Lalu ada pula transformasi bank yang didorong kehadiran berbagai perusahaan rintisan (start up)Ìýsampai dengan kemunculan bank digital dan meluasnya jangkauan layanan teknologi finansial (fintech) dalam membentuk ekosistem keuangan baru.
Bank mini secara khusus menjadi perhatian banyak investor. Para investor retail, pun para taipan seperti menaruh harapan besar terhadap potensi bisnis baru yang terlihat dari melonjaknya harga saham bank-bank mini (modal inti di bawah Rp 3 triliun) yang dianggap akan menjadi masa depan layanan keuangan Indonesia.
Apalagi pemerintah juga terlihat antusias dengan perkembangan bank digital tanah air dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya merilis aturan terkait bank digital yang tertuang dalam dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum pada bulan Agustus.
Grup Emtek melalui anak usahanya, PT Elang Media Visitama (EMV) telah mengungkapkan rencana akuisisi 93% saham PT Bank Fama International. EMV akan membeli sebanyak 9.089.503.800 lembar saham Bank Fama dengan nilai nominal Rp 100 per saham atau setara Rp 908,95 miliar.
Transaksi tersebut membuat penawaran saham perdana (IPO) Bank Fama dibatalkan. Bank Fama semula berniat melepas maksimal 24% saham dengan target dana yang dihimpun Rp 391 miliar hingga Rp 430,37 miliar yang seharusnya menjadikan nilai valuasi perusahaan mencapai Rp 1,63 triliun hingga Rp 1,79 triliun.
Keluarga Sundjono Suriadi diÌýBank Bisnis
Keluarga Sundjono Suriadi yang semula mengendalikan PT Bank Bisnis Internasional Tbk (BBSI) melaporkan penjualan sahamnya sebanyak 16% pada 15 Oktober 2021 lalu. Nilai penjualan ini mencapai Rp 439,69 miliar, belum termasuk penjualan di tahap awal.
Pembelinya yakni anak perusahaan fintech Singapura di Indonesia, PT FinAccel Teknologi Indonesia atau perusahaan pembiayaan dengan brand Kredivo.
 Foto: Prospektus IPO Bank Bisnis 7 September 2020, harga perdana Rp 480/saham Prospektus IPO Bank Bisnis 7 September 2020, harga perdana Rp 480/saham |
Berdasarkan laporan keuangan yang terbit di BEI, pada akhir tahun 2020 keluarga Sundjono Suriadi menguasai 82% saham di Bank Bisnis setelah sukses melakukan IPO pada 7 September 2020.
Keluarga Sundjono Suriadi menguasai BBSI melalui kepemilikan langsung atas nama Sundjono Suriadi (32%) sebagai pengendali dan saham yang dipegang Purnawan Suriadi melalui kepemilikan di dua perusahaan yaitu PT Sun Land Investama (35%) dan PT Sun Antarnusa (15%) yang merupakan pemegang saham BBSI. Sedangkan 18% sisanya adalah milik masyarakat.
Setelah manuver Kredivo tersebut, komposisi kepemilikan saham Bank Bisnis berubah total dengan Kredivo (40%) menjadi pengendali, total kepemilikan keluarga Sundjono Suriadi berkurang menjadi 43,70% dan masyarakat sebesar 16,30%
Jika ditambah dengan penjualan yang dilakukan sebelumnya, total pendapatan dari penjualan saham BBSI yang harga sudah naik 708% sejak pertama melantai di bursa tentu jauh lebih besar dari Rp 500 miliar yang diperoleh pada transaksi harian terbesar pelepasan saham kepada Kredivo.
Keluarga Hakim di Bank Harda
Didirikan pada tahun 1992 dengan nama Bank Harda Griya, perusahaan ini berganti nama menjadi Bank Harda Internasional pada tahun 1996. Setahun setelahnya bank ini memiliki 7 kantor cabang pembantu di wilayah Jakarta.
Setelah lolos dari krisis ekonomi 1998 dan tidak dilikuidasi, bank ini baru mulai merambah luar Jakarta tahun 2002. Sejak itu kantor perwakilan dibangun di beberapa kota termasuk Surabaya, Bandung, Solo hingga Pontianak.
Bank yang berfokus kepada pengembangan pembiayaan UMKM ini baru ramai diperbincangkan setelah kabar akuisisi oleh pengusaha Chairul Tanjung melalui kendaraan perbankan miliknya PT Mega Corpora.
 Foto: Prospektus IPO Bank Harda Prospektus IPO Bank Harda |
Sebelum resmi diakuisisi, PT Bank Harda Internasional (BBHI) dikendalikan oleh PT Hakimputra Perkasa yang menguasai 73,71% saham perusahaan.
Berdasarkan laporan keuangan per 31 Maret 2020, Rachman Hakim memiliki 50% saham di PT Hakimputra Perkasa.
Pada 16 Oktober 2020, PT Hakimputra Perkasa selaku pemegang saham mayoritas Bank Harda telah meneken pengikatan jual beli saham sebanyak 3,08 miliar saham atau 73,71 persen dari seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh.
Transaksi akuisisi tersebut nilainya mencapai Rp 460,7 miliar dengan harga rata-rata Rp 149,5/saham.
Keluarga Gozali dan Asabri di Bank Yudha Bhakti
Layanan keuangan yang mulanya dimiliki oleh dimiliki oleh Koperasi Induk/Pusat Militer dan Polisi menjadi perusahaan pertama yang melantai di bursa pada tahun 2015. Dalam penawaran perdana tersebut perusahaan berhasil memperoleh Rp 34,5 miliar dengan melepas 11,93 miliar saham.
Setelah IPO, PT Gozco Capital menjadi pengendali dan pemegang saham mayoritas BBYB sebesar 53,82%. Tidak lama setelahnya Asabri juga menjadi pemegang saham utama yang secara gencar menambah kepemilikan modal di perusahaan tersebut.
Akan tetapi kepemilikan mereka mulai tergerus setelah fintech Akulaku yang didanai Alibaba masuk ke BBYB dan kini telah resmi menjadi pemegang saham pengendali dengan nama yang juga berubah menjadi Bank Neo Commerce.
Awal mulanya Akulaku mengakuisisi 8,9% saham BBYB dari Gozco Capital dengan nilai transaksi Rp 158 miliar.
Tidak diketahui secara pasti siapa pemilik akhir Gozco Capital, akan tetapi dalam situs resminya perusahaan disebutkan memiliki tiga lini bisnis utama yakni properti, perkebunan dan jasa keuangan melalui BBYB. Laman resmi perusahaan juga menyebutkan Tjandra Mindharta Gozali bertindak sebagai presiden direktur.ÌýGrup ini juga memegang saham perusahaan sawit PT Gozco Plantations tbk (GZCO).
 Foto: Situs resmi Bank Neo, Komisaris BBYB Tjandra Mindharta Gozali Situs resmi Bank Neo, Komisaris BBYB Tjandra Mindharta Gozali |
Ìý
Meski tidak seagresif Asabri, Gozco Capital juga tercatat dari waktu ke waktu menjual kepemilkan sahamnya di Asabri. Kedua perusahaan tersebut sepertinya memanfaatkan momentum kenaikan harga yang dialami BBYB.
Hingga akhir September kepemilikan PT Gozco Capital di BBYB tersisa 16,53%, tidak diketahui secara pasti berapa total dana yang diperoleh dari melego saham yang dimiliki, akan tetapi yang pasti nilainya cukup besar dan signifikan.
Sebagai perbandingan, ini merupakan transaksi-transaksi paling akhir yang dilakukan Asabri yang kepemilikannya sahamnya di BBYB nyaris tidak ada lagi.
Berdasarkan laporan di Bursa Efek Indonesia (BEI), selama bulan Juli lalu Asabri diketahui telah melepas sebanyak 257 juta saham BBYB dalam beberapa kali transaksi, dengan kepemilikan saham berkurang dari 1,01 miliar saham (13,52%) menjadi 756,12 juta saham (10,09%).
Selanjutnya hingga tanggal 12 Agustus, Asabri kembali menjual 435,24 juta saham BBYB. Transaksi tersebut menjadikan kepemilikan saham Asabri di BBYB menyusut menjadi 320,88 juta saham (4,28%).
Secara keseluruhan Asabri berhasil memperoleh dana sebesar Rp 585,45 miliar dari transaksi penjualan saham BBYB selama dua pekan awal bulan Agustus.
NEXT:ÌýDanadipa dan Keluarga William Arto
Danadipa di Bank BKE
Awal tahun ini beredar isi bahwa e-commerce asal Singapura milik Sea Ltd dikabarkan sedang mencari bank mini untuk diubah menjadi bank digital yang dapat membantu layanan finansial grup dalam ekosistem Shopee.
Beberapa nama emiten bank mini pun dikabarkan masuk dalam radar peusahaan yang didirikan Forrest Li ini. Beberapa bank yang santer diisukan akan diakuisisi termasuk PT Bank Capital Indonesia Tbk (BACA) dan PT Bank Bumi Arta Tbk (BNBA), yang mana direksi dari kedua bank tersebut menyampaikan tidak mengetahui mengenai kabar itu.
Nyatanya, Shopee pada bulan Februari tahun ini akhirnya memilih PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (Bank BKE) untuk disulap menjadi bank digital dan secara resmi mengganti nama perusahaan menjadi PT Bank Seabank Indonesia (SeaBank).
Kabar pasar yang beredar saat itu menyebutkan, Sea Group mengambilalih saham Bank BKE pada awal tahun lalu dari perusahaan milik pengusaha nasional, Setiawan Ichlas yakni Danadipa. Situs Bank BKE mencatat, pemegang saham Bank BKE yakni PT Danadipa Artha Indonesia 94,95% dan PT Koin Investama Nusantara 5,05%.
Menurut situsnya, Bank BKE didirikan pada tahun 1992 dengan pemegang saham hampir 95% oleh Danadipa. Informasi publik mengenai pemegang saham terakhir (beneficial ownership) memang masih minim, tapi Danadipa Artha Indonesia memiliki satu direktur bernama Intan Apriadi yang juga menjabat sebagai komisaris di PT Lentera Dana Nusantara, menurut profil LinkedIn Apriadi.
Lentera Dana Nusantara adalah perusahaan fintech yang mengoperasikan ShopeePay Later. Jadi, Sea besar kemungkinan ada ketersambungan dengan Bank BKE melalui Danadipa Artha Indonesia.
Keluarga William Arto Hardy di Bank Arto
Meski modal inti PT Bank Jago Tbk (ARTO) sudah Rp 7,88 triliun pada Juni 2021, bank yang dulu dikendalikan oleh keluarga pengusaha William Arto Hardy ini masih sering diberi label bank mini.
Bank yang sahamnya dikendalikan oleh duet Patrick Walujo dan Jerry Ng ini sudah memiliki kapitalisasi pasar lebih dari Rp 200 triliun berkat kinerja saham perusahaan yang gemilang.
Setelah berganti nama menjadi Bank Jago dari Bank Artos Indonesia ini, tentu bisnis yang dilaksanakan perusahaan berbeda, paling mencolok tentu kolaborasi yang dimiliki dengan ekosistem Grup GoTo, di mana GoPay yang merupakan anak usaha Gojek, juga merupakan pemegang saham ARTO.
Melalui PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI) yang dikendalikan oleh Jerry Ng dan Wealth Track Teknologi Limited (WTT) milik Patrick Waluyo dari Grup Northstar, mereka berdua membeli perusahaan tersebut dari keluarga Arto Hardy ini. Pembelian tersebut dilakukan pada akhir tahun 2019.
Berdasarkan laporan keuangan kuartal ketiga tahun 2019, keluarga Arto diketahui menguasai 80% kepemilikan bank tersebut yang terdiri dari Arto Hardy (39,5%), Sinatra Arto Hardy (13,5%), William Arto Hardy (13,5%) dan Lina Arto Hardy (13,5%).
Sebagai informasi, William Arto Hardy adalah Warga Negara Indonesia, lahir di Bandung pada 23 Januari 1970. Pendidikan terakhir Bachelor of Commerce dari University of Western Sydney tahun 1990-1994 dan meraih gelar Bachelor of Commerce tahun 1994.
Prospektus IPO Bank Arto menyebutkan dia mengawali karier sebagai Direktur di PT Polyfilatex sebagai pemegang lisensi produk FILA Italia di bidang retail untuk Indonesia.
 Foto: Prospektus IPO Bank Artos Prospektus IPO Bank Artos |
Sehari setelah libur Natal, keluarga Arto kompak menjual saham yang dimiliki. Sinatra, William dan Lina masing-masing menjual 12% kepemilikan saham mereka, sementara Arto Hardy menjual 15% kepemilikan sahamnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari keterbukaan informasi, total saham yang dilego tanggal 26 Desember 2019 adalah sejumlah 615,18 juta saham yang mewakili 51% kepemilikan.
Kepemilikan tersebut terbagi menjadi MEI sebesar 37,65% dan WTT 13,35%.
Saham tersebut dilego di harga Rp 395 per saham, sehingga total dana segar yang diperoleh keluarga Arto dalam transaksi tersebut mencapai Rp 242,99 miliar.
 Foto: Prospektus IPO Bank Artos Prospektus IPO Bank Artos |
Selanjutnya Arto Hardy kembali menjual 24,5% sisa kepemilikan sahamnya pada tanggal 2 Januari 2020, akan tetapi yang menarik divestasi tersebut tercatat atas nama publik, dengan kata lain tidak terdapat pembeli yang memperoleh lebih dari 5% saham yang dijual.
Sebanyak 295,53 juta saham tersebut dijual di harga Rp 448 per saham, yang berarti total hasil penjualan mencapai 132,29 miliar.
Jika ditambah dengan penjualan awal, total dana yang diraup setelah melego bank Arto adalah sejumlah Rp 375,38 miliar.
Kini selain Grup Northstar, Jerry Ng dan kawan-kawannya, investor lain di Bank Jago di antaranya Government of Singapore Investment Corporation Private Limited atau GIC, lembaga dana investasi milik pemerintah Singapura.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ÌýINDONESIA