
"Petaka" Eropa Resesi Bisa Jadi Berkah Bagi RI, Ini Alasannya

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾Â Indonesia - Percaya atau tidak resesi di negara Barat menjadi kabar baik yang ditunggu oleh para pelaku pasar, bahkan para pemangku kebijakan meski tidak disebutkan secara gamblang. Eropa yang resmi mengalami resesi tidak direspon negatif oleh pelaku pasar, sebagian bursa saham Benua Biru justru menguat.
Eurostat Kamis (8/6/2023) kemarin merevisi pertumbuhan ekonomi zona euro menjadi -0,1% quarter-to-quarter (qtq) pada kuartal I-2023. Pada kuartal sebelumnya, produk domestik bruto (PDB) juga tumbuh negatif, sehingga disebut mengalami resesi teknikal.
Resesi memang memberikan dampak yang buruk, tetapi dalam kondisi "perang" melawan inflasi yang tinggi, itu justru dinanti-nanti. Ketika terjadi resesi, maka aktivitas ekonomi menurun, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal bisa terjadi, sehingga daya beli masyarakat menurun. Itu bisa membuat inflasi turun lebih cepat.
Hal ini lebih baik ketimbang menghadapi inflasi tinggi dalam waktu yang lama. Apalagi misalnya jika perekonomian masih kuat, bisa memicu wage-price spiral.
Dengan pasar tenaga kerja yang kuat, disertai dengan kenaikan upah yang tinggi, daya beli masyarakat akan terjaga. Kenaikan upah yang tinggi membuat beban perusahaan meningkat, yang pada akhirnya dibebankan ke masyarakat dengan menaikkan harga produk. Mengingat daya beli masyarakat masih kuat, inflasi pun terancam terus meningkat, itulah wage-price spiral.
Singkatnya, kenaikan gaji akan disusul dengan kenaikan harga barang, begitu seterusnya, dan tinggal menunggu waktu perekonomian akan mengalami keruntuhan yang parah.
Inflasi yang diukur dari consumer price index (CPI) pada Mei tercatat tumbuh 6,1% year-on-year (yoy) sudah turun jauh dari rekor tertinggi sepanjang masa 10,6% (yoy) yang dicapai pada Oktober 2022 lalu.
Namun, inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan sebelumnya terus menanjak hingga menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa 5,7% (yoy) pada Maret lalu. Pada Mei, CPI inti turun menjadi 5,3% (yoy).
Guna meredam inflasi, bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) sangat agresif menaikkan suku bunga. Ini menjadi indikasi ECB lebih memilih menurunkan inflasi dan "mengorbankan" perekonomian. Semakin tinggi suku bunga, maka risiko resesi semakin besar.
Sejak Juli tahun lalu, ECB sudah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak tujuh kali dengan total 375 basis poin menjadi 3,75%. Suku bunga tersebut menjadi yang tertinggi sejak Juli 2008.
Semakin tinggi suku bunga, maka resesi semakin cepat terjadi, inflasi bisa segera diturunkan. Ketika inflasi sudah turun, suku bunga tidak perlu naik lebih tinggi lagi, penderitaan masyarakat akan berkurang.
Bayangkan jika inflasi tinggi disertai dengan suku bunga tinggi dalam waktu yang lama, biaya hidup mencekik, cicilan kredit misalnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) juga sangat tinggi.
Sehingga, resesi kali ini justru bisa disambut baik oleh pelaku pasar. Tidak hanya bursa saham Eropa, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga sempat melesat pagi tadi. Rupiah juga menguat melawan dolar AS. Belum lagi jika aliran modal dari Eropa justru terbang ke Indonesia yang memiliki fundamental ekonomi stabil, serta pertumbuhan yang cukup tinggi. Sesuatu yang tidak biasa terjadi ketika ada kabar resesi, pelaku pasar biasanya menghindari aset-aset berisiko, begitu juga mata uang emerging market seperti rupiah.Â
Meski akan ada risiko penurunan ekspor ke Eropa, tetapi porsinya tidak akan besar, sebab pangsanya hanya sekitar 7% saja. Pasar utama Indonesia adalah China, Amerika Serikat, Jepang, India dan ASEAN.
Artinya, resesi Eropa bisa menjadi berkah bagi Indonesia, kecuali jika resesi kali ini tidak mampu menurunkan inflasi, maka dampaknya akan sangat buruk.
²©²ÊÍøÕ¾Â INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)