Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Produsen batu bara masih bisa tersenyum lega. Ini terjadi tatkala Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) menerbitkan draf kesepakatan ketiga hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim UN Climate Change Conference of the Parties (COP) ke 26, Sabtu (13/11/2021).
Meski menyerukan penghentian penggunaan bahan bakar fosil, konferensi di Glasgow berhasil membuat 197 negara menyepakati aturan baru tentang pembatasan emisi gas rumah kaca. Namun, permintaan India dan China untuk 'keringanan' produksi batu bara dikabulkan.
Duet India dan China berhasil merubah komitmen "menghapus" batu bara menjadi mengurangi "penggunaan" batu bara secara bertahap untuk energi. Artinya batu bara masih bisa digunakan, di mana negara-negara hanya wajib mengurangi tidak menghilangkannya selama-lamanya.
Hal ini membuat sejumlah negara kontra batu bara kecewa. Di antaranya utusan Kepulauan Marshall, AS, dan Swiss.
"Saya ingin membaca catatan kekecewaan mendalam kami dengan perubahan bahasa pada batubara, dari fase keluar, ke fase penurunan.Kami menerima perubahan ini, dengan sangat enggan," kata Tina Stege, utusan COP26 dari Kepulauan Marshall.
"Kami melakukannya hanya, karena ada elemen penting dari paket ini yang dibutuhkan masyarakat di negara saya, sebagai jalur kehidupan untuk masa depan mereka," pernyataan kekecewaan mendalam perwakilan Swiss.
COP26 adalah konferensi terkait iklim terbesar dan terpenting di dunia. KTT ini untuk mencapai kesepakatan langkah nyata dalam menahan kenaikan suhu global 1,5 derajat celcius (1,5C).
Halaman 2>>
India dan China bukan tanpa maksud berkompromi dengan penghapusan batu bara. Mereka berdalih butuh ruang dan waktu untuk mengimplementasikan gagasan tersebut.
Melihat kondisi China yang kini diterpa krisis listrik, akan berat untuk mengurangi batu bara yang masih menjadi tulang punggung energi Negeri Panda tersebut. Pemerintah China sedang giat menambah produksi untuk mengisi kekosongan pasokan batu bara nasional yang sangat dibutuhkan sekarang.
Belum lagi negeri itu kini menghadapi ancaman cuaca buruk di tengah musim dingin. Hal tersebut memaksa Beijing menyerukan penambahan kapasitas produksi batu bara guna memenuhi kebutuhan tersebut.
Kantor berita Xinhua melaporkan fakta bahwa negara itu memproduksi lebih banyak batu bara daripada sebelumnya dalam satu hari. Rata-rata produksi harian batu bara China mencapai sekitar 12 juta ton pada hari Rabu, naik 120.000 ton dari rekor harian sebelumnya.
Faktor ekonomi pun jadi alasan lain bagi kedua negara tersebut mengambal langkah berani pada injury time COP26 untuk melonggarkan komitmen penghentian batu bara. India sangat bergantung dengan batu bara dan menggunakan 70% energi fosil untuk produksi energi dalam negeri.
Bukan hanya itu, empat juta orang saat ini juga bekerja di industri tersebut. Meskipun menjadi ekonomi terbesar ke-6 dunia, negara itu masih dianggap sebagai negara berkembang dan tak mampu sepenuhnya melepaskan diri dari batu bara.
Sebenarnya, suara India dan China mendapat dukungan dari John Kerry, perwakilan dari Amerika Serikat (AS). AS mengatakan batu bara harus dikurangi secara bertahap.
"Bahkan setelah apa yang terjadi, batu bara tetap dicatat. Anda harus mengurangi batubara secara bertahap sebelum Anda dapat mengakhiri batubara," kata John Kerry, membela aksi India dan China tersebut.
Sementara itu, harga batu bara melesat sepanjang tahun 2021 menjadi harapan pemulihan ekonomi dari pukulan Covi-19 (Coronavirus Disease 2019) bagi negara berkembang yang mengandalkan komoditas emas hitam sebagai sumber pendapatan. Indonesia adalah contoh nyata negara yang diuntungkan dari kenaikan harga batu bara.
Realisasi penerimaan negara dari pajak sebesar Rp 850,06 triliun atau tumbuh 13,25% year-on-year (yoy). Secara sektoral, kenaikan tertinggi terjadi di sektor pertambangan. Penerimaan pajak dari sektor ini meningkat hingga 317,6% di akhir September 2021.
Realisasi penerimaan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 320,84 triliun atau tumbuh 22,53%, setara 107,59% dari taget. Pertumbuhan PNBP ditopang oleh sektor Nonmigas yang tumbuh 78,3%.
Indonesia merupakan negara pengekspor batu bara terbesar kedua yang menguasai 26,8% jumlah ekspor dunia pada tahun 2020, mengacu data BP Statistical Review.
Halaman 3>>
Batu bara masih jadi sumber energi yang berperan penting dalam jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan energi. Terlebih lagi pemulihan ekonomi dunia saat ini mendorong permintaan batu bara lebih tinggi dari sebelumnya.
Menurut data dari organisasi nirlaba AS Global Pemantau Energi (GEM), sebanyak hampir 200 pembangkit listrik batu bara sedang dibangun saat ini. Itu termasuk 95 di China dan 28 di India.
Akan tetapi, permintaan ini diyakini sejumlah lembaga akan terus terkikis dalam jangka panjang seiring pelaksanaan komitmen negara-negara dalam mencapai nol emisi (net-zero emission). Agensi Energi Internasional (IEA) memperkirakan permintaan batu bara akan turun 90% pada 2050 dalam skenario komitmen negara mencapai net-zero emission akan tercapai.
Peran batu bara untuk pembangkit listrik akan mencapai titik di bawah 1% pada tahun 2050. Saat ini di 2020, porsinya 35%.
Meski demikian, faktanya, transisi ke energi terbarukan dari bahan bakar fosil diperkirakan membutuhkan dana investasi mahal. Butuh US$ 800-US$ 820 miliar per tahun di tahun 2030-2050.
Angka tersebut naik hampir tiga kali lipat dari investasi EBY tahun 2020 sekitar US$ 280 miliar per tahun. Negara berkembang jadi yang terdampak dari proyek ini karena penghasilan dari komoditas dan juga keterbatasan dana untuk investasi di tengah ekonomi yang lesu.
Perjanjian yang disepakati di COP26 mengatur dukungan secara signifikan untuk negara berkembang, melebihi US$ 100 miliar per tahun yang berasal dari dompet negara maju hingga 2025.
Namun komitmen dukungan kepada negara berkembang tampaknya tidak akan mudah. AS, Jepang, Norwegia, Swedia, dan lainnya menilai dukungan US$100 miliar masih sulit dan kemungkinan tidak akan tercapai hingga 2022 atau 2023.