
Sulit Penuhi Target, Ambisi Bauran EBT RI Terancam Semu

- Transisi energi memang tengah diupayakan pemerintah sebagai agenda nasional untuk menjaga ketahanan energi dan mewujudkan ekonomi hijau di Tanah Air
- Target komposisi Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) dalam bauran energi menjadi sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050.
- Tinggal beberapa tahun lagi, mampukah target ini tercapai? Simak perkembangan bauran EBT hingga kini
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - KalimatÌýgreen economy atau ekonomi hijau rasanya sudah tak asing lagi di telinga kita. Pemerintah kerap kali menyebutkan bahwa ini sudah menjadi perhatian penuh dan terus mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan penerapan prinsip ekonomi hijau.
Langkah Pemerintah Indonesia begitu serius dalam menyikapi transisi energi terutama dalam bidang energi baru terbarukan.
Kebijakan dan Peraturan sudah dikeluarkan guna mengiringi transisi energi tersebut menjadi salah satu program utama yang diatur dalam Kebijakan Energi Nasional/KEN sesuai Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2014.
Berdasarkan rilis data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia menghasilkan GRK sekitar 1,86 miliar ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) pada tahun 2021.
Sumber GRK tersebut berasal dari berbagai jenis, diantaranya sebagai berikut.
Melihat kondisi ini, Indonesia tampaknya masih menghadapi tantangan besar dalam memenuhi targetÌýNationally Determined Contribution(NDC), yakni komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan melalui Perjanjian Paris.
Sebab itulah, transisi energi memang tengah diupayakan pemerintah sebagai agenda nasional untuk menjaga ketahanan energi dan mewujudkan ekonomi hijau di Tanah Air. Bagaimanapun transisi energi ini akan berlabuh pada satu tujuan menuju net zero emission.
Transisi energi juga menunjukkan komitmen Indonesia untuk memperluas akses terhadap teknologi yang terjangkau dan bersih guna mendorong pemulihan ekonomi yang berkelanjutan dan lebih hijau.
Dalam wawancara pada Januari 2023 silam, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa Pemerintah telah meningkatkan target komposisi Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) dalam bauran energi menjadi sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050.
Sementara jika kita menilik realisasinya, target bauran energi terbarukan tahun 2021 di angka 14,5%. Namun pada kenyataannya, saat ini hanya bisa terealisasi sebesar 12,2%. Dengan kondisi ini, tentunya pekerjaan rumah bagi pemerintah kian berat.
Apalagi, pemenuhan permintaan energi seiring dengan pulihnya kegiatan ekonomi pasca pandemi Covid-19 berdampak pada menurunnya energi terbarukan dalam bauran energi primer.
Pada kuartal III-2022, bauran energi terbarukan yakni 10,4% atau turun dari kuartal III-2021 yang berada di 11,5%.
Hal tersebut tertuang dalam laporan yang bertajuk Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023 oleh Institute for Essential Services Reform (IESR).
Dalam laporan tersebut menyebutkan bahwa Pada kuartal ketiga tahun 2022, PDB tumbuh sebesar 5,72% yoy sebagai ekonomi kegiatan telah kembali ke tingkat pra-pandemi.
Beberapa intensif energi kegiatan, seperti industri logam, elektronik, dan bahkan transportasi mencapai pertumbuhan dua digit.
Total permintaan energi primer kemungkinan akan melebih tingkat tahun 2019, dan seiring meningkatnya pangsa bahan bakar fosil dalam penyediaan energi, demikian pula emisi GRK dari sektor energi.
Sementara pemerintah memiliki target bauran EBT pada 2025 mencapai 23%. Mungkinkah bisa terwujud?Ìýapakah hanya angan belaka? terlebih tinggal menghitung hari saja capaian ini harus terealisasi.
Jika melihat data dari Handbook of Energy & Economic Statistic of Indonesia 2021 yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM, realisasi bauran EBT tahun 2021 sebesar 12,2%. Meskipun dalam tren yang meningkat, tapi masih jauh dari target.
Ìý
Dengan capaian tersebut, Indonesia memiliki waktu kurang lebih 3 tahun untuk mencapai targetnya.
Secara historis, program biodiesel telah menjadi pendorong utama energi terbarukan peningkatan bauran energi primer, terutama sejak diperkenalkannya subsidi biodiesel dari BPDPKS pada tahun 2016.
Pangsa biodiesel cepat meningkat dari 0,7% pada 2015 menjadi 3% pada 2019.
Namun, biofuel stagnan di B30 sejak 2019, terhambat oleh pandemi pada tahun 2020 dan kenaikan harga minyak sawit pada tahun 2021-2022, mengakibatkan pertumbuhan yang lebih lambat menjadi 4,4% pada tahun 2021.
Sementara dari sisi pembangkit listrik, tidak ada peningkatan yang signifikan dalam pangsa energi terbarukan diharapkan, karena penambahan kapasitas baru terbarukan pada tahun 2022 terbatas.
Sejumlah pembangkit listrik terbarukan skala besar yang terkenal dimulai beroperasi pada tahun 2022, termasuk pembangkit listrik tenaga panas bumi Rantau Dedap sebesar 90 MW di Sumatera, PLTA Malea 90 MW, dan PLTA Poso 515 MW puncak di Sulawesi.
Berdasarkan data yang diperoleh kami, hingga jelang akhir tahun 2022 penambahan kapasitas terpasang untuk pembangkit listrik EBT untuk PLTS mencapai 12.526 MW yang terdiri dari beberapa pembangkit.
Dari data tersebut, kapasitas EBT terpasang didominasi dari PLTA sebesar 5.989 MW, kemudian diikuti PLTP (2.343 MW), lalu PLTBm (2.914 MW) dan sisanya dari pembangkit hijau lainnya.
Upaya ini memang sejalan dengan komitmen Indonesia untuk melakukan penurunan emisi gas rumah kaca dengan mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Arah kebijakan energi nasional ke depan memprioritaskan transisi menuju energi yang lebih bersih, minim emisi, dan ramah lingkungan melalui optimalisasi pengembangan EBT.
Baca Halaman Selanjutnya >>> Peran Serius Dari Berbagai Pihak Dibutuhkan
