau biasanya dikenal dengan Rumphius mengenai flora yang ada di Ambon, termasuk kegunaannya berdasarkan pengetahuan masyarakat masih terus dipelajari dan dikembangkan di beberapa negara. Tujuannya tentu saja untuk menemukan obat baru, sumber pangan baru dan energi baru.

Selain tersimpan dalam praktek-praktek masyarakat, pengetahuan tradisional pemanfaatan keanekaragaman hayati juga tersimpan pada naskah-naskah klasik nusantara. Saya pernah mencoba menghitung jumlah jenis yang dimanfaatkan dari tiga naskah yang ada di Cirebon, Riau, Kalimantan.

Jumlahnya cukup fantastis, terdapat 200an jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat di tiga naskah tersebut. Belum pada naskah-naskah lain, baik yang ada di daerah tersebut maupun daerah lainnya.

Dengan semua potensi tersebut, pengarusutamaan keanekaragaman hayati seperti yang tertuang dalam inpres tersebut penting. Setiap organ pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menindaklanjuti menjadi program atau peraturan, tentu berdasarkan kapasitas masing-masing.

Namun tampaknya, masing banyak yang gagap terkait dengan arus baru keanekaragaman hayati. Hal ini bisa karena data yang solid mengenai keanekaragaman hayati dan potensi yang ada di masing-masing daerah.

Dalam arus utama keanekaragaman hayati, seperti juga nikel, batu bara dan mineral, tentu yang menjadi semangat bukanlah nilai ekonomi dari menjual raw material semata, melainkan juga ekstraksi dari jenis-jenis yang diperdagangkan.

Tentu perlu kolaborasi dan kerja sama dari antar kementerian atau juga pemerintah daerah, seperti yang menjadi tugas yang tertuang dalam inpres.

Kira-kira, semangat yang ada dalam inpres tersebut adalah, kita punya keanekaragaman hayati, kalian sudah punya masalah dan membutuhkan keanekaragaman hayati, maka perlu menjadi tidak saja pola pikir melainkan juga arus utama pembangunan berkelanjutan, karena di sana ada uang yang bisa digunakan untuk membangun infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat.

Kekayaan keanekararagaman hayati tidak hanya dijaga tetapi juga harus bisa mendatangkan keuntungan ekonomi. Langkah sama yang digunakan oleh kepala negara dalam mengamankan aset bangsa seperti batu bara, nikel, mineral, hanya beda skala saja.


(miq/miq)