
Kinerja Q3 Astra Agro-London Sumatra, Siapa Terbaik?
Irvin Avriano Arief, ²©²ÊÍøÕ¾
31 October 2019 18:13

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Laporan keuangan emiten agribisnis,ÌýPT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dari Grup Salim dan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dari Grup Astra menunjukkan kontradiksi pendapatan di antara duo saham unggulan (blue chips) di bisnis minyak sawit ini.
Dari sudut pandang kinerja 3 bulanan, kinerja LSIP membaik pada kuartal-III dari triwulan sebelumnya, yaitu dengan mencatatkan kenaikan pendapatan dan membalik rugi akhirnya menjadi laba bersih.
Mengacu laporan keuangan, perusahaan perkebunan Grup Salim ini mencetak pertumbuhan pendapatan 48,31% menjadi Rp 990,4 miliar pada kuartal III-2019 dari kuartal sebelumnya Rp 667,78 miliar. Perusahaan bisa membalik rugi bersih Rp 28,15 miliar menjadi laba bersih Rp 42,05 miliar pada periode yang sama.
Salah satu faktor yang membuat perusahaan mampu mencetak laba bersih pada kuartal III-2019 adalah kenaikan beban pokok penjualan 38,95% yang lebih kecil daripada pertumbuhan pendapatannya, sehingga mampu mencetak pertumbuhan laba kotor 195,4% atau senilai Rp 118,3 miliar.
Kenaikan tersebut didukung oleh harga minyak sawit global yang membaik pada kuartal III-2019 yaitu reratanya menjadi RM 2.111/ton dibanding kuartal II-2019 RM 2.075/ton.
Emiten pun sudah merilis kinerja operasionalnya, yang menunjukkan produksi CPO pada kuartal III-2019 mencapai 103.000 ton, lebih tinggi dari kuartal I dan kuartal II yang masing-masing hanya 95.800 ton dan 87.400 ton.
Kinerja 9 bulan LSIP
Meskipun kinerja kuartal III perseroan membaik, kinerja 9 bulan pertama 2019 emiten ini masih terkoreksi dengan angka penjualan yang turun 10,01% menjadi Rp 2,58 triliun dan laba bersih yang menciut 84,76% menjadi Rp 52,53 miliar dari periode yang sama tahun lalu.
Penurunan itu kemungkinan besar disebabkan turunnya harga CPO pada 9 bulan pertama tahun ini menjadi RM 2.127/ton dari tahun lalu RM 2.367/ton. Padahal, laporan kinerja operasional emiten menunjukkan penjualan CPO mereka naik 3,8% menjadi 301.955 metrik ton (MT) dari 290.940 MT.
Alhasil, margin laba bersih perseroan dicatatkan 2,03% pada periode 9 bulan pertama 2019 dan 4,25% pada kuartal III-2019.
Analis PT RHB Sekuritas Indonesia Andre Bernas dan tim mengapresiasi kinerja LSIP tersebut dengan menaikkan rekomendasi menjadi BUY dari sebelumnya NEUTRAL dengan TP (target harga/target price) baru yang diangkat menjadi Rp 1.450/saham dari sebelumnya Rp 1.290/saham.
LSIP juga dinilai sebagai salah satu perusahaan yang masih memiliki status sebagai emiten perkebunan terbaik dan laporan keuangannya belum terbebani hutang sehingga dinilai sebagai yang tersehat keuangannya di antara 'emiten kebun' lain.
Meskipun demikian, tim riset tersebut menyoroti perkebunan karet perseroan yang belum berniat diganti menjadi kebun sawit kendatiÌýporsinya hanya 5% dari total portofolio penjualan.
Harga karet yang turun dinilai turut berdampak pada kinerja perseroan meskipun karena porsi yang kecil akan tertutup dari kinerja sawit yang diprediksi masih akan baik ke depannya.
Selain itu, program penanaman ulang (replanting) yang ditarget dilakukan pada 500 hektare (ha) kebun sawitnya baru berjalan 100 ha.
LSIP juga bukanlah pilihan utama di sektor perkebunan oleh RHB Sekuritas karena pesaing terdekatnya yaitu AALIÌýmasih menjadi proxy atau pilihan yang dianggap mewakili sektor tersebut.
AALI masih diberikan peringkat BUY dengan target harga (TP) yang dinaikkan menjadi Rp 16.160/saham dari sebelumnya Rp 13.730/saham dengan faktor pendukung manajemen yang dianggap lebih baik dan terbuka dibanding LSIP.
Dengan adanya lonjakan harga CPO 16,91% menjadi RM 2.496/ton sepanjang Oktober dan prospek ke depannya yang akan membaik, RHB Sekuritas meningkatkan rekomendasi sektor CPO menjadi OVERWEIGHT dari sebelumnya NEUTRAL.
Kinerja AstraÌýAgro
Di sisi AALI, penjualan perseroan hanya Rp 3,86 triliun atau justru turun dari Rp 4,29 triliun pada periode yang sama dan dari kuartal pertama tahun ini. Pada periode itu, rerata harga CPO dunia di bursa Malaysia justru membaik meskipun tidak sebesar pada kuartal awal tahun ini.
Meskipun penjualan turun, beban pokok penjualan perseroan justru turun lebih dalam yaitu 13,45% menjadi Rp 3,37 triliun sehingga melahirkan laba kotor yang melonjak 22,86% menjadi Rp 486,41 miliar. Laba bersih perseroan pun dicatatkan meroket lebih dari 10 kali lipat atau tepatnya 970,56% menjadi Rp 67,46 miliar.
Dari kacamata 9 bulan pertama 2019, kinerja emiten yang juga masih tertekan dianggap Analis PT Mirae Asset Sekuritas Andy Wibowo Gunawan jauh di bawah prediksi pelaku pasar.
Pendapatan emiten turun 9,99% menjadi Rp 12,38 triliun sedangkan laba bersihnya anjlok 90,11% menjadi Rp 111,18 miliar. Meskipun demikian, margin laba bersih perseroan masih lebih tinggi dari LSIP yaitu 9,15%. Karena kinerjanya sangat tertekan, kemungkinan berkaca pada kinerja 9M-2019, Andy sedang mengkaji penurunan TP AALI.
Dari angka penjualan atau pendapatan usahanya, memang kinerja kedua perusahaan bertolak belakang di tengah membaiknya harga CPO dunia dan dapat dikatakan LSIP menang dari sisi tersebut.
Namun, dari bottom line atau laba bersih, kubu AALI mengalami pertumbuhan yang lebih signifikan sehingga marginnya masih lebih gurih dibandingkan dengan LSIP. Tentunya, kinerja itu tak lepas dari dukungan pendapatan AALI yang memang beda kelas alias lebih tinggi 5 kali lipat dari LSIP.
Aset AALI juga ditunjukkan mencapai Rp 27,65 triliun, hampir 3 kali lipat dari LSIP Rp 10,2 triliun pada akhir September.
Dari sisi rekomendasi pasar, 14 pelaku pasar menyematkan rerata TP 12 bulan ke depan bagi LSIP pada Rp 1.342/saham yang sudah kalah dari harganya di pasar hari ini Rp 1.350/saham. Sementara itu, rerata TP AALI pelaku pasar masih Rp 12.580/saham atau masih memiliki potensi kenaikan 10,1% dari harga hari ini.
Tak heran memang, karena valuasi rasio harga saham per laba (PE ratio) historis AALI masih jauh lebih rendah, atau jika boleh dikatakan lebih murah daripada LSIP. Saat ini, PE ratio AALI hanya 51,65 kali, sedangkan LSIP 221,87 kali.
PE ratio adalah cerminan valuasi perusahaan yang dilihat dari pengali harga pasarnya terhadap kinerja fundamental keuangannya, dalam hal ini laba per saham (EPS). Semakin tinggi pengali PE ratio, maka harga sahamnya di pasar lebih mahal dibandingkan dengan pengali yang lebih kecil. Valuasi tersebut sebaiknya diperbandingkan terhadap pesaing seindustri dan sebidang dan memiliki lini bisnis dan ukuran perusahaan yang terdekat.
Namun yang pasti, membaiknya harga CPO pada kuartal III-2019 dan bahkan sudah mulai meroketnya harga komoditas itu di pasaran dunia di bulan ini dapat memperbaiki prospek ke depannya bagi si minyak sawit maupun produsennya yang sempat tersandera ancaman perang dagang dengan Eropa.
Namun, roda nasib yang berputar terutama dari pembatasan ekspor sawit Malaysia ke India membuat harga pasaran CPO mulai membaik dan tentu dapat menyuntikkan semangat tidak hanya kepada kedua emiten blue chips ini, AALI dan LSIP, dan perusahaan serupa di bursa saham, tetapi juga dapat membuncahkan seluruh pelaku industri.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA
(irv/tas) Next Article Asyik! Permintaan CPO India Dongkrak Saham Sawit & IHSG
Dari sudut pandang kinerja 3 bulanan, kinerja LSIP membaik pada kuartal-III dari triwulan sebelumnya, yaitu dengan mencatatkan kenaikan pendapatan dan membalik rugi akhirnya menjadi laba bersih.
Mengacu laporan keuangan, perusahaan perkebunan Grup Salim ini mencetak pertumbuhan pendapatan 48,31% menjadi Rp 990,4 miliar pada kuartal III-2019 dari kuartal sebelumnya Rp 667,78 miliar. Perusahaan bisa membalik rugi bersih Rp 28,15 miliar menjadi laba bersih Rp 42,05 miliar pada periode yang sama.
Salah satu faktor yang membuat perusahaan mampu mencetak laba bersih pada kuartal III-2019 adalah kenaikan beban pokok penjualan 38,95% yang lebih kecil daripada pertumbuhan pendapatannya, sehingga mampu mencetak pertumbuhan laba kotor 195,4% atau senilai Rp 118,3 miliar.
Kenaikan tersebut didukung oleh harga minyak sawit global yang membaik pada kuartal III-2019 yaitu reratanya menjadi RM 2.111/ton dibanding kuartal II-2019 RM 2.075/ton.
Emiten pun sudah merilis kinerja operasionalnya, yang menunjukkan produksi CPO pada kuartal III-2019 mencapai 103.000 ton, lebih tinggi dari kuartal I dan kuartal II yang masing-masing hanya 95.800 ton dan 87.400 ton.
Kinerja 9 bulan LSIP
Meskipun kinerja kuartal III perseroan membaik, kinerja 9 bulan pertama 2019 emiten ini masih terkoreksi dengan angka penjualan yang turun 10,01% menjadi Rp 2,58 triliun dan laba bersih yang menciut 84,76% menjadi Rp 52,53 miliar dari periode yang sama tahun lalu.
Penurunan itu kemungkinan besar disebabkan turunnya harga CPO pada 9 bulan pertama tahun ini menjadi RM 2.127/ton dari tahun lalu RM 2.367/ton. Padahal, laporan kinerja operasional emiten menunjukkan penjualan CPO mereka naik 3,8% menjadi 301.955 metrik ton (MT) dari 290.940 MT.
Alhasil, margin laba bersih perseroan dicatatkan 2,03% pada periode 9 bulan pertama 2019 dan 4,25% pada kuartal III-2019.
Analis PT RHB Sekuritas Indonesia Andre Bernas dan tim mengapresiasi kinerja LSIP tersebut dengan menaikkan rekomendasi menjadi BUY dari sebelumnya NEUTRAL dengan TP (target harga/target price) baru yang diangkat menjadi Rp 1.450/saham dari sebelumnya Rp 1.290/saham.
LSIP juga dinilai sebagai salah satu perusahaan yang masih memiliki status sebagai emiten perkebunan terbaik dan laporan keuangannya belum terbebani hutang sehingga dinilai sebagai yang tersehat keuangannya di antara 'emiten kebun' lain.
Meskipun demikian, tim riset tersebut menyoroti perkebunan karet perseroan yang belum berniat diganti menjadi kebun sawit kendatiÌýporsinya hanya 5% dari total portofolio penjualan.
Harga karet yang turun dinilai turut berdampak pada kinerja perseroan meskipun karena porsi yang kecil akan tertutup dari kinerja sawit yang diprediksi masih akan baik ke depannya.
Selain itu, program penanaman ulang (replanting) yang ditarget dilakukan pada 500 hektare (ha) kebun sawitnya baru berjalan 100 ha.
![]() |
LSIP juga bukanlah pilihan utama di sektor perkebunan oleh RHB Sekuritas karena pesaing terdekatnya yaitu AALIÌýmasih menjadi proxy atau pilihan yang dianggap mewakili sektor tersebut.
AALI masih diberikan peringkat BUY dengan target harga (TP) yang dinaikkan menjadi Rp 16.160/saham dari sebelumnya Rp 13.730/saham dengan faktor pendukung manajemen yang dianggap lebih baik dan terbuka dibanding LSIP.
Dengan adanya lonjakan harga CPO 16,91% menjadi RM 2.496/ton sepanjang Oktober dan prospek ke depannya yang akan membaik, RHB Sekuritas meningkatkan rekomendasi sektor CPO menjadi OVERWEIGHT dari sebelumnya NEUTRAL.
Kinerja AstraÌýAgro
Di sisi AALI, penjualan perseroan hanya Rp 3,86 triliun atau justru turun dari Rp 4,29 triliun pada periode yang sama dan dari kuartal pertama tahun ini. Pada periode itu, rerata harga CPO dunia di bursa Malaysia justru membaik meskipun tidak sebesar pada kuartal awal tahun ini.
Meskipun penjualan turun, beban pokok penjualan perseroan justru turun lebih dalam yaitu 13,45% menjadi Rp 3,37 triliun sehingga melahirkan laba kotor yang melonjak 22,86% menjadi Rp 486,41 miliar. Laba bersih perseroan pun dicatatkan meroket lebih dari 10 kali lipat atau tepatnya 970,56% menjadi Rp 67,46 miliar.
Dari kacamata 9 bulan pertama 2019, kinerja emiten yang juga masih tertekan dianggap Analis PT Mirae Asset Sekuritas Andy Wibowo Gunawan jauh di bawah prediksi pelaku pasar.
Pendapatan emiten turun 9,99% menjadi Rp 12,38 triliun sedangkan laba bersihnya anjlok 90,11% menjadi Rp 111,18 miliar. Meskipun demikian, margin laba bersih perseroan masih lebih tinggi dari LSIP yaitu 9,15%. Karena kinerjanya sangat tertekan, kemungkinan berkaca pada kinerja 9M-2019, Andy sedang mengkaji penurunan TP AALI.
Dari angka penjualan atau pendapatan usahanya, memang kinerja kedua perusahaan bertolak belakang di tengah membaiknya harga CPO dunia dan dapat dikatakan LSIP menang dari sisi tersebut.
Namun, dari bottom line atau laba bersih, kubu AALI mengalami pertumbuhan yang lebih signifikan sehingga marginnya masih lebih gurih dibandingkan dengan LSIP. Tentunya, kinerja itu tak lepas dari dukungan pendapatan AALI yang memang beda kelas alias lebih tinggi 5 kali lipat dari LSIP.
Aset AALI juga ditunjukkan mencapai Rp 27,65 triliun, hampir 3 kali lipat dari LSIP Rp 10,2 triliun pada akhir September.
Dari sisi rekomendasi pasar, 14 pelaku pasar menyematkan rerata TP 12 bulan ke depan bagi LSIP pada Rp 1.342/saham yang sudah kalah dari harganya di pasar hari ini Rp 1.350/saham. Sementara itu, rerata TP AALI pelaku pasar masih Rp 12.580/saham atau masih memiliki potensi kenaikan 10,1% dari harga hari ini.
Tak heran memang, karena valuasi rasio harga saham per laba (PE ratio) historis AALI masih jauh lebih rendah, atau jika boleh dikatakan lebih murah daripada LSIP. Saat ini, PE ratio AALI hanya 51,65 kali, sedangkan LSIP 221,87 kali.
PE ratio adalah cerminan valuasi perusahaan yang dilihat dari pengali harga pasarnya terhadap kinerja fundamental keuangannya, dalam hal ini laba per saham (EPS). Semakin tinggi pengali PE ratio, maka harga sahamnya di pasar lebih mahal dibandingkan dengan pengali yang lebih kecil. Valuasi tersebut sebaiknya diperbandingkan terhadap pesaing seindustri dan sebidang dan memiliki lini bisnis dan ukuran perusahaan yang terdekat.
Namun yang pasti, membaiknya harga CPO pada kuartal III-2019 dan bahkan sudah mulai meroketnya harga komoditas itu di pasaran dunia di bulan ini dapat memperbaiki prospek ke depannya bagi si minyak sawit maupun produsennya yang sempat tersandera ancaman perang dagang dengan Eropa.
Namun, roda nasib yang berputar terutama dari pembatasan ekspor sawit Malaysia ke India membuat harga pasaran CPO mulai membaik dan tentu dapat menyuntikkan semangat tidak hanya kepada kedua emiten blue chips ini, AALI dan LSIP, dan perusahaan serupa di bursa saham, tetapi juga dapat membuncahkan seluruh pelaku industri.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA
Ìý
Ìý
(irv/tas) Next Article Asyik! Permintaan CPO India Dongkrak Saham Sawit & IHSG
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular