²©²ÊÍøÕ¾

S&P Masih Saja Tetapkan Outlook RI Negatif, Kenapa?

Hidayat Setiaji, ²©²ÊÍøÕ¾
23 April 2021 06:16
Ilustrasi Rupiah dan dolar (²©²ÊÍøÕ¾/Andrean Kristianto)
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (²©²ÊÍøÕ¾/Andrean Kristianto)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Lembaga pemeringkat (rating agency) Standard % Poor's tidak mengubah peringkat utang Indonesia, masih di BBB. Artinya, Indonesia masih berada di level layak investasi (investment grade).

Mengutip keterangan tertulis S&P, ekonomi Indonesia memang mengalami kontraksi tahun lalu, bahkan hingga ke level terendah sejak 1999. Akan tetapi, Indonesia diperkirakan mampu bangkit pada tahun-tahun mendatang.

"Afirmasi peringkat kami mencerminkan lingkungan institusional Indonesia yang stabil, prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat, serta rekam jejak kebijakan fiskal yang berhati-hati (prudent)," demikian sebut keterangan tertulis S&P.

Namun, S&P menurunkan proyeksi atau outlook Indonesia dari stabil menjadi negatif. Apa yang melatarbelakangi keputusan itu?

"Outlook negatif tersebut mencerminkan perkiraan kami bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan dari sisi fiskal dan eksternal terkait pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) dalam tempo 24 bulan mendatang," sebut keterangan tertulis S&P.

Satu hal yang digarisbawahi oleh S&P adalah risiko kurs. Tren depresiasi nilai tukar rupiah bisa mendatangkan risiko bagi Indonesia. S&P memperkirakan total Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia bisa mencapai 128% dari transaksi berjalan (current account).

"Defisit fiskal Indonesia tahun ini diperkirakan berada d 4,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tertinggi dalam satu dekade terakhir. Masih ada dua tahun lagi defisit anggaran diperkenankan melampaui 3% PDB," lanjut keterangan S&P.

Halaman Selanjutnya --> Fluktuasi Rupiah Bikin Tak Nyaman

Depresiasi rupiah masih menghantui perekonomian domestik. Dalam sebulan terakhir, rupiah melemah 0,8% secara point-to-point terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot. Sejak akhir 2020 (year-to-date), pelemahan rupiah mencapai 3,38%.

Di antara negara-negara berkembang, depresiasi rupiah memang tidak sedalam baht Thailand, real Brasil, lira Turki, atau peso Argentina. Namun depresiasi rupiah lebih dalam ketimbang mata uang sejumlah negara tetangga seperti dolar Singapura, ringgit Malaysia, sampai rupee India.

kursSumber: Refinitiv

Tren depresiasi rupiah membuat investor (terutama investor asing di pasar obligasi pemerintah) menjadi kurang nyaman. Sebab nilai aset akan berkurang ketika terjadi pelemahan kurs.

"Mata uang yang fluktuatif tidak nyaman bagi investor obligasi," sebut Radhika Rao, Ekonom DBS, dalam risetnya.

Per 21 April 2021, porsi kepemilikan investor asing di Surat Berharga Negara (SBN) adalah 22,72%. Turun dibandingkan posisi awal tahun yaitu 25,23%.

Halaman Selanjutnya --> Nasib Rupiah Tergantung US Treasury Bonds

Ke depan, pergerakan rupiah akan sangat ditentukan oleh dinamika imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Jika yield instrumen itu melesat lagi seperti beberapa waktu lalu, maka risiko pelemahan rupiah menjadi meningkat.

Pada akhir bulan lalu, yield surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden untuk tenor 10 tahun mencapai lebih dari 1,7%, tertinggi sejak Januari 2020. Namun selepas itu yield dalam tren turun dan saat ini berada di kisaran 1,5%.

Perkembangan yield akan ditentukan oleh ekspektasi inflasi. Jika tanda-tanda kebangkitan ekonomi Negeri Paman Sam semakin terang, maka ekspektasi inflasi bakal terdongkrak.

Sayangnya, sekarang kondisinya seperti itu. Berbagai data ekonomi terbaru menunjukkan bahwa kebangkitan ekonomi AS bukan pepesan kosong.

Pada pekan yang berakhir 17 April 2021, klaim tunjangan pengangguran AS turun 39.000 dibandingkan minggu sebelumnya menjadi 547.000. Ini adalah yang terendah sejak Maret 2020. Meski jalan masih panjang, tetapi pasar tenaga kerja AS mantap menatap jalan pemulihan seperti masa sebelum pandemi.

Kemudian pada pekan yang berakhir 16 April 2021, pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Negeri Paman Sam naik 8,6% dibandingkan pekan sebelumnya. Ini adalah kenaikan pertama dalam tujuh pekan terakhir.

"Kami memperkirakan permintaan akan tetap kuat. Lapangan kerja yang membaik mendorong peningkatan permintaan perumahan," kata Joel Kan, Associate Vice President di Mortgage Bankers Association of America, seperti dikutip dari siaran tertulis.

Masih dari sektor properti, pembangunan rumah baru (housing starts) pada Maret 2021 naik 19,4% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 1,74 juta unit. Ini adalah yang tertinggi sejak Juni 2006.

Lalu indeks sentimen konsumen pun naik dari 84,9 bulan lalu menjadi 86,5 pada April 2021. Ini adalah angka tertinggi sejak Maret 2020.

"Pada awal April, konsumen merasa terjadi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja seiring realisasi stimulus fiskal, suku bunga rendah, dan dampak vaksinasi anti-virus corona. Kekuatan pertumbuhan ekonomi semakin terasa jika dibandingkan dengan kondisi lockdown tahun lalu," sebut Richard Curtin, Kepala Ekonom Survei Konsumen Universitas Michigan, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

Halaman Selanjutnya --> Hati-hati Inflasi!

Ketika ekonomi pulih, maka permintaan akan tumbuh. Saat permintaan tumbuh, laju inflasi bakal terakselerasi.

Oleh karena itu, pelaku pasar mulai berani bertaruh bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan lebih cepat untuk meredam inflasi. Mengutip CME FedWatch, peluang kenaikan Federal Funds Rate pada akhir tahun ini sudah berada di kisaran dua digit. Artinya, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan pada akhir 2021 semakin tinggi, tidak perlu menunggu sampai 2023.

fedSumber: CME FedWatch

Saat suku bunga acuan naik, maka yield akan ikut terungkit. Jadi, kenaikan suku bunga acuan di AS akan ikut mengerek imbal hasil US Treasury Bonds.

Aset tersebut akan semakin menarik sehingga menjadi buruan investor. Ketika itu terjadi, niscaya keperkasaan dolar AS akan sulit dibendung.

Untuk menstabilkan rupiah, sulit berharap akan datangnya pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa. Sebab, impor Indonesia sudah merangkak naik seiring pemulihan ekonomi domestik. Transaksi berjalan yang sempat surplus pada dua kuartal terakhir 2020 sepertinya akan kembali defisit tahun ini.

Nasib rupiah sepertinya akan sangat tergantung kepada arus modal di pasar keuangan. Sulit berharap pasokan valas bisa stabil dari pos ini, karena sifat alami hot money adalah datang dan pergi sesuka hati.

Oleh karena itu, rasanya fluktuasi rupiah masih akan terjadi. Seperti yang disebut Rao dari DBS, ini akan membuat investor kurang nyaman. Jadi keputusan S&P untuk menurunkan outlook Indonesia karena risiko nilai tukar memang ada justifikasinya.

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular