²©²ÊÍøÕ¾

Analisis

'Perang' Telkom-Saratoga-Djarum-Northstar di Bisnis Menara

Aldo Fernando, ²©²ÊÍøÕ¾
28 October 2021 06:50
Dok Mitratel

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Kedatangan 'anak baru' yang disokong Grup Telkom, PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel), di bursa berpotensi bakal semakin meramaikan persaingan bisnis emiten menara telekomunikasi di Tanah Air.

Mitratel dijadwalkan akan melantai di bursa pada 22 November mendatang dan menargetkan perolehan dana dari masa penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) ini hingga Rp 24,90 triliun.

Apabila terealisasi dengan harga maksimal Rp 975 dari range Rp 775-Rp 975/saham, maka ini akan menjadi yang terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI), mengalahkan PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) Rp 22 triliun di 6 Agustus silam.

Sebelumnya, beberapa emiten yang disokong konglomerasi raksasa sudah 'manggung' lebih dahulu di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Sebut saja, ada PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) yang dimiliki Grup Saratoga, PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) milik Grup Djarum.

Kemudian, ada PT Inti Bangun Sejahtera Tbk (IBST) milik Grup Sinar Mas dan PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk (CENT) yang sebagian sahamnya dimiliki Grup Northstar. Tidak ketinggalan, ada PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR) yang lebih dari 90% sahamnya baru saja dicaplok oleh TOWR.

Lantas, bagaimana peta persaingan emiten-emiten di atas?

Di bawah ini Tim Riset ²©²ÊÍøÕ¾ akan membahas secara ringkas kekuatan masing-masing emiten tersebut.

Sebagai gambaran, perusahaan menara telekomunikasi berperan sebagai penyedia infrastruktur bagi operator jaringan seluler (mobile network operators/MNO), seperti Telkomsel, Indosat, XL Axiata, dan lain sebagainya.

Mari kita bahas satu per satu.

Mitratel

Mitratel mulai masuk ke bisnis menara telekomunikasi sejak tahun 2008. Menurut penjelasan di website perusahaan, semua operator seluler Indonesia telah menjadi penyewa (tenant) dengan menempatkan perangkat BTS-nya di menara Mitratel.

Dalam prospektus IPO perusahaan, jumlah menara telekomunikasi Mitratel per semester I 2021 sebanyak 23.232 menara. Adapun secara pro forma jumlah total menara Mitratel 28.030, setelah akuisisi 4.000 menara telekomunikasi dari Telkomsel dan 798 Menara telekomunikasi dari Telkom selesai pada Q3 2021.

Menurut data dari prospektus IPO Mitratel, jumlah menara tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan para pesaing terdekatnya, yakni PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo)--anak usaha TOWR--sebesar 21.575 menara dan TBIG sebanyak 19.709 menara.

Khusus Protelindo, jumlah tersebut belum mempertimbangkan penggabungan jumlah menara Protelindo dengan milik SUPR, yakni sebanyak 6.410 menara, yang baru saja diakuisisi.

Kemudian, rasio penyewaan (tenancy ratio) setelah pro forma sebesar 1,50 kali. Rasio penyewaan Mitratel, mengacu pada data prospektus IPO Mitratel, masih tergolong kecil dibandingkan dengan emiten lainnya.

Nantinya, manajemen menjelaskan dalam prospektus, perseroan berupaya mencapai tenancy ratio sekitar 1,9 kali dalam jangka menengah.

Secara sederhana, tenancy ratio adalah jumlah total penyewaan yang dimiliki sebuah perusahaan menara telekomunikasi atau MNO di menaranya dibagi dengan jumlah total menara.

Hingga 30 Juni 2021 lalu, perusahaan membukukan laba tahun berjalan senilai Rp 700,7 miliar. Nilai ini meningkat signifikan dari laba di periode yang sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 153,7 miliar atau terjadi pertumbuhan 355,88% secara tahunan (year on year/YoY).

Namun, laba bersih tengah tahun ini Mitratel tercatat lebih kecil 58% dari laba bersih TOWR, tetapi sedikit lebih besar dari TBIG.

Sedangkan dari pos pendapatan di periode yang sama tercatat pendapatan perusahaan senilai Rp 3,22 triliun, naik dari Rp 2,90 triliun akhir Juni 2020 lalu atau tumbuh 10,94% YoY.

Pendapatan paruh pertama Mitratel tahun ini terhitung masih lebih kecil dari TOWR dan lebih besar dari emiten milik TBIG.

Prospektus IPO Mitratel, 26 Oktober 2021Foto: Prospektus IPO Mitratel, 26 Oktober 2021
Prospektus IPO Mitratel, 26 Oktober 2021

Kemudian, tercatat nilai aset perusahaan mencapai Rp 23,25 triliun, terdiri dari aset lancar sebesar Rp 3,61 triliun dan aset tidak lancar senilai Rp 26,64 triliun.

Menurut catatan Tim Riset ²©²ÊÍøÕ¾ sebelumnya, aset Mitratel sedikit lebih kecil dari nilai aset TOWR (Rp 34,65 triliun) dan TBIG (Rp 41,83 triliun) per semester I 2021.

Perusahaan memiliki nilai liabilitas sebesar Rp 18,57 triliun, dengan liabilitas jangka pendek Rp 7,11 triliun dan jangka panjang senilai Rp 11,43 triliun.

Nilai ekuitas perusahaan anak usaha Telkom ini mencapai Rp 13,68 triliun.

NEXT: Raksasa Pesaing Mitratel dari Grup Djarum & Saratoga

TOWR & SUPR

Menurut situs perusahaan, Sarana Menara atau TOWR dari Grup Djarum didirikan pada tahun 2008 di Kudus, Jawa Tengah.

Fokus utama bisnis TOWR adalah berinvestasi pada perusahaan-perusahaan yang bergerak di bisnis menara telekomunikasi untuk disewakan kepada perusahaan komunikasi nirkabel.

Sejak tahun 2008, investasi utama TOWR adalah kepemilikan 99,99% saham di Protelindo. Kegiatan usaha TOWR sebagian besar dijalankan oleh Protelindo. Dengan demikian, mengacu pada penjelasan di website TOWR, penjelasan bisnis TOWR akan difokuskan pada aset-aset dan kegiatan operasional yang dilakukan oleh Protelindo.

Protelindo sendiri didirikan pada 2003. Berdasarkan penjelasan di website TOWR, sampai dengan 30 Juni 2021, Protelindo telah memiliki dan mengoperasikan sekitar 21.575 lokasi menara telekomunikasi dengan lebih dari 40,158 penyewa di Indonesia, terutama di area Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Sementara, SUPR, yang baru saja diakuisisi TOWR lewat Protelindo memiliki 6.410 lokasi menara per akhir Juni 2021. Apabila digabungkan, TOWR akan memiliki 27.985 lokasi menara di Tanah Air.

Adapun tenancy ratio Protelindo hingga semester I 2021 mencapai 1,86 kali, berada peringkat di bawah ketiga, setelah TBIG dengan tenancy ratio 1,89 kali dan SUPR 1,90 kali.

Mengenai kinerja keuangan, semester I 2021 laba bersih TOWR naik 29,86% secara tahunan menjadi Rp 1,69 triliun. Penjualan dan pendapatan usaha TOWR pun meningkat 7,78% secara yoy menjadi Rp 3,987 triliun pada 30 Juni 2021.

TBIG

Tower Bersama atau TBIG dari Grup Saratoga didirikan pada tahun 2004 dan sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia sejak tanggal 26 Oktober 2010. TBIG memiliki 3 lini bisnis utama, yakni menara telekomunikasi, distributed antenna system (DAS), dan layanan infrastruktur telekomunikasi.

Menurut rilis pers perusahaan, pada 3 September 2021, TBIG memiliki 37.232 penyewaan dan 19.709 sites telekomunikasi per 30 Juni 2021. Sites telekomunikasi milik TBIG terdiri dari 19.598 menara telekomunikasi dan 111 jaringan DAS.

Jumlah menara telekomunikasi tersebut telah memasukkan 3.000 menara yang dibeli TBIG dari IBST senilai Rp 3,99 triliun pada awal April 2021.

Dengan angka total penyewaan pada menara telekomunikasi sebanyak 37.121, maka rasio kolokasi/penyewaan (tenancy ratio) perseroan menjadi 1,89 kali. Angka tenancy ratio ini berkurang setelah penambahan menara IBST.

Lebih lanjut, di enam bulan pertama 2021, TBIG telah menambahkan 3.465 sites telekomunikasi dan 2.180 kolokasi ke dalam portofolio perusahaan.

Mengenai rapor keuangan, TBIG membukukan perolehan laba bersih y sebesar Rp 663,26 miliar pada semester pertama tahun ini.

Kenaikan ini terutama ditopang oleh kenaikan pendapatan dari penyewa pihak ketiga.

Perolehan laba bersih tersebut meningkat 29,92% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya Rp 510,48 miliar.

Berdasarkan publikasi laporan keuangan perusahaan, pada semester pertama tahun ini, TBIG mencatatkan kenaikan pendapatan dan penjualan sebesar 16% menjadi Rp 2,97 triliun dari sebelumnya Rp 2,57 triliun.

NEXT: Masih Ada Emiten Grup Northstar & Sinar Mas

CENT

CENT atau Centratama Telekomunikasi adalah perusahaan yang didirikan pada 1987 dengan fokus bisnis sebagai penyedia infrastruktur telekomunikasi independen yang menyediakan layanan terintegrasi untuk menara dan in-building DAS.

Menurut materi paparan publik (public expose) per Juni 2021, sewa menara mendominasi porsi lini bisnis usaha CENT, yakni sebesar 66%. Sementara, swa in-building DAS sebesar 30% dan internet % lainnya 4%.

Berdasarkan materi public expose tersebut, pada bulan Maret 2021, perseroan mengelola 3.848 menara dengan rasio tenansi 1,59 kali dan 864 site in-building DAS dengan rasio tenansi 1,79 kali (berdasarkan jumlah antenna).

Adapun, berdasarkan data dalam prospektus IPO Mitratel, dengan menggabungkan 4.247 menara milik Edge Point, total menara CENT mencapai 8.095 menara per semester I 2021 dengan tenancy ratio 1,59 kali.

Asal tahu saja, pada pertengahan tahun ini, CENT diakuisisi oleh perusahaan asal Singapura EP ID Holdings Pte. Ltd alias Edge Point.

Pada awal Juli lalu resmi menjadi pengendali baru CENT setelah menambah kepemilikan saham menjadi 76,80% dengan nilai transaksi akuisisi saham adalah senilai Rp 2,04 triliun. Adapun Grup Northstar, melalui Clover Universal Enterprise Ltd, masih menggenggam 14,95% saham CENT per akhir September 2021.

Nah, sebelumnya Edge Point diperkirakan telah menyelesaikan akuisisi 4.247 menara telekomunikasi dari PT Indosat Tbk (ISAT). Transaksi pembelian ini dilakukan lewat anak usaha Edge Point PT EPID Menara Asset Co senilai US$ 750 juta atau Rp 10,28 triliun berdasarkan kurs transaksi jual beli yang disepakati.

Sepanjang semester I 2021, CENT mengalami rugi bersih Rp 238,81 miliar, lebih besar dibandingkan rugi bersih periode yang sama tahun sebelumnya Rp 21,81 miliar. Kendati mencatatkan rugi bersih, pendapatan usaha CENT naik 16,01% secara tahunan menjadi Rp 590,05 miliar per 30 Juni 2021.

IBST

Menurut keterangan di website perusahaan, IBST atau Inti Bangun Sejahtera dari Grup Sinarmas didirikan pada tahun 2006. Awalnya, perusahaan didirikan dengan kegiatan usaha utama di bidang jasa penguatan sinyal dalam gedung (In-building service provider).

Kemudian, IBST berekspansi ke bisnis menara. hingga saat ini, IBST telah memiliki menara built to suit yang tersebar di wilayah-wilayah strategis dan potensial, yang sebagian besar menara berlokasi di wilayah Jawa dan Sumatera.

Pada Maret 2012, IBST melakukan pelepasan atas aset yang berhubungan dengan kegiatan usaha jasa penguat sinyal, seiring dengan fokus perusahaan menjadi perusahaan penyedia menara telekomunikasi dan jaringan infrastruktur di Indonesia.

IBST melantai di bursa pada 31 Agustus 2012.

Berdasarkan materi public expose tahunan, pada 29 Juni 2021, jumlah menara IBST mencapai 5.768 unit dengan 9.631 penyewa pada 2020. Adapun rasio kolokasi IBST mencapai 1,67 kali pada tahun lalu.

Namun, pada akhir Maret 2021 IBST menjual 3.000 menara perusahaan kepada anak usaha PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG).

Dengan demikian, berdasarkan jawaban IBST dalam public expose tahunan, jumlah menara IBST pasca-transaksi per April 2021 menjadi 2.638 menara dan 4.791 penyewa atau rasio penyewaan 1,82 kali.

Lebih lanjut, manajemen IBST menjelaskan, sepanjang 2021, pertumbuhan menara perusahaan diperkirakan akan bertambah 800 unit dan jaringan serat optik ditargetkan naik menjadi 18.000 kilometer.

Mengenai kinerja keuangan, IBST mencatatkan penurunan laba bersih 21,35% secara tahunan menjadi Rp 72,49 miliar pada semester I 2021. Pendapatan usaha IBST juga tercatat merosot 9,72% secara yoy menjadi Rp 502,21 miliar per 30 Juni tahun ini.

Melihat peta kekuatan sekilas di atas, kita bisa melihat gambaran cukup ketatnya persaingan bisnis menara telekomunikasi di Indonesia, yang prospektif di tengah semakin ramainya ekonomi digital RI dalam beberapa tahun terakhir.

Mitratel sendiri didukung oleh Grup Telkom, yang merupakan raja telekomunikasi di Indonesia, dan juga Telkomsel yang jaringannya sangat luas hingga ke pelosok Tanah Air.

Sementara, TOWR--lewat Protelindo--disokong konglomerasi raksasa Grup Djarum, yang memiliki gurita bisnis yang menjulur ke banyak lini.

Tidak hanya itu, Mitratel dan TOWR juga punya pesaing yang 'bukan kaleng-kaleng' lainnya. TBIG ditopang oleh private equity global, termasuk Saratoga, sementara CENT dimiliki Edge Point dan Grup Northstar. IBST juga dikuasai raksasa properti dan energi Grup Sinar Mas.

Mari, kita tunggu perkembangan persaingan di bisnis ini ke depannya.

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular