
Jokowi Pernah Pangkas Subsidi BBM, Indonesia Baik-baik Saja..

Ekonom Senior Faisal Basri mengungkapkan Indonesia telah menyalurkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sejak bergabung sebagai anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada tahun 1962.
Saat itu, subsidi diberikan untuk meredam inflasi, membantu rakyat miskin, dan melaksanakan pelayanan umum.
Sejak itu, Faisal mengungkapkan kebijakan tersebut dilakukan berdasarkan pandangan bahwa rakyat Indonesia perlu merasakan manfaat langsung atas kepemilikan sumber daya alam minyak bumi oleh negara.
Selain itu, lanjutnya, BBM merupakan kebutuhan dasar yang harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
"Dengan penetapan harga BBM lebih murah dari nilai keekonomiannya, BBM diharapkan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat berpendapatan rendah (miskin)," ungkap Faisal dalam blognya.
Alih-alih membantu masyarakat miskin, subsidi BBM sebenarnya menimbulkan banyak 'penyakit' bagi ekonomi Indonesia. Menurut Faisal, subsidi bahan bakar minyak menimbulkan efficiency cost karena mengaburkan sinyal harga.
"Penetapan harga lebih rendah dari opportunity cost menimbulkan distorsi pada konsumsi dan keputusan investasi," katanya.
Faisal pun mencatat sejumlah dampak yang muncul akibat subsidi. Pertama, subsidi menimbulkan konsumsi berlebihan. Konsumsi berlebih dapat menyebabkan peningkatan permintaan, yakni mengurangi ekspor dan menambah impor.
"Dengan demikian, subsidi dapat menekan akun lancar (current account) dalam neraca pembayaran, sehingga berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah," beber Faisal.
Kedua, Faisal mengungkapkan efek subsidi BBM menyebar ke berbagai sektor, khususnya sektor padat energi, memengaruhi biaya produksi dan harga relatif barang yang diproduksinya.
Perubahan harga relatif akan memengaruhi daya saing relatif tiap-tiap barang di pasar dunia. Selanjutnya, subsidi mengurangi kemampuan dan insentif investasi pada infrastruktur baru dan proses produksi.
Adapun, subsidi juga menyebabkan memburuknya situasi keuangan perusahaan energi milik negara dan mengakibatkan investasi berkurang.
"Sebagai contoh, karena harus mengelola program subsidi silang antar daerah dan konsumen, yang mengakibatkan kondisi keuangan Perusahaan Listrik Negara (PLN) terganggu," kata Faisal.
Menurutnya, kompensasi negara tidak selalu dapat menutupi kesenjangan antara biaya produksi dengan harga jual.
Alhasil, dia menilai PLN tidak dapat mendanai investasi baru, memperluas elektrifikasi di daerah pedesaan dan terkadang bahkan melakukan pemeliharaan standar. Efeknya adalah pengembangan kapasitas pembangkit berkurang dan sering terjadi pemadaman listrik.
Keempat adalah distorsi harga. Faisal menjelaskan distrosi harga dapat mengakibatkan kesalahan alokasi sumber daya dan pilihan investasi yang tidak efisien.
Dia menegaskan subsidi untuk jenis energi atau teknologi tertentu pasti akan merusak pengembangan dan komersialisasi sumber dan teknologi lain yang pada akhirnya mungkin menjadi lebih menarik secara ekonomi (dan juga lingkungan).
"Dengan demikian, subsidi dapat "mengunci" teknologi dengan mengesampingkan teknologi lain yang lebih menjanjikan."
Kelima, kata Faisal, distorsi harga energi mendorong substitusi input lain, baik modal dan tenaga kerja, dengan energi. Keenam, subsidi dapat menghambat persaingan usaha.
Faisal menjelaskan perusahaan energi milik negara, yang ditunjuk menjadi penyalur produk bersubsidi mendapatkan manfaat lebih dibandingkan produsen lain yang menjual produk non subsidi.
Terakhir, kebijakan subsidi mendorong korupsi dan penyelundupan produk bersubsidi ke negara tetangga atau ke sektor non-subsidi di mana harga jual lebih tinggi; menimbulkan biaya administrasi besar untuk pemantauan, mencegah dan menangani penyalahgunaan.
(mij/mij)