Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Australia diterpa krisis energi, ada yang mengatakan ini terburuk dalam 50 tahun terakhir. Status produsen utama batu bara dunia ternyata tidak bisa menjamin Negeri Kanguru lepas dari kelangkaan energi.
Menteri Energi Chris Bowen dan Pasar Energi Australia (AEMO) memperingatkan bahwa AustraliaÌýsedang menghadapi 'badai sempurna' dari pasokan energi yang terbatas dan kenaikan harga listrik.
"Suhu rendah, pemadaman PLTU, tekanan geopolitik, dan banjir di wilayah pantai timur. Itu kombinasi yang menciptakan krisis," kata Chris Bowen.
Apa yang terjadi di Australia?
Pertama, harga grosir listrik naik lima kali lipat lebih tinggi dari tahun 2021. Hal ini sebagianÌýbesar disebabkan oleh kenaikan harga batu bara dan gas di pasar global. Harga grosir sendiri berkontribusi terhadap 35% dari tagihan rumah tangga di Australia.
Regulator Energi Australia menaikkan harga listrik sebanyak 18% di South Australia, New South Wales, da Queensland. Harga listrik di Victoria juga naik 5%. Beberapa pengecer energi yang lebih kecil seperti ReAmped bahkan akan menaikkan tarif listrik hingga 2 kali lipat.
Kedua, kekurangan gas di pantai timur Australia karena lonjakan permintaan yang disebabkan oleh permintaan untuk pemanas saat musim dingin. Pada waktu yang sama, PLTU tidak beroperasi secara optimal dalam beberapa bulan terakhir. Sehingga permintaan gas sebagai alternatif energi dari batu bara berpotensi meningkat.
Regulator Energi Australia mengatakan bahwa harga listrik dan gas diperkirakan akan tetap tinggi setidaknya selama dua tahun.
 Sumber: theaustralian.com.au |
Bahan bakar fosil memang menyediakan sekitar 71% listrik bagi negara benua itu. Di mana batu bara mendominasi 51%. Namun, teteap saja Australia diterpa krisis.
Australia mengalami krisis energi yang merupakan gabungan dari masalah internal dan eksternal.ÌýTerdapat 30% pembangkit listrik tenaga batu bara telah berhenti beroperasi sejak April tahun ini.
Harga batu bara telah meningkat tajam karena krisis energi diperburuk oleh konsumen batu bara Rusia beralih pemasok sebagai sanksi untuk Rusia, salah satunya adalah Australia. Sehingga tidak cukup pasokan untuk memenuhi permintaan, yang telah menaikkan harga global.
Ini diperparah oleh gelombang kutub di pantai timur telah mempercepat kebutuhan listrik untuk memanaskan rumah.ÌýHal ini membuat generator tenaga gas jadi tumpuan.
Masalahnya mengoperasikan generator gas jauh labih mahal dari batu bara. Ditambah pasokan gas Australia lebih banyak diekspor dibanding untuk konsumsi domestik.
Kondisi ini diperparah oleh pengumuman berhentinya operasional pembangkit listrik Liddell AGL milik AGL energi. Perusahaan berdalih penghentian tersebut karena masalah teknis yakni kerusakan transformator generator.ÌýAGL Energi sendiri adalah salah satu penyedia listrik terbesar di Negeri Down Under.
Ditambah dengan Eraring Origin Energy di NSW yang juga berada di ambang penutupan operasi karena kesulitan mendapatkan batu bara untuk menghidupkan generator pembangkit listrik.
Origin adalah salah satu pembangkit listrik terbesar di Australia. Mereka mengatakan bahwa terjadi kesulitan dalam hal pengadaan batu bara untuk generator 2880 megawatt di tepi Danau Macquarie.
Ìý
Apa yang dilakukan Australia?
Menteri Energi Chris Bowen mengharapkan adanya kerja sama dengan otoritas negara bagian dan teritori untuk memastikan ada cukup listrik melalui pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas. Tujuannya untuk menekan harga yang tinggi dan pemadaman listrik.
Rencananya akan ada gelontoran dana investasi yang lebih besar untuk menjaga pembangkit listrik tenaga batu bara dan tenaga gas untuk tetap buka. Sementara itu dilakukan transisi energi ke EBT.
Tidak semua negara bagian Australia mengalami krisis listrik. Canberra lebih baik kondisinya karena penggunaan 100% green energy yang telah dibangun sejak 10 tahun lalu. Artinya tidak bergantung pada energi fosil.
Sejak 2012 Canberra banyak berinvestasi dalam energi terbarukan dan menyiapkan lahan luas untuk membangun tenaga surya dan angin.
Sementara di West Australia sudah 'menabung' gas untuk domestik sebesar 15% dari volume ekspornya. Sehingga dapat bertahan di tengah bencana krisis energi.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA