
Tolong Pak Jokowi, Harga Cabe Naik 2x Lipat!

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Kenaikan harga barang dan jasa jadi masalah baru setelah pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) mereda. Mulai dari Amerika Serikat (AS) hingga Indonesia pun merasakannya.
Inflasi di Negeri Paman sedang 'super hot'. Pada November 2021, terjadi inflasi 6,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy). Ini menjadi rekor tertinggi sejak 1982. Wow...
Saat pandemi sudah mulai melandai, warga AS kembali beraktivitas. Permintaan pun melonjak, kembali ke level sebelum pandemi.
Di sisi lain, dunia usaha belum bisa mengimbangi lesatan permintaan tersebut. Ditambah lagi ada masalah rantai pasok akibat krisis energi, keterbatasan tenaga kerja, kenaikan upah, dan sebagainya. Tidak ada jalan lain, harga barang dan jasa terpaksa naik.
"Tidak ada ruang yang cukup untuk menjelaskan hubungan inflasi dan pembukaan kembali aktivitas ekonomi selepas pandemi (reopening). Bahkan dirasakan pula oleh mereka yang berpendapatan rendah," tegas Will Compernolle, Ekonom Senior FHN Financials yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan tekanan inflasi akan menjadi fenomena global. Setelah bank sentral dan pemerintah mulai mengurangi stimulus, pasokan uang di perekonomian akan berkurang sehingga menyebabkan inflasi.
"Kita sekarang sedang dalam fase di mana negara-negara sudah tidak punya ruang lagi untuk mempertahankan kebijakan fiskal dan moneter longgar. Oleh karena itu, kita akan melihat tekanan inflasi terjadi di seluruh negara," kata Gita Gopinath, Kepala Ekonom IMF, seperti dikutip dari Reuters.