²©²ÊÍøÕ¾

Tenang! Suku Bunga The Fed Belum Tentu Naik 75 Bp Lagi

Putu Agus Pransuamitra, ²©²ÊÍøÕ¾
23 June 2022 10:45
Federal Reserve Chairman Jerome Powell testifies during a House Financial Services Committee hearing on
Foto: Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) membuat pasar finansial global gonjang-ganjing sejak pekan lalu setelah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bp) menjadi 1,5% - 1,75%.

"Jelas kenaikan 75 basis poin hari ini merupakan salah satu yang terbesar dan tidak biasa, saya tidak melihat langkah seperti ini adalah sesuatu yang biasa," kata Powell sebagaimana dilansir ²©²ÊÍøÕ¾ International Kamis (16/6/2022).

Kenaikan tersebut merupakan yang terbesar sejak 1994, dan tidak berhenti sampai di sana. Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan akan terus menaikkan suku bunga guna menurunkan inflasi.

Saat pengumuman kebijakan moneter Kamis pekan lalu, Powell menyatakan suku bunga di bulan Juli akan naik antara 50 bp sampai 75 bp.

Kenaikan suku bunga yang agresif tersebut kembali ditegaskan Powell saat memberikan testimoninya di hadapan Kongres AS. Tetapi, ia juga menyatakan kenaikan suku bunga selanjutnya akan tergantung data ekonomi terbaru, khususnya inflasi serta outlook perekonomian.

Artinya, jika inflasi menunjukkan tanda-tanda melandai, dan outlook perekonomian memburuk, The Fed kemungkinan tidak akan menaikkan suku bunga sebesar 75 bp lagi.

"Dalam beberapa bulan ke depan kami akan melihat bukti inflasi menurun, konsisten dengan laju penurunan ke 2%. Kami melihat berlanjutnya kenaikan suku bunga tepat untuk dilakukan, besarnya kenaikan akan tergantung dari data selanjutnya dan perkembangan outlook perekonomian," kata Powell di hadapan Kongres AS, Rabu (22/6/2022).

Di semester II-2022, The Fed masih akan mengadakan rapat kebijakan moneter 4 kali lagi, yakni di Juli, September, November dan Desember.

Di akhir tahun ini, The Fed memproyeksikan suku bunga berada di kisaran 3,25% - 3,5%, artinya akan ada kenaikan 175 bp lagi.

Inflasi di Amerika Serikat memang terus menanjak. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Mei melesat 8,6% year-on-year (yoy), tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir.

Tetapi, inflasi CPI inti yang tidak memasukkan item makanan dan energi justru mengalami penurunan 2 bulan beruntun. Di bulan Mei tercatat tumbuh 6% (yoy), turun dari bulan sebelumnya 6,2% (yoy) dan dari Maret sebesar 6,5% (yoy).

Sementara itu indikator inflasi yang dijadikan acuan The Fed, personal consumption expenditure (PCE) juga menunjukkan penurunan. Inflasi PCE April tercatat tumbuh 6,3% (yoy) dari bulan sebelumnya 6,6%.

Inflasi PCE inti sudah turun 2 bulan beruntun, berada di 4,9% (yoy).

Inflasi inti PCE yang terus menurun menjadi indikasi demand masyarakat yang merosot, sehingga bisa menjadi pertimbangan The Fed untuk tidak menaikkan suku bunga sebesar 75 bp lagi. Data inflasi PCE akan dirilis pada Kamis pekan depan.

Di hadapan Kongres AS, Powell juga menyatakan kenaikan suku bunga tidak bisa memberikan dampak besar dalam menurunkan harga energi.

Tingginya harga energi memang sangat tergantung dari harga minyak mentah dunia, gas alam, juga batu bara. Jika harga komoditas tersebut tidak menurun, maka harga energi tetap akan tinggi, penurunan harga, meski tidak besar bisa terjadi ketika demand dari masyarakat menurun.

Sejauh ini, Powell masih optimistis dengan kondisi perekonomian AS, pasar tenaga kerja ketat dan demand masih tinggi. Meski demikian, ia juga menyatakan resesi mungkin akan terjadi.

"Itu (resesi) mungkin terjadi. Itu bukan hasil yang kami inginkan, tetapi kemungkinan itu pasti, dan terus terang peristiwa yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir di seluruh dunia membuat kami lebih sulit mencapai apa yang kami inginkan, yakni inflasi 2% dengan pasar tenaga kerja yang tetap kuat," kata Powell.

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾Â INDONESIA 


(pap/pap) Next Article Bank Sentral Sekelas The Fed Juga Bisa 'Mencla-mencle'!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular