Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Climate Action Tracker (CAT) secara keseluruhan memberikan peringkat Highly Insufficient (sangat tidak cukup) terhadap upaya pemerintah Indonesia mengatasi krisis perubahan iklim.
CAT adalah konsorsium riset independen yang melaksanakan penelitian dan pemantauan terhadap langkah yang diambil berbagai negara terkait upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.
Peringkat Highly Insufficient yang didapatkan Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan dan komitmen iklim Indonesia mengarah pada peningkatan, bukannya penurunan, emisi dan tidak sejalan dengan komitmen Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu global maksimal 1,5°C.
Meski demikian peringkat Indonesia ternyata masih di atas Singapura yang diberi peringkat Critically Insufficient (level paling bawah).
 Foto: Peringkat Perubahan Iklim/https://climateactiontracker.org/ Peringkat Perubahan Iklim/https://climateactiontracker.org/ |
Selain itu negara-negara lain yang memperoleh rating terendah tersebut adalah Iran, Rusia, Saudi Arabia, Turki dan Thailand.
 Foto: Climate Action Tacker Peringkat iklim berbagai negara (sumber: Climate Action Tacker) |
Dalam laporan yang diperbaharui 15 September 2021 tersebut, CAT menilai komitmen Indonesia (Nationally Determined Contribution/NDC) yang berjanji mengurangi 29% total emisi per tahun 2030, dan siap mengurangi hingga 41% dengan syarat mendapat bantuan dan kooperasi internasional masih jauh dari kata cukup.
Menurut analisis CAT, tercapainya target kebijakan dan tindakan iklim yang diterapkan di Indonesia sejauh ini dikarenakan rendahnya standar NDC yang ditetapkan pemerintah.
CAT juga mengatakan jika semua negara mengikuti pendekatan Indonesia, pemanasan global akan mencapai lebih dari 2°C dan hingga 3°C.
Konsorsium riset tersebut juga menyebutkan bahwa pemerintah telah mengalokasikan sekitar Rp 720 triliun untuk mendanai pemulihan nasional dari Covid-19.
Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) memberikan peluang untuk meningkatkan investasi dalam perkembangan bisnis rendah karbon, tetapi juga menegaskan bahwa rencana pemerintah saat ini belum memanfaatkan peluang tersebut.
CAT juga menambahkan bahwa kebijakan untuk mendukung pembangunan rendah karbon di Indonesia memerlukan penyesuaian untuk merealisasikan potensi mitigasi secara penuh.
Lembaga tersebut juga menuding bahwa iklim investasi di Indonesia masih mendukung pembangkit listrik berbahan bakar fosil skala besar yang membatasi perluasan energi terbarukan secara cepat dan berskala besar.
 Foto: Climate Action Tacker Peringkat iklim Indonesia (sumber: Climate Action Tacker) |
Sebelumnya pemerintah melalui Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan bahwa perdagangan karbon (carbon trading) dan pajak karbon (carbon tax) akan diterapkan mulai 1 April 2022.
Dalam jumpa pers Kamis (21/10) lalu Rida mengatakan bahwa pemerintah akan mengenakan pajak karbon sebesar Rp 30 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Pengenaan pajak tersebut dilakukan setelah perusahaan telah mencapai batasan emisi (carbon cap) yang ditetapkan serta kuota emisi tambahan yang diperoleh dari perdagangan karbon juga masih tidak mencukupi.
Sementara itu, perdagangan karbon sebetulnya wujud komitmen dunia dalam menangani pemanasan global.
Secara definisi, ICDX, memberi pengertian bahwa perdagangan karbon atau carbon trading merupakan kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), di mana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).
NEXT: Bagaimana Komitmen Jokowi?
Terkait dengan upaya perubahan iklim ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun punya rencana. Jokowi memang menggelar kunjungan kerja ke luar negeri meliputi tiga negara Italia, Inggris Raya, dan Uni Emirat Arab (UEA).
Sebanyak dua kunjungan pertama adalah untuk partisipasi pada KTT G-20 di Roma Italia pada 30 Oktober - 31 Oktober, sementara itu Jokowi juga akan menghadiri KTT pemimpin dunia UN Climate Change Conference of the Parties (COP 26) atau konferensi perubahan iklim di Glasgow Skotlandia pada 1 November - 2 November 2021.
Selain Jokowi, konferensi ini juga akan dihadiri oleh berbagai pemimpin dunia lain seperti Presiden AS Joe Biden, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri (PM) Kanada Justin Trudeau, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan PM Australia Scott Morrison.
Hadirnya Jokowi dalam konferensi COP 26 tersebut dapat memberikan sinyal positif terhadap investasi rendah karbon di Indonesia, apalagi jika pemerintah RI menaikkan target yang sebenarnya baru saja direvisi tahun 2021 ini, tapi oleh berbagai pihak dinilai masih kurang, termasuk oleh lembaga think-tank bidang energi dan lingkungan dalam negeri.
Dalam siaran pers yang terbit di laman resminya akhir Juli lalu, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebutkan bahwa target penurunan emisi dalam komitmen pembaruan (Updated NDC) Indonesia masih tidak merefleksikan urgensi akan pentingnya menghindari krisis iklim.
Investor global juga dengan seksama menanti keputusan dan kebijakan baru apa yang diperoleh pemimpin global dalam konferensi tersebut, mengingat terdapat sektor bisnis yang dapat terpengaruh langsung seperti energi atau transportasi, khususnya kendaraan listrik.
Kesadaran lingkungan bersama dengan kesadaran sosial dan tata kelola yang baik juga menjadi acuan non-keuangan penting yang sering diperhatikan oleh investor, khususnya investor global besar yang sudah menyatakan dukungannya dalam membantu upaya global memerangi perubahan iklim.
Secara global, saat ini pemahaman lingkungan, sosial dan tata kelola yang jauh lebih baik juga membuat investor semakin menerapkan faktor non-keuangan tersebut sebagai bagian dari proses analisis mereka untuk mengidentifikasi risiko material dan peluang pertumbuhan.
Salah satu investasi ramah lingkungan yang paling dikenal adalah ESG (environmental, social and governance) di mana perusahaan menjalankan bisnis yang lebih berkelanjutan.
Lebih dari seperlima perusahaan terbesar di dunia diketahui telah membuat beberapa bentuk komitmen untuk mencapai emisi nol bersih dan investor kian mempertajam fokus mereka pada dampak sosial dari perusahaan yang mereka 'miliki'.
Beberapa perusahaan yang telah berjanji untuk mencapai emisi nol bersih termasuk Microsoft, Apple dan Ikea pada tahun 2030. Sedangkan perusahaan lain seperti HSBC, Shell dan BP menargetkan tahun 2050.
Metrik ESG memang tidak menjadi bagian dari pelaporan keuangan wajib, meskipun semakin banyak perusahaan yang mengikuti arus ini dan mengungkapkannya dalam laporan tahunan mereka atau dalam laporan keberlanjutan yang berdiri sendiri.
Investasi ESG semakin populer dalam beberapa tahun terakhir dan dikenal juga dalam berbagai istilah seperti investasi berkelanjutan (sustainable investing), investasi yang bertanggung jawab secara sosial (socially responsible investing), dan investasi berdampak (impact investing).
Pasar Modal
Di pasar modal Indonesia, akhir tahun lalu tahun lalu, Bursa Efek Indonesia (BEI) juga sudah resmi meluncurkan indeks baru IDX ESG (Environmental, Social, Governance) Leaders yang diharapkan bisa memacu perbaikan praktik terkait lingkungan, sosial dan tata kelola emiten dalam penerapan investasi berkelanjutan di Indonesia dengan menetapkan 30 saham yang memiliki penilaian ESG yang baik.
Beberapa konstituen besar indeks ini termasuk PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), PT Unilever Indonesia tbk (UNVR), PT Astra International Tbk (ASII), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR).
Porsi terbesar dicatatkan oleh sektor keuangan sebesar 29,1% dan diikuti oleh sektor infrastruktur sejumlah 25,1%.
Selain indeks yang bertambah secara signifikan, jumlah uang yang digelontorkan dalam investasi ESG juga meningkat drastis.
Di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2016 terdapat US$ 8,1 triliun dalam aset ESG yang dikelola secara profesional berdasarkan data dari The Forum for Sustainable and Responsible Investment.
Pada tahun 2020 angka tersebut melonjak menjadi US$ 17,1 triliun yang berati tumbuh lebih dari 100% dalam kurun waktu 4 tahun saja.
Terkait kinerja indeks ESG terhadap indeks tradisional, berdasarkan data dan kajian dari Morgan Stanley Capital Internasional (MSCI) dan juga laporan BEI, indeks Indonesia ESG Leader memiliki performa yang nyaris serupa dengan indeks tradisional, dengan gross return yang sedikit lebih baik.
Jadi, apakah ini mempertegas bahwa ESG jadi kriteria bagi investor untuk masuk ke RI?
Sepertinya iya....
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾Â INDONESIA