²©²ÊÍøÕ¾

e-Commerce

Kisah di Balik Pembatalan Aturan Pajak e-Commerce

Roy Franedya, ²©²ÊÍøÕ¾
29 March 2019 18:53
Kisah di Balik Pembatalan Aturan Pajak e-Commerce
Foto: Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati meninjau saat warga isi SPT di KPP Tebet (²©²ÊÍøÕ¾/Iswari Anggit)
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Kementerian Keuangan (kemenkeu) memutuskan menarik aturan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 210 tahun 2018 tentang pajak e-commerce yang akan berlaku 1 April 2019. Alasannya, aturan ini telah menimbulkan kekisruhan dan simpang siur informasi di Indonesia.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan awalnya PMK 2010 tahun 2018 tentang pajak e-commerce dibuat untuk memperoleh informasi melalui pelaku industri, namun aturan ini ditanggapi keliru bahwa akan ada pajak baru.


Selain itu, muncul juga persepsi seolah-olah yang bayar pajak adalah usaha konvensional, sementara digital tidak. Padahal perusahaan digital membayar pajak.

"Begitu banyak simpang siur. Kami sudah koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan banyak yang collect info dari perusahaan marketplace. Dengan simpang siur kami anggap perlu sosialisasi lebih lagi pada seluruh stakeholder, masyarakat, perusahaan, memahami seluruhnya," ujar Sri Mulyani, di Kantor Pajak Tebet, Jakarta, Jumat (29/3/2019).

"Saya memutuskan menarik PMK 210/2018. Itu kita tarik dengan demikian yang simpang siur tanggal 1 April ada pajak e-commerce itu nggak benar, kami putuskan tarik PMK-nya."

Sri Mulyani menambahkan, meski dicabut aturan pajak yang ada masuk berlaku. Aturan tersebut adalah pajak UMKM di mana pengusaha digital yang memiliki penghasilan sampai Rp 4,8 miliar kena pajak 0,5%.

Menanggapi pembatalan ini, Ketua idEA (Asosiasi E-Commerce Indonesia) Ignasius Untung menyebut kebijakan yang diambil Sri Mulyani merupakan kebijakan yang baik.

"Kami amat sangat mengapresiasi tim Kemenkeu (kementerian keuangan) dan DJP (Direktorat Jenderal Pajak) sejak awal kooperatif sekali." ujar Ignatius Untung. "Ternyata mereka punya semangat yang sama. Jadi keputusan ini kami apresiasi sebagai kebijakan yang mengutamakan kepentingan lebih besar dan ini keputusan yang baik sekali dari bu SMI (Sri Mulyani) dan jajaran kemenkeu."

Simak video tentang pembatalan aturan pajak e-commerce di bawah ini:
PMK 210 tahun 2018 tentang pajak e-commerce diundang-undangkan pada 31 Desember 2018. Namun aturan ini baru dirilis pada pertengahan Januari 2019. Namun aturan ini baru akan berlaku pada 1 April 2019.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama, mengatakan aturan ini untuk memberikan kepastian terkait aspek perpajakan bagi pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan perdagangan melalui e-commerce.

"Penting untuk diketahui Pemerintah tidak menetapkan jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-commerce. Pengaturan yang dimuat dalam PMK-210 ini semata-mata terkait tata cara dan prosedur pemajakan, yang dimaksudkan memberikan kemudahan administrasi dan mendorong kepatuhan perpajakan pelaku e-commerce demi menciptakan perlakuan yang setara dengan pelaku usaha konvensional," ujar Hestu Yoga dalam keterangan tertulis, yang dilansir Jumat (11/1/2019).

Dalam aturan ini, pedagang dan penyedia jasa berjualan di marketplace diwajibkan untuk memiliki NPWP dan memberitahukan NPWP kepada pengelola e-commerce. Apabila belum memiliki NPWP bisa memilih untuk memberitahukan nomor KTP atau membuat NPWP.


"Melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti membayar pajak final dengan tarif 0,5% dari omzet dalam hal omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun, serta Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal omzet melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun, dan melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku," terang Hestu Yoga.

Dalam aturan ini e-commerce diwajibkan memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai sebagai pengusaha kena pajak (PKP) yang memiliki tugas untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penyediaan layanan platform marketplace kepada pedagang dan penyedia jasa.

E-commerce juga memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan milik penyedia platform marketplace sendiri, serta melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan oleh pedagang pengguna platform.

"Penyedia platform marketplace yang dikenal di Indonesia antara lain Blibli, Bukalapak, Elevenia, Lazada, Shopee, dan Tokopedia. Selain perusahaan-perusahaan ini, pelaku over- the-top di bidang transportasi juga tergolong sebagai pihak penyedia platform marketplace," ujar Hestu Yoga.

Hestu menjelaskan, bagi e-commerce di luar Platform marketplace pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan perdagangan barang dan jasa melalui online retail, classified ads, daily deals, dan media sosial wajib mematuhi ketentuan terkait PPN, PPnBM, dan PPh sesuai ketentuan yang berlaku. 

"Sebelum PMK-210 ini mulai berlaku efektif pada 1 April 2019, DJP akan melaksanakan sosialisasi kepada para pelaku e-commerce, termasuk penyedia platform marketplace dan para pedagang yang menggunakan platform tersebut," ujarnya. Dirilisnya aturan ini ternyata tak disambut positif. Tiga hari berselang (14/1/2019) Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) menggelar jumpa pers untuk memberikan tanggapan atas aturan baru ini. Mereka mengkritik keras aturan pajak tersebut.

Ketua iDEA, Ignasius Untung, mengatakan PMK 210 tentang pajak memiliki beberapa kekurangan. Pertama, aturan ini tanpa sosialiasi yang cukup dan dikhawatirkan dapat menghambat pertumbuhan UMKM.

Kedua, PMK 210 bisa mematikan pengusaha mikro. Menurut studi iDEA, saat ini banyak pengusaha yang berjualan di e-commerce merupakan perusahaan mikro yang masih coba-coba. Dipaksa bikin NPWP bisa membuat pengusaha mikro memilih gulung tikar.

Ketiga aturan yang tidak sama dengan berjualan di Medsos. iDEA melihat para e-commerce termasuk taat pada peraturan yang ada. Tetapi perdagangan di medsos minim aturan.


Bila aturan pajak ini diterapkan, maka akan semakin banyak pedagang yang pindah dari e-commerce ke berjualan di media sosial. Hal ini bikin bisnis e-commerce terancam. Maklum, e-commerce hanya penyedia jasa yang mempertemukan pedagang dengan pembeli secara daring. Bila jumlah pedagang berkurang maka bisnis e-commerce bisa tutup.

Keempat, aturan pajak dan kebijakan mendorong UMKM masuk digital bikin bingung pengusaha e-commerce. PMK 210 bikin nilai pajak naik dalam jangka pendek, tetapi bisa menyusutkan pengusaha UMKM karena mereka masih berjualan untuk bertahan hidup.

Sementara pemerintah mendorong pengusaha UMKM masuk digital. Pemerintah ingin UMKM masuk digital guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Sektor UMKM termasuk yang paling kuat dalam hadapi krisis.

"Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, idEA meminta Kementerian Keuangan untuk menunda dan mengkaji ulang pemberlakuan PMK 210 ini sambil bersama-sama melakukan kajian untuk menemukan rumusan yang tepat dan tidak mengorbankan salah satu dari dua target pemerintah," ujar Ignasius Untung dalam keterengan resmi, Senin (14/1/2019).

"Terlebih lagi karena PMK-210 ini diterbitkan dengan minim studi, uji publik, sosialisasi hingga kesepakatan akan tersedianya infrastruktur dan sistem untuk melakukan validasi NPWP seperti disebutkan dalam PMK 210 ini," katanya. Pada hari yang sama (14/3/2019), Kementerian Keuangan bertemu dengan idEA. Dalam pertemuan tersebut lahir lima kesepakatan antara pengusaha dengan Kementerian Keuangan.

1. Pedagang atau penyedia jasa tidak wajib memiliki NPWP 

Dalam informasi yang beredar di media, PMK e-commerce mewajibkan pedagang atau penyedia jasa untuk memiliki NPWP ketika akan mendaftarkan diri pada Online Market Place. Pertemuan tadi menyepakati semangat utama dan substansi bahwa pedagang/merchant tidak diwajibkan untuk ber-NPWP saat mendaftarkan diri di platform marketplace. Hal tersebut merupakan interpretasi yang tepat dan komprehensif terhadap keseluruhan PMK tersebut. 

"Bagi yang belum memiliki NPWP, dapat memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada penyedia platform marketplace. NIK dimiliki oleh seluruh penduduk," terang Nufransa. 

2. PMK dibuat bukan untuk memenuhi target penerimaan pajak 

Pemerintah membuat aturan PMK e-commerce bukan untuk mengejar target penerimaan pajak, namun lebih untuk menjangkau lebih banyak informasi untuk membangun ekosistem dan database e-commerce yang komprehensif. Data akan dianalisis untuk melihat perkembangan e-commerce di Indonesia sebagai dasar penentuan kebijakan pengembangan bisnis e-commerce di masa yang akan datang.

Karena itu, aturan operasional dari PMK tersebut akan memastikan perlindungan terhadap UKM mikro dan kelompok masyarakat yang baru memulai bisnis e-commerce. Detil teknis perlindungan ini akan didiskusikan lebih lanjut dengan pelaku usaha.

"Kemenkeu dan idEA juga sepakat untuk bekerjasama lebih erat ke depannya untuk merumuskan aturan pelaksanaan yang mengakomodir kepentingan seluruh stakeholder," tambah Nufransa.


3. Pelaku usaha tidak akan berpindah ke platform media sosial 


Dengan adanya pengaturan dan kepastian hukum yang lebih jelas dalam menjamin perlindungan konsumen, diharapkan konsumen akan beralih ke platform e-commerce. Yang pada akhirnya para pelaku bisnis di media sosial juga akan beralih kepada platform e-commerce. Melalui data penjual yang telah teridentifikasi, pembeli akan mendapatkan jaminan akan ketersediaan dan kesesuaian barang yang dipesan oleh pembeli.

Dengan peraturan ini, juga terdapat persamaan perlakuan antara pengusaha konvensional dan pengusaha yang memasarkan barang ataupun jasanya melalui e-commerce. Ini akan memudahkan dan memberikan kepastian hukum bagi pedagang dan penyedia jasa apabila di kemudian hari ada permasalahan di mata hukum.

Ditjen Bea Cukai dan Ditjen Pajak mendukung bisnis di bawah platform e-commerce dan mengajak pelaku bisnis di luar platform e-commerce untuk bergabung.

"Pelaku usaha menyambut baik upaya level playing field yang diupayakan PMK ini agar mereka yang berjualan di media sosial juga dapat memiliki peluang dan ketaatan pajak yang sama dengan berjualan di platform e-commerce," terang Nufransa lebih jauh.

4. Kemudahan data pelaporan 

Data pelaporan oleh penyedia platform marketplace dirancang semudah mungkin sehingga tidak memberatkan semua pihak, termasuk penjual dan pembeli. Kementerian Keuangan akan melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik, agar pelaporan platform marketplace dapat dipermudah 

Dengan adanya aturan PMK e-commerce, ada persamaan perlakuan antara pengusaha konvensional dan pengusaha yang memasarkan barang ataupun jasanya melalui e-commerce. Ini akan memudahkan dan memberikan kepastian hukum bagi pedagang dan penyedia jasa apabila di kemudian hari ada permasalahan di mata hukum.

5. Mempermudah proses impor pengiriman barang e-commerce 

Dari aspek kepabeanan, PMK ini memperkenalkan skema Delivery Duty Paid untuk impor barang kiriman dalam rangka memberikan kepastian dan transparansi proses impor barang kiriman dengan pemenuhan kewajiban perpajakan melalui fasilitas penyedia Platform Marketplace domestik. Melalui skema ini, pembeli akan mendapatkan kepastian harga dan pedagang akan mendapatkan kemudahan dalam proses impor barangnya.

"Mekanisme baru kepabeanan ini sedang dalam tahap ujicoba oleh beberapa pelaku usaha marketplace bersama DJBC," tutup Nufransa. Meski sudah terjadi kesepakatan, idEA masih berharap aturan tersebut ditunda pelaksanaannya. Alasan yang diajukan masih ada perbedaan perlakuan antara e-commerce dengan pedagang di media sosial dari sisi perpajak dan atauran PMK 210 yang belum memadai.

Ketua Bidang Ekonomi Digital Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Bima Laga, mengatakan jika aturan dalam PMK 210 ini hanya berlaku bagi e-commerce, akan membuat para pedagang online memilih pindah ke media sosial. Pasalnya, jika berjualan melalui media sosial, belum ada aturan pajak yang mengikat.


"Aturan ini jangan hanya terbatas di marketplace. Kita sudah preskon dengan Bu Menteri [Keuangan, Sri Mulyani], ada poin-poinnya, poin sosial media juga sudah kita masukkan," ujarnya dalam diskusi perpajakan, Kamis (28/3/2019). 

"Yang ingin saya mention [sampaikan], apapun aturannya nanti, kalau sosial media tidak dilibatkan, kekhawatiran kita terjadi shifting. Di sini ada aturan, di sini belum, orang pindah, pindahnya ke sosial media. Ini harus ditekankan," tambahnya.

Bahkan, Bima menyampaikan agar penerapan PMK 210 ini ditunda hingga dua tahun ke depan. Dalam kurun waktu dua tahun masa penundaan ini, ia berharap pemerintah dengan melibatkan asosiasi bisa mengkaji aturan untuk berjualan via media sosial.

Setelah aturan tersebut selesai, baru bisa diterapkan, berbarengan dengan aturan terkait e-commerce.

"Aturannya jangan hanya terbatas di marketplace, nanti tidak adil untuk bisnis model yang lain."

"Yang kita harapkan tadi juga dari Katadata mengusulkan dua tahun, dalam kurun dua tahun itu kita juga berdiskusi untuk penerapan peraturan sosial medianya, sehingga dalam penundaan kurun waktu dua tahun itu juga dibuat rancangannya untuk sosial media. Jadi in the end penerapannya itu bareng-bareng," tandasnya.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular