²©²ÊÍøÕ¾

Internasional

Mobil BBM Mau 'Dibunuh' 2040, Yakin Bisa?

Robertus Andrianto, ²©²ÊÍøÕ¾
12 November 2021 11:20
Dealer New Cars Stock. Colorful Brand New Compact Vehicles For Sale Awaiting on the Dealer Parking Lot. Car Market Business Concept.
Foto: Freepik

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Akhir era kendaraan bahan bakar fosil ada di depan mata. Ini terjadi setelah sejumlah negara, kota, dan pabrikan mobil menandatangani kesepakatan dalam upaya menangani perubahan iklim dalam COP26.

Komitmen itu disepakati di Glasgow pada Rabu (10/11/2021). Ini untuk menghentikan kendaraan berbahan bakar fosil secara bertahap pada tahun 2040.

Tujuannya jelas, yaitu mendesak negara-negara memperkuat komitmen nasional mereka dan merancang serta menjalankan strategi untuk rencana bersih emisi (net zero emission).

Konferensi Tingkat Tinggi tersebut kali ini difokuskan pada sektor transportasi, yang bertanggung jawab atas sekitar seperempat emisi gas rumah kaca global, menurut Panel Pakar Perubahan Iklim Antar Pemerintah (IPCC).

Emisi sektor ini meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 1970, dengan sekitar 80% peningkatannya disebabkan oleh kendaraan jalan raya. Badan lingkungan PBB (UNEP) menghitung bahwa sektor transportasi dunia hampir seluruhnya bergantung pada bahan bakar fosil.

"Pesan untuk pengambil keputusan adalah kita perlu memastikan bahwa kita mulai normalisasi (iklim) pada tahun 2035, kita harus berhenti menjual mobil bensin dan diesel.Untuk bus, akan lebih awal, 2030, truk berat, dapat memberikan waktu, 2040," kata perwakilan inisiatif global Drive Electric Campaign, Monica Araya.

"Intinya adalah membiasakan diri dengan gagasan (perubahan iklim) sehingga kami dapat beralih ke opsi nol emisi di semua segmen.Ini bukan hanya untuk pasar maju di negara maju, tetapi juga untuk negara berkembang karena kita tahu polusi terburuk ada di sana."

Selain itu, kesetaraan teknologi antara negara maju dan berkembang juga dibahas dalam perjanjian ini. Tujuannya mengoptimalkan jalannya proyek menjaga kelestarian bumi ini. 

Akan tetapi, para aktivis lingkungan menganggap hal ini sebagai retorika pemimpin dunia. Setelah melihat negara besar seperti China, Amerika Serikat (AS), Jerman serta pabrikan mobil seperti Toyota, Volkswagen dan BMW tidak ambil bagian dalam kesepakatan ini.

"Apa yang sangat memprihatinkan hari ini adalah bahwa ekonomi utama seperti AS, Jerman, Cina, Jepang, dan produsen seperti VW, Toyota, dan Hyundai bahkan tidak dapat menandatangani deklarasi tentang kendaraan listrik yang menjanjikan kurang dari apa yang sebenarnya diperlukan untuk menjaga keamanan iklim," kata Direktur Eksekutif Greenpeace Jerman Martin Kaiser.

BMW berdalih bahwa ada ketidakpastian dalam permasalahan ini. Hal  itu membuat ragu.

"Ketidakpastian yang cukup besar tentang pengembangan infrastruktur global untuk mendukung peralihan penuh ke kendaraan tanpa emisi", mengutip The Guardian.

Sementara itu, Toyota mengatakan memiliki tekad yang sama untuk perubahan iklim. Walau, perusahaan nyatanya tak bergabung dengan komitmen COP26 terbaru.

"Meskipun kami menahan diri untuk tidak bergabung dengan pernyataan (COP26) itu, kami memiliki semangat dan tekad yang sama untuk mengatasi perubahan iklim dan tetap terbuka untuk terlibat dan bekerja dengan para pemangku kepentingan," ujar perusahaan.

China dan AS menempuh jalannya sendiri dengan melakukan kerja sama dalam pengurangan emisi. Negosiator iklim China Xie Zhenhua mengatakan bahwa tentang perubahan iklim "akan ada lebih banyak kesepakatan antara China dan AS daripada perbedaan".

China adalah penghasil karbon dioksida terbesar di dunia, diikuti oleh AS. Mengacu data BP Statistical Review, China menghasilkan 9,89 miliar ton emisi karbon dioksida pada tahun 2020. Kemudian diikuti oleh AS sebesar 4,46 miliar ton. Keduanya bertanggung jawab atas 44,47% total emisi di dunia.

China dan AS juga merupakan pasar mobil terbesar di dunia. Berdasarkan data Statista, China menempati urutan pertama dengan jumlah mobil baru yang tercatat sebesar 19,79 juta unit.

Sementara AS berada di urutan kedua dengan jumlah mobil baru tercatat 14,46 juta unit. Sehingga peran aktif kedua negara paling berpolusi di dunia tersebut dalam memerangi perubahan iklim sangat penting.

Pada September lalu, Presiden Xi mengumumkan bahwa China akan menargetkan netralitas karbon pada tahun 2060. Sementara AS menargetkan net-zero emission tahun 2050.

Jika melihat tren penjualan mobil listrik dunia saat ini, optimisme menyelimuti dalam eksekusi perjanjian COP26. Mengacu data EV-Volumes, pada semester pertama tahun 2021, penjualan kendaraan listrik dunia mencapai pertumbuhan 168% yoy dengan 2,65 juta unit terjual. Diharapkan pada akhir tahun ini penjualan kendaraan listrik dunia mencapai 6,4 juta unit, tumbuh 98% dibanding tahun 2020.

Penjualan kendaraan listrik diproyeksikan akan terjual 46,8 juta unit pada tahun 2030, menurut data International Energy Agent (IEA). Penjualan yang bertumbuh seiring dengan komitmen negara-negara di dunia yang ingin mengurangi emisi dalam upaya perbaikan iklim.

Investasi besar-besaran dalam hal infrastruktur dari hulu ke hilir jadi kunci. Selain itu tidak hanya untuk kendaraan pribadi namun juga untuk transportasi umum untuk mengangkut masa lebih banyak.

Sekelompok walikota dari seluruh dunia mengatakan pekan lalu bahwa investasi di transportasi umum perlu berlipat ganda jika kerusakan iklim ingin dihindari. "Tanpa revolusi transportasi umum, dunia akan ketinggalan bus dalam mengatasi perubahan iklim," kata Anies Baswedan, Gubernur Jakarta.

Pembangunan pengisian daya listrik di jalanan adalah infrastruktur yang harus dibangun sebagai konsekuensi dari kebijakan larangan kendaraan fosil. Otoritas Persaingan dan Pasar(CMA) memberi ilustrasi perbandingan 250.000 mobil listrik membutuhkan 25.000 stasiun pengisian.

Selain pengisian daya listrik umum diperbanyak, kapasitas baterai juga harus ditingkatkan untuk memperpanjang umur mobil di jalan. Mengacu data EV-Database, rata-rata kapasitas baterai kendaraan listrik dunia sebesar 59,7 kWh dan mampu menempuh jarak 360 km.

Untuk memperbesar daya baterai listrik perlu pasokan bahan baku seperti nikel, tembaga, dan kobalt yang saat ini belum dieksplorasi lebih banyak untuk kebutuhan kendaraan listrik.

Hambatan saat ini, Indonesia sebagai produsen dan pemilik cadangan terbesar nikel di dunia baru akan memulai membangun eksplorasi nikel untuk mobil listrik. Sehingga pasokan raw materials masih terbatas untuk pengembangan baterai kendaraan listrik saat ini.

Kedua masalah tersebut bersifat temporer dan akan teratasi seiring berkembangnya industri kendaraan listrik. Sehingga akselerasi kendaraan masa depan umat manusia akan dapat tercapai.

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾Â INDONESIA


(ras/sef) Next Article Tiba-Tiba Toyota Ubah Target Produksi Mobil Listrik, Kenapa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular