
Aneh! Amerika Mau "Bangkrut" tapi Surat Utangnya Laku Keras

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Utang menggunung Amerika Serikat (AS) kembali menjadi sorotan. Sebabnya, ada risiko "bangkrut" atau gagal bayar utang jika batas tertinggi atau pagu tidak dinaikkan.
Artinya, Amerika Serikat mau nambah utang untuk membayar bunga utang atau pokoknya.
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, menyebut pemerintah akan kehabisan uang untuk membayar utang dan operasional paling cepat 1 Juni mendatang. Hingga saat ini, perundingan kenaikan pagu utang tersebut antara pemerintah dan DPR yang dipimpin oposisi Partai Republik masih buntu.
Kali terakhir pagu ini dinaikkan pada Desember 2021 sebesar US$ 2,5 triliun menjadi US$ 31,4 triliun. Dan kini utang Amerika Serikat sudah menyentuh batas tersebut, artinya Kementerian Keuangan AS tidak lagi bisa menerbitkan surat utang (Treasury) guna membiayai pemerintahan.
Ketika terjadi gagal bayar, pembayaran bunga atau pokok yang seharusnya diterima pemegang Treasury tentunya akan tertunda. Dampaknya bisa besar, tidak hanya ke pasar obligasi, tetapi juga ke pasar finansial global.
Tetapi nyatanya Treasury tetap menarik bagi pelaku pasar. Terlihat imbal hasil (yield) Treasury tenor 10 tahun misalnya yang masih berada di kisaran 3,7% memang belakangan ini yield tersebut mengalami kenaikan, tetapi masih di bawah level tertinggi 2023 di 4%.
Untuk diketahui, pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga Treasury. Ketika yield naik artinya harga sedang turun. Saat harga turun, itu berarti ada aksi jual di pasar.
Treasury yang masih diminati ini tak lepas dari yield yang cukup tinggi, selain itu statusnya sebagai aset aman (safe haven) atau risk free asset.
Selain itu, sepanjang sejarah modern Amerika Serikat tidak pernah mengalami gagal bayar. Masalah pagu utang berulang kali terjadi, sebagai akibat dua partai di Amerika Serikat.
Pemerintahan AS saat ini di bawah kontrol Partai Demokrat, sedangkan DPR dikuasai Partai Republik. Pembahasan kenaikan pagu utang pun menjadi alot, beda cerita jika pemerintahan dan parlemen dikuasai partai yang sama, maka pasti lancar.
Ketua DPR dari Partai Republik, Kevin McCarthy menyebut pemerintah AS harus melakukan penghematan sebelum kenaikan pagu tersebut direstui. Tetapi, Presiden AS Joe Biden menyebut permintaan penghematan dari Partai Republik terlalu ekstrim, kebuntuan pun terjadi.
Namun, seperti disebutkan sebelumnya, Amerika Serikat tidak pernah mengalami default. Baik pemerintah maupun parlemen tentunya tidak ingin itu terjadi, sebab dampaknya yang akan besar.
Peringkat kredit Amerika Serikat bisa diturunkan. Bahkan, dengan seringnya mengalami masalah pagu, bukan tidak mungkin peringkat kredit AS akan diturunkan. Hal tersebut diungkapkan lembaga pemeringkat Fitch Ratings.
"Kami lebih khawatir kali ini," kata James McCormack, kepala pemeringkat obligasi global Fitch's, dalam sebuah wawancara dengan CNN International awal Maret lalu.
Dengan masalah pagu utang yang berulang, McCormack melihat pelaku pasar akan menilai kembali apakah Treasury benar-benar risk-free.
Jika Amerika Serikat bisa menghindari default kali ini, Goldman Sachs memprediksi Treasury Bill (surat utang jangka pendek) akan diborong pelaku pasar.
Kementerian Keuangan AS diprediksi akan mengeluarkan Treasury Bill senilai US$ 600 miliar - US$ 700 miliar dalam beberapa pekan. Artinya likuiditas di pasar akan disedot, bahkan Goldman Sachs menyatakan dampaknya setara dengan kenaikan suku bunga The Fed sebesar 25 basis poin.
Dan di sisa tahun ini, nilai Treasury Bill yang dikeluarkan diperkirakan mencapai US$ 1 triliun, dan tentunya akan tetap laku.
²©²ÊÍøÕ¾Â INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)