
Bos SKK Migas Bongkar Alasan Belum Setujui Proyek Gas Raksasa

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) akhirnya mengungkapkan kenapa hingga saat ini pemerintah belum menyetujui rencana pengembangan (Plan of Development/ POD) Blok Sakakemang, Sumatera Selatan yang dioperasikan Repsol.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan belum disetujuinya POD Blok Sakakemang hingga saat ini karena masih belum tercapainya kesepakatan dalam penentuan harga jual gas.
Dari sisi pemerintah, lanjutnya, mengharapkan harga jual gas dari Blok Sakakemang ini mencapai sekitar US$ 5,4 per juta British thermal unit (MMBTU) karena mengacu pada Peraturan Menteri ESDMÂ No.8 tahun 2020 di mana harga jual gas pipa ke industri maksimal US$ 6 per MMBTU.
Sementara dari sisi Repsol menginginkan harga jual gas sebesar US$ 7 per MMBTU sesuai dengan hitungan keekonomian proyek. Bila harga gas yang ditetapkan di bawah US$ 7 per MMBTU, maka menurutnya ini akan mengganggu keekonomian dari proyek Blok Sakakemang ini.
"Kami sedang berdiskusi dengan kementerian ESDM, bahwa memang ada permasalahan dalam hitung-hitungan harga jual gas. Jadi, seperti yang disampaikan oleh Repsol bahwa mereka menargetkan harga jual gas US$ 7 per MMBTU, tetapi mengingat kebijakan harga jual gas pipa ke industri US$ 6 per MMBTU, maka saat ini masih diharapkan harga jual gas di US$ 5,4 per MMBTU," jelas Dwi saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI secara virtual pada Rabu (30/09/2020).
Untuk menemukan kesepakatan, menurutnya pihaknya bersama Kementerian ESDM dan juga Repsol terus melakukan diskusi. Salah satu opsi yang ditawarkan yaitu bagaimana agar investasi Repsol bisa menurun, sehingga bisa mengurangi risiko keekonomian proyek.
Bila diskusi berjalan lancar, maka pihaknya menargetkan kesepakatan dengan Repsol bisa terjadi di Oktober mendatang.
"Mudah-mudahan ini segera mungkin bisa kita selesaikan. Kami berharap bulan September-Oktober ini sudah ada kejelasan mengenai POD Tahap 1," ungkapnya.
Seperti diketahui, sudah beberapa bulan lamanya Repsol mengajukan proposal POD tahap 1 Blok Sakakemang ini. Dari total perkiraan cadangan sebesar 2 triliun kaki kubik (TCF), akan dikembangkan Tahap 1 terlebih dahulu dengan cadangan sekitar 0,5 TCF.
Blok Sakakemang yang dioperasikan Repsol Indonesia kini menjadi andalan untuk meningkatkan sumber pasokan gas Indonesia pada beberapa tahun mendatang. Sejak awal 2019 lalu pemerintah mengungkapkan pengharapan besarnya atas blok gas raksasa ini karena telah ditemukannya potensi cadangan gas hingga 2 TCF di blok ini. Ini merupakan cadangan gas terbesar yang pernah ada selama 18 tahun terakhir.
Sebelumnya, Stakeholder Relations Manager Repsol Indonesia Faisal Jindan menuturkan pihaknya masih menunggu persetujuan POD ini.
"Masih proses (POD) untuk persetujuan," ungkapnya.
Blok Sakakemang menemukan potensi cadangan sampai 2 TCF dari sumur Kaliberau Dalam 2X (KBD2X) di Blok Sakakemang, Sumatera Selatan. Saat ini Repsol tengah proses sertifikasi cadangan terbukti 1 TCF tersebut, untuk kemudian memasukkan rencana pengembangan. Pemerintah bahkan menargetkan agar Blok Sakakemang ini bisa mulai produksi pada 2021.
Percepatan produksi Blok Sakakemang juga disesuaikan dengan kesiapan konsumen dalam menyerap pasokan gas ini.
Repsol menemukan cadangan gas ini dari sumur Kaliberau Dalam 2X (KBD2X) dengan kedalaman 2.430 meter, yang ditajak pada 20 Agustus 2018. Nantinya gas produksi Blok Sakakemang akan diintegrasikan dengan fasilitas produksi di Blok Corridor. Wilayah Sakakemang memang berdekatan dengan wilayah Corridor.
Blok Sakakemang ini dioperasikan Repsol yang memiliki hak partisipasi 45% dan selebihnya dimiliki oleh Petronas 45% dan MOECO 10%. Pada 2015, Repsol SA mengakuisisi Talisman Energy Inc senilai US$ 8,3 miliar. Dengan demikian, blok minyak yang tadinya dikelola Talisman diambil alih oleh Repsol.
(wia) Next Article Lama Tak Terdengar, Apa Kabar Proyek Gas Raksasa Sakakemang?