- Indonesia merupakan negara agraris, dengan jumlah pekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan lebih dari 40 juta orang.
- Namun pertumbuhan sektor tersebut sangat rendah, dan sumbangsih ke perekonomian Indonesia hanya 12%.Â
- Sebagai negara agraris Indonesia justru tetap rajin impor, mulai dari beras, gula hingga daging sapi
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾Â Indonesia - Ketahanan pangan di Indonesia mengalami peningkatan pada 2022 lalu, tetapi jika dilihat lebih ke belakang levelnya masih lebih rendah ketimbang 2018 - 2020.
Hal ini terlihat dari data Global Food Security Index (GFSI) pada 2022 tercatat sebesar 60,2 lebih tinggi dari tahun sebelumnya 59,2. Dalam 10 tahun terakhir GFSI terbaik Indonesia tercatat pada 2018.
GFSI mengukur ketahanan pangan negara-negara dari empat indikator besar, yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi dan keamanan makanan (quality and safety), serta ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience).
Namun, meski mengalami kenaikan, ketahanan pangan Indonesia pada 2022 berada di urutan ke 69 dari 113 negara, dan di bawah rata-rata global sebesar 62,2. Rata-rata Asia Pasifik pun lebih tinggi sebesar 63,4.
Negara Agraris Tapi PDB Pertanian Rendah
Indonesia terkenal sebagai negara agraris, artinya mayoritas tenaga kerja merupakan bekerja di sektor pertanian.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah masyarakat Indonesia yang bekerja di bidang pertanian, kehutanan dan perikanan pada Februari 2023 sebanyak 40,69 juta orang atau 29,36% dari total pekerja.
Dibandingkan Februari 2022 sebanyak 40,64 juta orang, kenaikannya juga tidak besar. Tetapi dibandingkan Februari 2021 penambahannya nyaris mencapai dua juta orang.
Meski memiliki tenaga kerja terbanyak dibandingkan sektor lainnya, sumbangan sektor "wong cilik" terhadap produk domestik bruto (PDB) sangat rendah, pertumbuhannya pun menjadi salah satu yang terendah.
Data dari BPS menunjukkan sumbangan sektor pertanian kehutanan dan perikanan terhadap pertumbuhan ekonomi pada 2022 sebesar 12,4%, di bawah industri pengolahan sebesar 18,34 persen, serta perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 12,85 persen.
Pertumbuhannya pada 2022 hanya sebesar 2,25%, mengalami kenaikan dari dua tahun sebelumnya masing-masing 1,87% dan 1,77%.
Rata-rata pertumbuhan PDB pertanian, kehutanan dan perikanan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya 3,04%, turun dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebesar 3,6%.
Dengan mayoritas pekerja berada di sektor pertanian, pertumbuhan yang rendah tentunya berdampak pada kesejahteraan yang rendah. Hal ini tentunya berdampak pada belanja rumah tangga petani, yang juga rendah. Alhasil, pertumbuhan ekonomi pun sulit tinggi.
Ironi negara lainnya yakni Indonesia lagi-lagi harus mengimpor beras. Bahkan, menjelang bulan Ramadhan lalu, isu beras kembali panas.
Warga Indonesia "belum makan kalau belum kena nasi", tentunya membuat konsumsi beras di dalam negeri tinggi. Menurut laporan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) konsumsi beras per kapita pada 2021 mencapai 114,6 kilogram. Dengan jumlah penduduk sekitar 273 juta jiwa, maka kebutuhan beras pada 2021 sekitar 31,3 juta ton.
Sementara berdasarkan data dari BPS, produksi beras pada 2021 sekitar 31,36 juta ton. Terlihat sesuai dengan kebutuhan, tetapi kondisi tersebut berisiko membuat harga beras menjadi mahal. Guna menjamin harga besar tetap stabil, pemerintah harus bisa menjaga tidak terjadi kekurangan supply beras, maka impor menjadi pilihannya.
Menjadi ironi, sebagai negara agraris, pertumbuhan sektor pertanian rendah, dan harus mengimpor beras setiap tahunnya. Pada 2022 lalu, BPS melaporkan Indonesia mengimpor beras sebanyak 429.207 ton.
Sementara pada tahun ini Perum Bulog mendapatkan penugasan untuk mengimpor beras sebanyak 2 juta ton pada tahun ini. Penugasan diberikan Badan Pangan Nasional (Bapanas).
Merujuk salinan surat yang ditandatangani Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi, dari jumlah tersebut sebanyak 500 ribu ton harus didatangkan secepatnya.
"Menindaklanjuti hasil rapat internal bersama Bapak Presiden tanggal 24 Maret 2023 dengan topik Ketersediaan Bahan Pokok dan Persiapan Arus Mudik Idul Fitri 1444 H, kami menugaskan Perum Bulog untuk melaksanakan pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) dari luar negeri sebesar 2 juta ton sampai dengan akhir Desember 2023. Pengadaan 500 ribu ton pertama agar dilaksanakan secepatnya," tulis salinan surat tersebut seperti dikutip ²©²ÊÍøÕ¾, Senin (27/3/2023).
Masih dari salinan surat tersebut disebutkan tambahan pasokan beras tersebut dapat digunakan untuk program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Beras (SPHP), bantuan beras kepada sekitar 21,353 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dan kebutuhan lainnya.
Namun patut digarisbawahi, Indonesia tidak hanya mengimpor beras untuk untuk konsumsi sehari-hari, tetapi juga beras khusus yang didistribusikan ke lokasi-lokasi tertentu seperti hotel, restoran, hingga kafe.
Pada 2021 lalu, Presiden Jokowi sempat menyatakan Indonesia tidak lagi mengimpor beras selama tiga tahun. Beras yang dimaksud tersebut yakni beras konsumsi sehari-hari, tetapi untuk beras khusus yang tidak diproduksi di dalam negeri masih tetap impor, hal ini membuat data di BPS tercatat terus mengimpor beras.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Gula Juga Selalu Impor
Sama dengan beras, Indonesia juga selalu mengimpor gula. Kebutuhan dengan produksi dalam negeri masih timpang, harga gula pun sempat naik tajam pada Maret lalu.Â
Sekretaris Eksekutif AGI, Dwi Purnomo Putranto kepada ²©²ÊÍøÕ¾Â Indonesia mengatakan persoalan perebutan bahan baku tebu masih menjadi tantangan bagi produksi pabrik gula utamanya bagi pabrik yang tidak memiliki kemampuan keuangan yang memadai.
Di sisi lain, AGI juga melihat kondisi impor gula yang kerap berbarengan dengan musim giling, alhasil turut menekan harga jual gula pabrik.
Pada 2022 lalu, impor gula tercatat sebesar mengimpor sebesar 6 juta ton gula, baik itu kristal rafinasi (GKR) yang digunakan untuk industri dan gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi rumah tangga.
Bapanas memprediksi, impor gula tahun ini akan lebih rendah dibandingkan tahun 2022.
Pasalnya, produksi gula nasional tahun ini diprediksi bakal lebih baik. Di mana, tahun 2022, Bapanas mengutip Kementerian Pertanian (Kementan), produksi gula nasional mencapai 2,4 juta ton.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan produksi guka tahun ini akan mencapai 2,6 juta ton, sementara kebutuhan gula nasional mencapai 3,4 juta ton.
Artinya impor yang dilakukan tahun ini bisa di bawah satu juta ton. Tetapi itu merupakan GKP. sementara untuk GKR masih akan diimpor sebesar 3,6 juta ton.
Besarnya porsi impor GKR tidak lepas dari kebutuhan industri makan dan minuman di dalam negeri yang tinggi.
Kalangan pengusaha di sektor ini sempat menyebut gula produksi dalam negeri tidak bisa digunakan untuk produksi, tetapi kalangan petani tebu di dalam negeri membantahnya
"Ya bukan enggak bisa dipakai. Lebih karena ada pihak-pihak yang sangat diuntungkan oleh importasi ini karena gula impor saat ini masih lebih murah dibanding gula lokal," kata Ketua Umum DPN Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen kepada ²©²ÊÍøÕ¾, Jumat (29/10/2021) silam.
Melansir data dari Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI), jumlah produsen GKR saat ini sebanyak 11 pabrik.
Melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional, pemerintah membuat adanya pemisahan antara gula rafinasi untuk industri dan gula tebu untuk konsumsi.
Hal ini sebelumnya sempat memicu polemik. Untuk Pabrik gula rafinasihanya memproduksi Gula GKR untuk memasok kebutuhan industri makanan, minuman dan farmasi.
Lalu pabrik gula berbasis tebu juga hanya memproduksi GKP yang dipasok untuk kebutuhan gula konsumsi atau masyarakat umum. Pabrik gula rafinasi tidak boleh memproduksi GKP untuk konsumsi, pabrik gula basis tebu tidak boleh memproduksi gula industri atau GKR.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Selalu Kekurangan Daging Sapi
Indonesia juga mengalami kekurangan daging sapi setiap tahun. Dalam tiga tahun terakhir misalnya, berdasarkan data BPS, Indonesia mengalami kekurangan daging sapi sekitar 250.000 ton hingga hampir 300.000 ton.
Impor pun setiap tahun dilakukan.
Wilayah Jawa menjadi yang paling banyak mengalami defisit. Berdasarkan data BPS, konsumsi daging sapi pada 2022 mencapai 500.430 ton atau sekitar 71% dari total konsumsi. Namun, supply daging sapi di Jawa hanya sekitar 258.170 ton, sehingga ada defisit sebesar 242.260 ton.
Konsumsi dan defisit tersebut mengalami penurunan ketimbang 2021, sebab produksi mengalami kenaikan.
Yang menarik, populasi sapi sebenarnya cukup besar. Catatan BPS, pada 2021 populasi sapi potong di Jawa mencapai 7,57 juta ekor. Secara total, populasi sapi potong di Indonesia mencapai 18,05 juta ekor.
Ketua Komite Tetap Industri Peternakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Yudi Guntara Noor menjelaskan populasi sapi banyak belum tentu menghasilkan banyak daging sapi. Pasalnya, jenis peternakan sapi di Indonesia banyak yang bersifat sosial security. Artinya peternak hanya akan menjual atau memotong sapi ketika butuh misalnya untuk kurban, hajatan, dan sebagainya.
"Jadi itu sangat tidak jelas kapan, sedangkan konsumen di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan daerah lainnya, itu ada industri, rumah tangga, horeka (hotel, restoran, kafe), yang memang tiap hari membutuhkan pasokan daging," ujarnya dalam diskusi bertajuk Kerja Sama Indonesia - Australia dalam Industri Sapi dan Daging Sapi 2021, dikutip dari Senin (22/3/2021) silam.
Selain itu, sentra daging sapi tidak berada di pusat konsumsi. Dengan luas wilayah Indonesia yang besar, hal ini memicu defisit di satu wilayah, sementara surplus di tempat lain.
Kebutuhan daging sapi di Jawa Barat sebesar 167.110 ton, tetapi supply-nya hanya 21.350 ton. Defisit paling besar pun dicatat Jawa Barat, disusul DKI Jakarta yang minus 65.140 ton.
Populasi sapi potong di Jawa Barat hanya sebanyak 415.036 ekor, jauh dari Jawa Timur yang lebih dari 4,9 juta ekor, atau Jawa Tengah sekitar 1,8 juta ekor. Kedua wilayah ini mencatat surplus daging sapi.
Sentra daging sapi lainnya berada di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan dengan populasi berkisar 1,2 juta - 1,4 juta ekor.
Di beberapa sentra penghasil daging sapi tersebut, vaksinasi untuk mencegah penyebaran penyakit mulut dan kuku (PMK) sudah 100% dilakukan, berdasarkan data dari Siaga PMK, Kementerian Pertanian
PMK merupakan penyakit yang sangat menular dan berbahaya bagi hewan ternak. Meski tidak menular kepada manusia, jika memakan daging yang sudah dimasak, tetapi PMK bisa membuat hewan ternak mengalami penurunan berat badan permanen. Hal ini tentunya berdampak pada kualitas daging.
Berdasarkan data dari Siaga PMK, hingga 15 Mei vaksinasi sudah disuntikkan sebanyak 13,15 juta dosis. Dari total vaksin tersebut, sebesar 78,3% diberikan ke sapi potong, sisanya ada sapi perah, kerbau, kambing, domba dan babi.
Penyakit PMK ini juga lebih banyak menyerang sapi potong, sebanyak 82,1%. Total hewan ternak yang terserang PMK saat ini sebanyak 610.361 ekor, sekitar 563 ribu ekor sembuh dan lebih dari 11 ribu ekor mati.
²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA RESEARCH
[email protected]