²©²ÊÍøÕ¾

Waspada, Ancaman Deflasi di Depan Mata!

Tirta Citradi, ²©²ÊÍøÕ¾
09 February 2021 15:47
Inflasi Bulan Juni Kenaikan Pasca Lebaran
Foto: ²©²ÊÍøÕ¾/Muhammad Sabki

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Februari merupakan bulan yang singkat. Bank Indonesia (BI) dalam Survei Pemantauan Harga (SPH) memperkirakan inflasi bulan ini sangat rendah, nyaris datar.

Dalam SPH pekan pertama, BI memperkirakan inflasi Februari 2021 akan sebesar 0,01% secara bulanan (month-to-month/²Ñ³Ù²Ñ).ÌýDengan perkembangan tersebut, perkiraan secara tahun kalender sebesar 0,25% dan secara tahunan (year-on-year/YoY) 1,26%.

Jika ini terwujud, maka laju inflasi resmi melambat. Pada Januari 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi bulanan sebesar 0,26% MtM dan 1,55% YoY. Inflasi itu juga melambat dibandingkan Desember 2020 yang 0,45% MtM dan 1,68% YoY.

Komponen penyumbang deflasi adalah bahan-bahan pokok pangan yang memang memiliki andil yang besar. Penurunan harga telur ayam ras, daging ayam, bawang merah, tomat, air kemasan dan emas perhiasan akan menjadi komponen penyumbang deflasi.

Sementara itu komponen yang menyumbang inflasi adalah daging sapi, cabai merah dan cabai rawit. Sebelumnya harga daging ayam memang melambung tinggi, begitu juga dengan harga bawang merah.

Kenaikan harga bahan pokok memang mencerminkan adanya faktor kenaikan permintaan. Namun untuk kasus daging sapi dan cabai faktor pasokan dan distribusi lebih berpengaruh besar.

Harga daging sapi di pasaran diputuskan naik. Kenaikan harga sapi sempat diwarnai aksi protes oleh pedagang. Mereka mengeluh karena tidak bisa mendapat untung dari penjualan daging. Harga yang didapat oleh penjual di pasar dari rumah-rumah sapi potong sudah sangat tinggi.

Namun sejatinya harga sapi di level produsen dan distributor pun sudah naik tinggi. Indonesia banyak mengimpor sapi dari Australia, kenaikan harga sapi Australia menjadi pemicu naiknya harga daging sapi. Inilah fenomena yang disebut sebagai imported inflation.

Untuk komoditas cabai kenaikan harga juga lebih banyak diakibatkan oleh faktor pasokan. Curah hujan yang tinggi akibat fenomena La Nina hingga menyebabkan banjir di sejumlah wilayah turut membuat produksi dan distribusi cabai terganggu.

Saat ini rata-rata harga cabai secara nasional di pasar tradisional untuk semua jenisnya masih di atas Rp 50 ribu per kilogram. Harga cabai masih sangat pedas dan belum mau berangsur turun.

Apabila perlambatan laju inflasi terus terjadi bukan tidak mungkin yang akan hadir adalah deflasi, harga barang dan jasa turun bukannya naik. Inflasi yang terlalu tinggi maupun deflasi yang sangat rendah menunjukkan bahwa kondisi perekonomian sedang tidak baik-baik saja.

Inflasi yang tinggi mencerminkan ekonomi sedang overheat. Sebaliknya fenomena deflasi mengindikasikan bahwa ekonomi sedang lesu. Tahun lalu Indonesia tercatat mengalami deflasi dalam satu kuartal beruntun yaitu sejak Juli-September. Pada kuartal terakhir, Indonesia baru bisa lepas dari jerat deflasi.

Secara keseluruhan tingkat inflasi di Indonesia tahun lalu hanya sebesar 1,68% YoY atau di bawah sasaran BI yang mematok di angka 3% plus minus 1 poin persentase. Ekonomi Indonesia jatuh ke jurang resesi untuk pertama kalinya sejak krisis moneter tahun 1998 tahun lalu. Output perekonomian menyusut 2,07%.

Tahun ini prospek perekonomian Indonesia diperkirakan bakal lebih baik. Produk Domestik Bruto (PDB) tidak lagi berada di zona kontraksi ditopang oleh prospek pemulihan global, program vaksinasi Covid-19 secara masal dan kebijakan makroekonomi yang akomodatif.

Namun tampaknya luka yang ditorehkan oleh pandemi begitu dalam sehingga untuk bangkit ke masa sebelum krisis kesehatan terjadi adalah hal yang sulit dan penuh tantangan.

Inflasi masih diramal rendah. Bahkan ada kemungkinan kembali di bawah sasaran BI. Kalaupun tercapai kemungkinannya di batas bawah atau di kisaran 2%. Inflasi yang sesuai dengan sasaran target mengindikasikan bahwa ekonomi dalam keadaan sehat.

Pasokan uang mencukupi untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Uang tersebut juga mudah berpindah tangan dan mampu mendongkrak permintaan yang berakibat pada inflasi. Namun lagi-lagi ada kemungkinan Indonesia jatuh ke 'jurang' deflasi.

Halaman Selanjutnya --> Kenaikan Harga Komoditas Pangan Terjadi Secara Global

Untuk saat ini, inflasi masih terjadi akibat kenaikan harga bahan pangan yang termasuk kelompok volatile goods. Kenaikan berbagai harga pangan sebenarnya tidak hanya terjadi di dalam negeri saja, tetapi fenomena ini terjadi secara mengglobal. Harga pangan terus mengalami kenaikan dalam tujuh bulan terakhir secara beruntun. Hal ini tercermin dalam indeks harga pangan versi FAO.

Pada Januari lalu, indeks harga pangan dunia menyentuh level 113,3 atau naik 4,7% dibanding bulan sebelumnya dan menjadi posisi tertinggi sejak Juli tahun 2014. Kenaikan harga pangan dunia ditopang oleh menguatnya harga gula, minyak nabati dan biji-bijian.

Pemicunya pun sebenarnya sama dengan yang terjadi di Tanah Air. Faktor ketatnya pasokan menjadi biang kerok dari naiknya harga pangan global. Maklum saat pandemi harga berbagai komoditas termasuk pangan berguguran. 

Jatuhnya harga pangan dan adanya kebijakan pembatasan mobilitas publik membuat para petani atau pekerja di sektor agrikultur kurang bergairah karena tidak mendapatkan imbal hasil yang setara dengan usaha yang dilakukan.

Di saat yang sama kondisi cuaca ekstrem di akhir tahun terutama di wilayah Asia Tenggara membuat harga CPO terbang.

Namun dengan adanya pelonggaran pembatasan, stimulus fiskal dan moneter jumbo hingga kabar positif vaksin Covid-19 membuat sentimen commodity supercycle menjadi tema utama pengerek harga komoditas selain pemulihan permintaan yang sifatnya masih gradual.

Untuk melihat fenomena inflasi dengan kacamata yang lebih jeli, maka seluruh komponennya harus diperhatikan dan ditimbang. Apakah fenomena inflasi atau deflasi ini terjadi akibat dinamika permintaan dan penawaran atau ada hal yang lain.

Jika melihat tahun 2020, penyumbang inflasi yang tertinggi di Indonesia adalah inflasi makanan, minuman dan tembakau. Dari sisi inflasi berdasarkan harga, kenaikan harga tertinggi masih terjadi untuk komponen harga pangan yang masuk dalam komponen bergejolak. 

Makanan adalah kebutuhan pokok bagi setiap orang, sehingga kebutuhannya harus terpenuhi berbeda dengan mobil atau aksesoris serta rekreasi yang dapat ditunda. Meski sumbangsihnya paling besar mengukur kesehatan ekonomi dari satu pos ini saja tentu tidak relevan.

Apabila dilihat secara makro, beberapa komponen barang dan jasa masih mencatatkan deflasi seiring dengan rendahnya mobilitas publik. Sektor transportasi masih mencatatkan deflasi, begitu juga dengan komoditas energi. Sementara itu inflasi yang lain juga masih tercatat rendah.

Peningkatan pengangguran dan angka kemiskinan akibat Covid-19 membuat daya beli tergerus. Hal ini juga tercermin dari inflasi inti yang terus melambat. Pada Januari 2021, inflasi inti di Indonesia bahkan mencapai level terendah sejak 2010 di 1,56%.

Tren ini sudah terjadi sejak lima tahun terakhir, artinya permasalahan daya beli adalah fenomena yang bukan lagi akut, melainkan kronis. Inflasi untuk tahun ini kemungkinan membaik, tetapi bukan berarti ada perbaikan signifikan dari tingkat inflasi inti.

Lonjakan kasus Covid-19 masih menjadi ancaman terbesar bagi perekonomian. Apabila peningkatan kasus harian melebihi jumlah orang yang divaksinasi, maka masih ada kemungkinan masyarakat menengah ke atas tetap mengerem diri untuk belanja dan lebih memilih menabung.

Sementara itu adanya kenaikan cukai hasil tembakau serta kenaikan iuran BPJS kesehatan juga akan turut berkontribusi terhadap kenaikan inflasi. Namun sekali lagi, ini tidak mencerminkan adanya perbaikan daya beli. 

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular