Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com
Cadangan devisa merupakan elemen penting perekonomian, khususnya bagi sistem perekonomian terbuka seperti yang diadopsi Indonesia. Utamanya, cadangan devisa dipakai untuk membiayai impor yang sebagian besar dilakukan dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS).
Selain untuk pembiayaan impor, cadangan devisa juga penting untuk menjaga nilai tukar, baik dalam sistem nilai tukar tetap (
fixed exchange rate system), mengambang teratur (
managed floating), maupun mengambang (
floating).
Sebelum krisis keuangan 1997-1999 melanda, Indonesia mengadopsi sistem nilai tukar mengambang teratur, di mana pergerakan Rupiah terhadap beberapa mata uang utama dunia, khususnya dolar AS, diatur oleh bank sentral.
Dibawah sistem nilai tukar mengambang teratur, pemerintah memberi kepastian bagi pelaku ekonomi dalam melakukan perencanaan bisnis. Sebagai contoh: stabilnya Rupiah dapat memberi kepastian bagi eksportir bahwa produk mereka akan tetap kompetitif di pasar internasional, seiring tidak adanya apresiasi Rupiah yang signifikan.
Sebaliknya, importir pun akan merasa leluasa dalam menjalankan kegiatan usahanya, seiring dengan absennya depresiasi Rupiah secara signifikan yang dapat membuat biaya impor menjadi lebih mahal.
Namun, sistem nilai tukar mengambang teratur ini sangat bergantung pada kapasitas cadangan devisa suatu negara. Cadangan devisa digunakan untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing, guna menjaga nilai tukar tetap berada pada rentang yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, cadangan devisa dapat diibaratkan sebagai sebuah amunisi yang dapat sewaktu-waktu ditembakkan guna menjaga nilai tukar.
Pada Juli 1997, bank sentral Thailand (Bank of Thailand) memutuskan mengadopsi sistem nilai tukar mengambang, meninggalkan sistem nilai tukar tetap setelah menghabiskan lebih dari 90% cadangan devisanya untuk menjaga Baht yang diterpa sentimen negatif pelemahan pertumbuhan ekonomi dan krisis sektor perbankan.
Menyusul diadopsinya sistem nilai tukar yang baru oleh Thailand, Rupiah diterpa tekanan jual seiring dengan meningkatnya permintaan dolar AS di kawasan regional; para spekulan melepas Rupiah dalam jumlah besar setelah industri perbankan nasional menunjukkan persoalan kredit macet menyusul buruknya penerapan prinsip kehati-hatian di era Orde Baru. Bank sentral pun memutuskan mengubah sistem mata uang Indonesia menjadi mengambang bebas pada 14 Agustus 1997.
Namun, hal ini tidak lantas membuat cadangan devisa aman. Adopsi sistem nilai tukar mengambang semakin memacu spekulan menukarkan aset dalam bentuk Rupiah ke dolar AS. Adanya kucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam bentuk Rupiah untuk mengembalikan dana deposan turut memperburuk keadaan, dikarenakan aksi para deposan yang pada akhirnya menukarkan Rupiah menjadi dolar AS.
Per Desember 1997, total bantuan likuiditas yang disalurkan BI mencapai Rp 35 triliun. Pada akhir tahun berikutnya, nilainya menggelembung menjadi Rp 147,7 triliun.
Pada Oktober 1997, ketika Rupiah terdepresiasi hampir 40% dalam 2 bulan dan ketika cadangan devisa sudah semakin tertekan, Indonesia meminta bantuan likuiditas kepada International Monetary Fund (IMF); paket bantuan senilai US$ 43 miliar pun disepakati, di mana US$ 3,04 miliar langsung dicairkan, sementara sisanya dicairkan bertahap.
Bantuan dari IMF ini lantas membantu BI menjaga tekanan terhadap cadangan devisa. Pada akhir 1997, cadangan devisa tercatat di level US$ 17,5 miliar, turun US$ 1,9 miliar dari posisi akhir 1996 di level US$ 19,4 miliar. Selain itu, Indonesia juga mendapat bantuan dari Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (ADB), serta negara-negara sahabat senilai US$ 27 miliar. Pada akhir 1998, cadangan devisa Indonesia naik menjadi US$ 23 miliar dan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya.
Total bantuan senilai US$ 70 miliar tersebut menjadi salah satu kunci keberhasilan Indonesia keluar dari krisis. Dengan terjaganya cadangan devisa, kegiatan impor dapat tetap dilakukan serta kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia perlahan-lahan kembali.
Per Oktober 2017, cadangan devisa Indonesia berada pada level US$ 125,97 miliar, cukup untuk membiayai 8,4 bulan impor dan jauh berada di atas standar kecukupan internasional yaitu 3 bulan impor. Angka itu juga setara dengan kebutuhan pembiayaan impor plus utang luar negeri pemerintah selama 8,1 bulan.
Dengan sistem nilai tukar yang telah diubah menjadi mengambang bebas, pergerakan Rupiah pun mengikuti mekanisme pasar, sehingga tekanan terhadap cadangan devisa bisa dihindari. Namun, bank sentral tetap sesekali melakukan intervensi jika dirasa nilai Rupiah sudah terlalu rendah atau tinggi dibandingkan nilai fundamentalnya. Contohnya, pada 2015 cadangan devisa terkuras hampir sebesar US$ 6 miliar guna menahan pelemahan Rupiah yang terus terjadi.
Seiring dengan terus membaiknya kondisi fundamental perekonomian Indonesia yang salah satunya terlihat dari pemberian peringkat layak investasi oleh Standard & Poor’s pada Mei 2017, aliran modal asing pun berpeluang meningkat, baik ke sektor riil maupun ke pasar modal. Pada akhirnya, aliran modal asing tersebut akan semakin memperkuat cadangan devisa Indonesia.***
(ags/ags)